“Kita memiliki semuanya untuk menjadi bangsa yang besar, kekayaan alam, sumberdaya manusia, semua kita punya, kecuali satu, kita tidak punya rasa malu”
Terasa miris mendengar statement seorang teman seperti diatas, terasa jengah kita mendengarnya, tapi kita rasanya perlu berbesar hati, bahwa menipisnya rasa malu kalau tidak mau dibilang hilang sama sekali, tengah melanda masyarakat kita.
Sebagai sebuah bangsa, kita memiliki semua syarat untuk menjadi negara adidaya, kekayaan alam, tanah yang subur, laut yang luas, sumberdaya manusia, sumber daya teknologi, kitapun memilikinya, tapi kondisi kita sebagai bangsa saat ini, belum beranjak dari negara berkembang, atau kalau mau jujur, mungkin kita masih bisa dikategorikan negara terbelakang, dalam hal iptek kita tertinggal, ekonomi kita hanya pandai jadi penghutang, beras pun masih impor, minyak masih impor, tingkat pendidikan rendah, tingkat kesejahteraan masih diambang batas kemiskinan, dan masih banyak lagi indikator keterbelakangan kita sebagai bangsa.
Kenapa bangsa yang dipenuhi segenap potensi ini menjadi sedemikian terpuruk?
Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan keterpurukan ini adalah menipisnya rasa malu dari bangsa yang besar ini.
Pemimpin bangsa ini, tak lagi memiliki rasa malu untuk memakan uang rakyatnya, tak punya rasa malu untuk mengumbar janji yang tak pernah ditepatinya, tak pernah merasa malu memutar balik pernyataannya, dan yang paling parah, sebagian besar pemimpin negeri ini tak lagi merasa malu kepada Allah, yang telah menempatkan mereka sebagai pemimpin.
Mereka merasa bahwa apa yang didapatnya sekarang, pangkat, jabatan, kedudukan yang mereka miliki, adalah hasil jerih payah dan kepintaran mereka semata, sehingga mereka merasa berhak berbuat apapun setelah berada diposisinya.
Jabatan tak lagi dipandang sebagai amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkan secara moral kepada sesama manusia, dan kepada Allah Swt yang telah menempatkan mereka sebagai pemimpin.
Mereka lupa bahwa pemimpin yang dhalim dan tidak disukai rakyatnya adalah salah satu calon penghuni neraka yang abadi, mereka hanya memikirkan dunia saja, dan sudah melupakan akhirat yang jauh lebih besar daripada kehidupan dunia yang hanya sebentar ini.
Penduduk dan rakyat negeri ini pun sudah banyak yang kehilangan rasa malunya,mereka lebih senang menadahkan tangan, daripada berusaha dan bekerja untuk memenuhi kewajiban syariatnya mendapatkan karunia Allah swt.
Jumlah “penadah” jauh lebih banyak daripada orang yang mengulurkan tangan, dan akibatnya adalah roda kehidupan bangsa ini terasa sangat berat untuk bergerak maju menuju kondisi yang lebih baik.
Sebagian besar rakyat dan penduduk negeri ini pun sudah mulai kehilangan rasa sungkan dan rasa malunya untuk berbuat maksiat. Setiap hari kita dengan mudah menjumpai perbagai pelanggaran norma, pelanggaran hukum dan pelanggaran akidah terpampang disana sini. Penduduk dan rakyat negeri ini sudah kehilangan rasa malu kepada Allah yang telah mengkaruniakan alam yang indah, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja, dengan semakin banyak berlaku maksiat kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Disisi lain, orang-orang yang menyeru pada kebenaran dan menjadi teladan semakin langka saja dinegeri ini. Orang-orang lebih banyak diam dan tiarap serta cari aman saja melihat kemaksiatan melanda sebagian anak negeri bak gelombang tsunami. Mereka merasa “aman” dari ajab Allah dengan tidak melakukan kejahatan, sementara membiarkan kemunkaran merajalela, sekali-kali tidak demikian, karena siksa Allah tidak khusus menimpa orang-orang yang dhalim saja, tapi semua orang yang ada dalam wilayah tersebut; sebagaimana firman Allah;
25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(Al Anfal:25)
Malu sebagian dari iman, kalau malu sudah sedemikian tipis, maka iman pun dipertanyakan.
Sebagai pribadi, kita pun harus segera berbenah dan mawas diri, masihkah ada rasa malu dalam hati kita?
Malukah kita ketika kita beribadah dan mengabdi kepada selain Allah?
Malukah kita ketika kita tidak shalat tepat waktu?
Malukah kita ketika kita tidak berzakat?
Malukah kita ketika kita tidak berpuasa?
Malukah kita tidak pergi haji, sementara kita berkecukupan?
Malukah kita ketika kita tidak bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya?
Malukah kita ketika ada tetangga kita yang kelaparan, sementara kita berlebihan?
Malukah kita ketika menjadikan orang tua kita tak lebih hanya sebagai pelayan?
Malukah kita apabila cengengesan ditengah kumandang adzan?
Malukah kita ketika membiarkan kemaksiatan didepan mata kita?
Malukah kita ketika kita tak bisa membaca al qur’an?
Malukah kita yang selalu merasa bangga dengan dosa-dosa?
Malukah kita ketika lebih banyak guyon, daripada saling menasehati?
Malukah kita bicara tanpa guna?
Malukah kita ketika anak yatin dan fakir miskin terlantar?
Malukah kita ketika kita hanya pandai menghias masjid, sementara tak pandai memakmurkannya?
Malukah kita menggunakan waktu luang kita untuk sesuatu yang kurang bermanfaat?
Malukah kita memanfaatkan sehat kita untuk maksiat?
Malukah kita menghabiskan jatah umur kita untuk sekedar numpang lewat?
Malukah kita kalau berkata dusta?
Malukah kita kalau tak menepati janji?
Malukah kita kalau berkhianat?
Malukah kita bermaksiat pada Allah?
Malukah kita pada kebenaran yang kerap kita langgar?
Malukah kita pada hati yang kerap kita dustai?
Ketika jawaban kita atas pertanyaan “Malukah kita” diatas banyak “Tidak” nya, maka kita harus segera memperbaiki “rasa malu” kita, karena sangat boleh jadi, ketika rasa malu sudah menipis dalam diri kita, iman kitapun demikian adanya, Naudzubilah.
Malu, bagian dari iman, pelihara rasa malu kita, agar terjaga kualitas iman kita
Wassalam
Maret 14, 2007
Friday, March 23, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment