Dalam pustaka dongeng legenda Indonesia, kita mengenal dongeng-dongeng yang sangat terkenal dan melegenda di masyarakat, sehingga demikian terkenalnya, kisah dan dongeng seakan-akan nyata adanya.
Kita mengenal dongeng Sangkuriang, legenda dari tatar sunda yang mengisahkan perkawinan dua mahluk berbeda jenis, yaitu Dayang Sumbi dan Si Tumang dan juga kisah seorang anak, Sangkuriang yang mencintai Dayang Sumbi, ibundanya.
Kemudian cerita berlanjut dengan permintaan Dayang Sumbi kepada Sangkuriang untuk membuatkan sebuah telaga berserta perahunya dalam waktu satu malam, sebagai syarat agar diterima cintanya.
Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang hampir berhasil memenuhi permintaan itu, tapi kemudian digagalkan oleh suara kokok ayam yang menandakan datangnya pagi, dan dengan kemarahannya, Sangkuriang melempar perahu yang hampir jadi hingga kemudian melayang jauh, dan jatuh tertelungkup, hingga kemudian hal ini dikaitkan dengan Gunung Tangkuban Perahu (Perahu yang Nangkub, terbalik)
Dongeng lain, yang menceritakan hal yang hampir mustahil dilakukan oleh manusia adalah dongen Bandung Bondowoso yang diminta oleh Roro Jonggang untuk membuat seribu candi dalam satu malam, kemudian akhir kisah ini juga berujung pada kegagalan.
Dongeng lain yang nyaris serupa adalah Sukrasana, adik Raden Sumantri, patih kerajaan Maespati, yang diminta untuk memindahkan taman Sriwedari juga dalam waktu semalam, pun dengan dongeng ini, akhirnya berujung pada kegagalan.
Kisah-kisah diatas adalah dongeng dan legenda yang kebenarannya sangat-sangat debatable, tapi yang menarik adalah sebagian dari kita ada yang menjadi “korban” dari dongeng-dongeng itu.
Sistem Kebut semalam, adalah idiom yang sangat dikenal dilingkungan pelajar, biasanya untuk menggambarkan bagaimana seorang pelajar “ngebut” belajar semalaman untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian keesokan harinya. Mereka, pelajar-pelajar itu, secara sadar atau tidak, seperti ingin melakukan suatu hil yang mustahal yang pernah dilakukan oleh para tokoh dalam negeri dongeng yang pernah dibacanya, seperti Sangkuriang, Bandung Bondowoso ataupun Sukrasana.
Mereka ingin melakukan “keajaiban” untuk mendapatkan nilai ujian yang bagus dengan hanya belajar semalam saja, tapi mungkin mereka lupa, bahwa akhir kisah tokoh-tokoh dongeng itu berujung pada kata “gagal”.
Sebenarnya mungkin ada sebersit nasehat dari dongeng-dongeng itu, bahwa untuk mencapai sesuatu hasil yang maksimal, diperlukan sebuah proses, dimulai dari persiapan yang matang hingga detail pekerjaan yang akan dilakukan sampai dengan finishing, sebuah upaya yang dilakukan secara konsisten dengan penuh perhitungan dan kerja keras, tak ada sesuatu yang terjadi didunia nyata ini hanya dengan ucapan bim salabim abra kedabra, maka jadilah sesuatu yang kita inginkan.
Tapi kebanyakan dari kita, mungkin tidak menggaris bawahi bahwa pekerjaan apapun, baik membuat danau dan perahau, baik membuat seribu candi maupun memindahkan taman Sriwedari, tidak bisa dilakukan dalam satu malam, bahkan oleh orang-orang sakti sekalipun, apalagi kita, yang masih makan nasi begini....
Yang agak sedikit memprihatinkan adalah jika kemudian “penyakit Sistem kebut semalam” itu bukan hanya terjadi dikalangan pelajar, melainkan sudah merambah pada orang-orang dewasa, para pekerja dan bahkan para eksekutif sekalipun.
Mereka biasa menunda pekerjaan hariannya, untuk kemudian mengerjakannya pada waktu yang sudah sangat mepet, ketika waktu closing tinggal menyisakan hitungan jam saja, sehingga kelihatan sedemikian sibuknya.
“Jika bisa ditunda, kenapa harus sekarang?” ini adalah statement yang salah, yang benar adalah “ Never put off till tommorow , If you can do today – Jika bisa dikerjakan hari ini, kenapa mesti besok?” sehingga kita tidak terjebak dalam situasi yang akan merangsang andrenalin kita untuk stress.
Kita bukan Sangkuriang, kita bukan Bandung Bondowoso ataupun Sukrasana, kita, adalah manusia yang hidup dialam nyata, yang dibekali waktu dan kemampuan yang sangat-sangat terbatas, sehingga kitapun tidak bisa berperilaku seperti tokoh dalam dongeng diatas.
Kita akan jauh lebih puas menikmati hasil kerja kita, ketika orang lain bisa memakai dan menghargai apa yang kita lakukan, dan itu hanya mungkin didapat ketika kita memberi waktu kepada pemakai jasa kita untuk menilai pekerjaan kita.
Ketika hasil kerja kita selalu berkejaran dengan waktu yang sedemikian sempet, mana sempat para pemakai hasil kerja kita mereview pekerjaan kita, wong kerjaan mereka saja masih numpuk.
Dalam bekerja atau pekerjaan, bukan hanya gaji yang akan kita dapat, tapi disana, didalam pekerjaan kita ada nilai yang jauh lebih bernilai; ada nilai kepuasan pribadi bagi kita ketika pekerjaan kita selesai tepat waktu, ada nilai aktualisasi diri bahwa kita mampu, ada nilai pengembangan diri, dengan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, peluang kita untuk belajar hal lain dan mengembangkan diri jauh lebih luas dan terbuka, dan yang terpenting ada nilai pahala, apabila kita ikhlas lillahita’ala melakukan pekerjaan kita, bukan untuk boss, bukan untuk atasan, tapi semata-mata sebagai kasab kita dalam mencapai ridha Allah swt.
Jangan biarkan alam bawah sadar kita menyerap kemustahilan dongeng, karena kita hidup dialam nyata.
Keberhasilan hanya didapat dengan kerja keras, bukan dengan berandai-andai dan memanjakan khayalan.
“Aji kepepetisme” masih kerap digunakan oleh sebagian kita, ketika dalam keadaan terjepit, semuanya seolah bisa diselesaikan dengan sendirinya. Benar, mungkin benar bisa selesai, tapi bagaimana dengan kualitas keluaran yang dihasilkan dari proses kerja yang hanya satu malam?
Tarik ulur kebijakan, gonta-ganti peraturan, perubahan undang-undang yang silih berganti, salah satu faktornya adalah cara kerja kebut semalam, cara kerja ala sangkuriang atau Bandung Bondowoso, cara kerja yang akan berujung pada kegagalan.
“Persiapan yang baik, adalah 80% dari total pekerjaan itu sendiri”
Selamat tiba didunia nyata, dan selamat tinggal dunia dongeng!
Wassalam
Maret 14, 2007
Friday, March 23, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment