Friday, March 23, 2007

MENJADI SANTRI DENGAN SHALAT

Dalam sebuah sesi tanya jawab yang disiarkan sebuah stasiun Radio, seorang ibu bertanya kepada nara sumber acara tersebut;

“Pak Ustadz, benar tidak ayat yang menyatakan bahwa shalat mampu mencegah perbuatan keji dan munkar?

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al Ankabut:45)

“Ya bu, ayat itu benar” Jawab Pak Ustadz

“Tapi Pak, disebelah rumah saya, ada seorang Haji yang setiap waktu shalat pergi kemasjid, mengenakan pakaian bagus, tapi kok perilakunya malah tidak sesuai dengan ayat diatas ya pak?” – Ibu tadi masih penasaran.

“Maksud ibu?” Tanya Pak Ustadz.

“Iya Pak, katanya shalat itu mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar, tapi Pak Haji yang rajin shalat itu kok ya pelit banget sama tetangga, udah gitu kalau dimintain tolong, susah banget dan jarang gaul, gimana tuh, Pak?” Jawab si ibu dengan polosnya.

“Ibu, sekali lagi, tak ada yang salah dengan firman Allah diatas, bahwa shalat akan mampu menjadi benteng yang kokok bagi orang yang mendirikannya dari perbuatan keji dan munkar, perihal Pak Haji yang ibu ceritakan tadi, mestinya ibu bersyukur punya tetangga pak haji yang rajin kemasjid untuk shalat, ibu bayangkan kalau pak haji tadi tidak shalat, bagaimana jahatnya pak haji tersebut?, Sifat dan sikapnya sekarang seperti yang ibu bilang tadi, mungkin akan lebih parah kalau pak haji tadi tidak shalat” Jawab Pak Ustadz.

Terlepas dari puas tidaknya si ibu atas jawaban pak ustadz, satu hal yang menggelitik kita adalah bahwa Pak Haji shalat, tapi masih berperilaku demikian, dan sebenarnya bukan hanya pak haji saja yang demikian, karena kita akan dengan mudah menjumpai orang-orang yang sangat rajin kemasjid, rajin shalat, tapi masih menunjukan perilaku yang “agak” tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi shalat itu sendiri.

Ada aparat yang rajin shalat, tapi pungli masih lancar terus.

Ada pejabat publik yang rajin shalat, korupsi masih tak berhenti

Ada pegawai negeri yang rajin shalat, bolosnya juga rajin

Ada pegawai swasta yang rajin shalat, juga tak mencerminkan perilaku seorang musholin

Ada pak Haji yang rajin shalat, tapi masih berbuat maksiat

Ada orang hapal al qur’an, tapi tak pandai menjaga lisan

Ada yang hapal hadits, tapi tak cakap menjaga diri

Ada yang rajin kemasjid, tapi rajin juga kediskotik

Ada yang rajin ketaklim, tapi rajin juga berbuat dhalim

Ada yang pandai mengaji, tapi belum pandai “mengkaji diri”

Atau bahkan kita yang “rajin” shalat juga belum menunjukan apa yang dituntut dari shalat itu sendiri, yaitu kita terproteksi dari perbuatan keji dan munkar, atau bahkan sebaliknya, rajin shalat, syirik tetap jalan, rajin shalat, bohong tetap jalan, rajin shalat, pelit tetap terpelihara, rajin shalat, sombong makin menjadi, rajin shalat, riya-nya tidak ketulungan, dan masih banyak lagi perilaku kita yang tidak sesuai dengan fungsi dan peran shalat.

Ada apa dengan shalat kita? kenapa shalat kita belum mampu menjadi benteng bagi kita untuk terlindungi dari perbuatan keji dan munkar?

Shalat, secara syar’i didefiniskan sebagai rangkaian ibadah yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, dengan serangkaian rukun dan syarat sah-nya yang insya Allah kita semua sudah mafhum adanya.

Orang yang melaksanakan shalat dengan menyempurnakan rukun dan syarat sah shalat, berarti sudah menggugurkan kewajiban syari’atnya, Insya Allah. Lalu kalau kemudian shalat yang sah secara syari’at itu belum juga mampu memproteksi kita dari perbuatan keji dan munkar, mungkin kita harus belajar lagi mengenai “shalat yang benar”.

Shalat adalah satu kesatuan ibadah yang melibatkan Qawli, Qalbi dan Fi’li, maksudnya shalat adalah rangkaian ibadah yang mengharuskan adalah integrasi antara Qawli – Perkataan atau bacaan shalat yang benar, adanya kehadiran hati – Qalbi ketika shalat, serta menyempurnakan gerakan-gerakan shalat – Fi’li yang sesuai dengan syari’at.

Shalat adalah proses untuk menjadi Santri – Insan – Manusia, dengan tiga aktivitas ibadah, Perkataan, Hati dan Perbuatan.

Bacaan shala kita boleh jadi sudah fasih, gerakan kita pun boleh jadi sudah sesuai dengan tuntunan syari’at, tapi kadang kita lupa untuk menghadirkan hati pada saat kita shalat.

Rukun Qawly – bacaan yang sempurna, bisa gugur ketika seseorang yang tengah melaksanakan shalat itu bisu atau gagu, karena tidak mungkin orang bisu atau gagu melafadkan bacaan secara sempurna.

Rukun Fi’li – berdiri ketika shalat, ruku dan sujud, bisa gugur ketika yang melaksnakan shalat dalam keadaan sakit, lemah atau mengalami cacat tubuh yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakan rukun fi’li secara sempurna.

Kehadiran hati, harus ada pada siapapun yang melaksanakan shalat. Kehadiran hati tetap harus muncul pada orang bisu atau gagu, kehadiran hati juga mutlak adanya pada orang yang tidak bisa berdiri untuk shalat, kehadiran hati inilah yang kadang justru kita banyak melupakannya.

Inilah kemudian yang disinyalir sebagai penyebab berkurangnya fungsi dan hikmah shalat sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar. Shalat kita “hanya” sekedar penggugur kewajiban syari’at, shalat kita “hanya” sekedar ikut-ikutan, shalat kita hanya sekedar ciri kita sebagai orang Islam, shalat kita belum mampu mencapai esensi yang dikehendaki oleh shalat itu sendiri.

Kefasihan kita melafadkan bacaan shalat, boleh sangat jadi hanya menjadikan kita orang munafik, ketika hati kita justru berkata sebaliknya.

Kesempurnaan gerak kita, boleh jadi hanya ingin dikatakan khusyu oleh orang lain, manakala hati kita justru berdetak tak beraturan ketika kita shalat.

Kehadiran hati ketika kita shalat, akan melahirkan rasa takut dan cinta kepada Allah, kehadiran hati ketika kita shalat, akan menyadarkan kita bahwa kita tengah berhadapan dengan Allah Yang Maha Besar, yang membuat kita menjadi rendah hati karenanya, kehadiran hati memberikan kita kemampuan untuk berinstropeksi diri ketika kita sujud, bahwa kita hanya mahluk lemah, kehadiran hati akan menuntun bacaan dan ucapan lisan kita bahwa kita tengah berdialog denga Dzat yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui, kehadiran hati, akan membentuk pribadi yang terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.

Kita wajib bersyukur kepada Allah atas karunia lisan kita yang tidak gagu atau bisu, kita juga wajib bersyukur atas kesempurnaan fisik kita yang tidak cacat atau lemah, sehingga kita bisa melaksanakan rukun Qawli dan Fi’li secara sempurna, dan kita juga semestinya bersyukur tiada hingga dengan Qalbi yang ada dalam dada kita, agar shalat kita bukan lagi hanya sekedar penggugur syari’at, tapi shalat yang mampu menyelamatkan kita fidunya – dengan menjadi orang yang terproteksi dari perbuatan keji dan munkar, serta filakhirat – dengan mendapatkan buah amal yang kita tanam didunia.

Mari belajar shalat lagi, insya Allah dengan Nyantri lewat shalat, kita akan menjadi santri yang mampu berhubungan dengan Allah secara benar, berhubungan dengan manusia secara baik dan berhubungan dengan alam secara patut.

Wassalam

Maret 21, 2007

No comments:

Post a Comment