Tuesday, March 27, 2007

12 RABI’UL AWAL

Karunia Allah rabbul izzati
Masa yang penuh dengan saksi
12 rabi’ul awali
Tahun Fiil 571 masehi

Kelahiran nabi yang akhir sendiri
Membawa wahyu ilahi
Diamanatkan pada semua insan
Pedoman hidup abadi

Mari kita peringati maulid nabi
Ambil tauladan tamsil
Sabar insyaf takwa dan rela
Dan berbhakti sampai mati

Sebuah syair yang biasa kami bawakan ketika menjelang tanggal 12 Rabi’ul awal, tanggal kelahiran baginda Rasul Muhammad Saw.

Syair itu sedemikian membekas dihati manakala penulis belum tahu kalau kemudian ada sebagian kalangan yang “memberikan wacana baru” tentang peringatan maulid nabi, karena ketika itu, kami hanya tahu bahwa peringatan maulid nabi mempunyai tujuan luhur dan mulia yakni untuk menghidupkan nilai-nilai akhlaqul karimah yang dicontohkan rasul, itu saja yang kami tahu ketika itu.

Sekarang, jauh setelah arus informasi berkembang sedemikian cepat, pernah suatu ketika penulis menemukan sebuah bacaan yang kira-kira isinya menyatakan bahwa peringatan maulid atau hari kelahiran adalah sesuatu yang masih absurb dan “debatable” karena tidak sesuai dengan tuntunan dan tidak pernah ada contohnya, wallahu’alam, yang jelas dan yang terpenting bagi kita, bagi penulis khususnya, contoh akhlaqul karimah yang demikian agung yang dicontohkan oleh sang pembawa pelita kebenaran harus tetap hidup ditengah-tengah kehidupan umatnya, entah dengan cara apapun, suri teladan yang baik nan sempurna itu harus kita wariskan kepada anak keturunan kita.

Dalam tataran ideal, menghidupkan dan meneladani peri kehidupan Rasul adalah sebuah keharusan dalam keseharian kita, dalam setiap detik kehidupan kita, dalam setiap tarikan nafas kita, tapi ketika itu belum mampu kita lakukan, setidaknya setahun sekali kita me-refresh lagi ajaran nan agung itu untuk tetap berada didada kita dan anak keturunan kita, itu saja.

Hari Senin, tanggal 12 Rabbi’ul awal tahun 571 Masehi, tahun yang ditandai dengan penyerangan Pasukan Gajah yang dipimpin oleh Abrahah untuk menghancurkan Baitullah, ditahun yang bersejarah itulah kemudian lahir seorang anak manusia yang dikemudian hari juga merupakan bagian terbesar dalam catatan dan perjalanan sejarah manusia itu sendiri, beliau adalah Muhammad Ibnu Abdullah bin Abdul Muthalib.

Allah mengabadikan momen bersejarah itu dalam surat Al Fiil;

1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu Telah bertindak terhadap tentara bergajah[1601]?
2. Bukankah dia Telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?
3. Dan dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong,
4. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
5. Lalu dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

[1601] yang dimaksud dengan tentara bergajah ialah tentara yang dipimpin oleh Abrahah Gubernur Yaman yang hendak menghancurkan Ka'bah. sebelum masuk ke kota Mekah tentara tersebut diserang burung-burung yang melemparinya dengan batu-batu kecil sehingga mereka musnah.


Fase kehidupan baginda Rasulullah selanjutnya sudah relatif banyak diketahui oleh sebagian besar kaum muslimin, Alhamdulillah, mulai masa kecilnya, remaja, menikah dan saat menjelang pengangkatan beliau sebagai seorang Rasul hingga akhir hayat beliau.

Keteladanan, merupakan sebuah catatan terpenting dalam perjalanan kehidupan beliau dan risalah yang dibawanya.

Sebuah catatan hasil penelitian oleh pakar peneliti non-muslim menyatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan Islam yang demikian pesat adalah faktor keteladan dari sang pembawa risalahnya, yaitu Nabi Muhammad Saw, selain juga isi ajaran dan kandungan al qur’an yang demikian agung dan menakjubkan.

Allah berfirman;

21. Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al ahzab:21)

Suri teladan inilah yang sekarang sedemikian langka dalam perkembangan Islam dewasa ini. Alim ulama yang mumpuni ilmunya, sangat banyak jumlah dan bilangannya, para ahli dibidangnya, ahli dibidang tafsir, ahli dibidang ilmu fiqh, ahli ilmu tatabahasa al qur’an, dan ahli dibidang-bidang lainnya, insya allah sekarang ini dan insya Allah kedepannya, kita tak akan kekurangan para cendekiawan muslim dan cerdik pandai.

Tapi ketika kita berbicara pada tataran Suri Tauladan, kita mesti berbesar hati untuk mengatakan bahwa kita kekurangan orang-orang dengan kualifikasi ini.

Dengan momentum 12 Rabbi’ul awal ini, mari kita kembali buka catatan keteladan Rasulullah untuk kita jadikan barometer dalam keseharian kita.

Rasullullah adalah ayah teladan bagi anak-anaknya
Rasulullah adalah suami teladan bagi istri-istrinya
Rasulullah adalah pemimpin teladan bagi umatnya
Rasulullah adalah guru teladan bagi murid-muridnya
Rasulullah adalah panglima perang teladan bagi tentaranya
Rasulullah adalah iman teladan bagi makmumnya
Rasulullah adalah pedagang teladan bagi kaumnya
Rasulullah adalah hamba teladan bagi pengikutnya
Rasulullah adalah teladan kesabaran bagi mereka yang dilanda kekurangan
Rasulullah adalah teladan kedermawanan bagi mereka yang berkecukupan
Rasulullah adalah teladan bagi para mubaligh
Rasulullah adalah teladan diatas segala teladan......

Sebuah teladan sempurna bagi siapapun yang meyakini adanya hari akhir dan bagi mereka yang mengharap rahmat dan ridha Allah Swt.

Ditengah lingkungan keluarga, selelah atau sesibuk apapun, beliau selalu punya waktu untuk anak dan istrinya. Banyak sekali keterangan bagaimana hangatnya Rasulullah ditengah keluarga, beliau biasa bercanda dan bermain dengan anak cucunya, beliau adalah figur ayah yang mampu memberikan rasa nyaman bagi anak dan istrinya, sehingga tak berlebihan kalau kemudian beliau berkata “Baiti Jannati – Rumah tanggaku adalah surga bagiku”.

Surga dalam rumah tangga hanya mungkin terbentuk ketika seorang suami atau seorang ayah mampu menjadi figur panutan yang bisa jadi teladan bagi anak istrinya. Beliau, Rasulullah adalah figur yang penuh kasih sayang, tapi juga tegas dalam menegakan prinsip yang benar, sehingga suatu ketika beliau berkata “ Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tanganya”. Sebuah teladan bagi siapapun yang ingin membentuk keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah.

Sejarah mencatat, beliaulah satu-satunya pemimpin yang dicintai oleh umatnya bahkan melebihi kecintaan umat terhadap diri dan keluarga mereka sendiri. Umat Nabi Muhammad demikian cinta kepada pemimpinya, sehingga apapun mampu dikorbankan untuk kejayaan risalah yang dibawanya.

Sangat wajar jika Rasul demikian dicintai oleh umatnya, karena beliaulah satu-satunya pemimpin yang senantiasa memikirkan keselamatan dan kemaslahatan umat, sehingga ketika malaikat maut hendak menjemput ruh-nya yang suci pun, yang terucap dari bibirnya adalah “Umati...umati...umati.....”.

Beliau rela harus menahan lapar, demi umatnya
Beliau rela harus bermandikan keringat dan darah demi umatnya
Beliau rela harus mengorbankan apapun demi umatnya

Demikian besar cinta dan kasih beliau yang dicurahkan pada umatnya, wajar kalau kemudian umatnya menyambut dan membalasnya dengan cinta yang demikian besar.

Konon lagi kalau kita berbicara bagaimana beliau menyampaikan risalah kebenaran yang diamanatkan kepadanya, sungguh jauh dari sikap kasar dan kekerasan.

Kebijaksanaan dan keteladan menjadi ciri pokok bagaimana rasul menyampaikan dakwahnya.

Ini yang kemudian sedikit meluntur dari sebagian kita. Semangat untuk mendakwah dan menyampaikan kebenaran kadang tidak diimbangi dengan keteladanan dan kebijaksanaan.

Sebagian kita kerap terjebak untuk mendakwahkan bahwa metode saya yang paling benar, bahwa syari’at golongan saya yang paling lurus, bahwa hanya kelompok saya yang ahli sunah, orang lain bid’ah semua, bahwa ilmu dan amaliah kelompok saya saja yang paling benar, dan lain sebagainya.

Apa yang terjadi ketika kita menyampaikan “kebenaran” hanya dengan ilmu semata, hanya dengan mengatakan bahwa saya lebih tahu, bahwa saya lebih baik, bahwa saya ustadz, bahwa saya ahli sunah, sementara kita lupa memberi contoh dan keteladanan?

Reaksi yang sangat keras atau bahkan pertentangan....

Ada banyak contoh kasus yang menggambarkan kondisi ini, ketika para cerdik pandai menyampaikan ilmu dan ajaran yang menurut mereka paling benar, tapi justru kemudian mendapat perlawanan yang sangat keras dari kaum yang diserunya.

Kata “Menurut mereka paling benar” inilah yang menjadi pokok pangkal perlawanan itu. Kadangkala kita memaksakan suatu pendapat kita terhadap orang lain tanpa terlebih dahulu mengetahui latar belakang dan kondisi orang tersebut, bahkan kadang kita secara dini sudah menjudge bahwa mereka salah, dan bukan mengajak mereka berdiolog dan memberi contoh cara dan ilmu yang benar jika apa yang kita katakan tentang mereka itu salah.

Jika pun ada saudara kita yang salah, bukan lantas kita malah berteriak keras, sehingga saudara kita yang mungkin diambang jurang bid’ah itu terkejut dan malah masuk jurang kehancuran.

Kalau kita benar mau meniru dakwah cara rasul, kebijaksanaan dan teladan itu yang harus kita utamakan. Al qur’an dan rasul menyuruh kita untuk berlaku adil, bahkan terhadap orang-orang yang kita benci sekalipun, konon lagi terhadap saudara kita yang masih mengucapkan “Laa ilaha ilallah Muhammdar rasulullah”.

Kalau ada bid’ah disana, adalah bijak kalau kita menjelaskan mana yang bid’ah dan mana yang seharusnya, ibarat kalau ada tikus dilumbung padi kitam bukan lumbung padi itu yang harus dibakar sehingga hangus semua padi didalamnya, bukan, tapi cari tikus itu dan biarkan padinya tetap bisa kita manfaatkan.

Mari jadikan momemtum 12 Rabbi’ul awal sebagai titik balik kita untuk meneladani perilaku Rasulullah.

Jika kita karyawan, jadilah karyawan teladan
Jika kita ustadz, jadilah ustadz teladan
Jika kita suami, jadilah suami teladan
Jika kita seorang dai, jadilah dai teladan
Sebagai apapun kita, kita harus jadi teladan, jadi trendsetter, dan satu-satunya yang harus kita jadikan contoh dan acuan kita adalah pribadi luhur dan akhlaqul karimah Baginda Rasulullah Saw, lain tidak.

Wassalam

Maret, 27, 2007

Monday, March 26, 2007

KEBERSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN

Entah mengapa tulisan “Kebersihan sebagian dari Iman” yang dulu sangat mudah dijumpai, kini seakan menghilang.

Dahulu, banyak sekali tulisan ini tertempel disekitar masjid atau musholla untuk mengajak dan mengingatkan kita akan pentingnya kebersihan.

Kebersihan rumah, akan membuat penghuninya merasa nyaman, disamping juga merupakan prasyarat untuk menjaga kesehatan.

Kebersihan lingkungan, adalah cerminan dari masyarakat yang ada dalam lingkungan tersebut, selain juga turut berperan dalam pembentukan lingkungan yang sehat.

Ruang kerja yang bersih, juga merupakan sebuah cerminan dari orang yang duduk dibelakang mejanya.

Masjid atau musholla yang bersih, akan memberikan rasa nyaman bagi orang – orang yang beribadah didalamnya.

Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa masih banyak rumah yang bersih, luas, asri dan senantiasa terjaga kebersihan fisiknya, belum mampu menampilkan sosok penghuni yang beriman, seperti judul diatas, bahwa kebersihan sebagian dari iman?

Pertanyaan juga muncul kenapa lingkungan yang asri alami, penuh pepohonan rindang dan jauh dari sampah yang berserakan, belum mampu mengatrol kualitas keimanan orang-orang disekitarnya? Kita masih banyak menemui ditengah lingkungan yang bersih, tertata rapih dan terpelihara, justru muncul benih-benih kemusyrikan dan kekufuran?

Komplek perumahan yang mewah, bersih mempesona, juga belum melahirkan pribadi – pribadi yang mengagungkan Allah sebagai penciptanya.

Meja kerja yang berhias photo keluarga, moto kerja yang sangat indah, kata mutiara nan bijaksana, tertata rapih, tanpa serakan dokumen yang berhamburan, sungguh kontras dibanding siapa yang duduk dibelakangnya. Kebersihan, kerapihan dan keindahan meja kerja, kadang sama sekali tidak mencerminkan citra diri sebagai orang atau pribadi yang beriman.

Banyak orang yang duduk dibelakang meja,terpelajar, pakai jas dan dasi, rambut tersisir rapi, justru menghasilkan kebijakan yang jauh dari harapan, atau bahkan dari balik meja kerjanya yang demikian indah itu, justru muncul kesemrutan dalam perkara ibadah dan keimanan.

Kenapa demikian? Kenapa rumah, lingkungan, ruang kerja dan kantor yang bersih belum merupakan bagian atau cerminan orang-orang yang berada didalamnya?

Apa hadits yang diriwayatkan oleh Muslim itu salah?

Atau kita yang justru salah memaknainya?

Kebersihan fisik seperti uraian diatas, terbukti secara nyata belum mampu meningkatkan kualitas iman kita, lalu kebersihan apalagi yang harusnya kita perhatikan? Sehingga kebersihan itu mampu membawa dan mengatrol kita pada kualitas iman yang semakin baik?

Kebersihan hati dan jiwa ini yang kadang kita banyak lupa. Setiap hari kita mandi, setiap saat kita bebersih rumah, lingkungan dan tempat kerja, yang tidak lain tujuannya adalah untuk kebersihan, tapi kita kadang atau bahkan kerap lupa, ada Hati dan Jiwa kita yang harusnya mendapat porsi yang sama atau bahkan lebih dibanding kebersihan lahiriah kita. Kenapa?

Rasulullah saw bersabda, “ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalu segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama kalbu!“ (HR Bukhari dan Muslim).

Hati yang bersih pangkal dari segala sebaikan. Hati yang bersih akan melahirkan pikiran yang bersih pula, hati yang bersih akan menuntun langkah dan gerak tangan untuk melakukan hal-hal yang bersih pula, hati yang bersih akan menggerakan lidah untuk bertutur kata yang bersih pula, dari hati yang bersih sajalah keimanan itu bisa bertambah.

Kebersihan “hati” sebagian dari iman, karena hati yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal ilahiyah yang akan menjadi pupuk dan vitamin bagi keimanannya.

Karena hati yang bersih akan melahirkan keyakinan yang benar, karena hati yang bersih yang dapat melahirkan amaliah yang benar, karena hati yang bersih sajalah keimanan akan terpancar.

9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
10. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy Syam:9~10)


Sungguh beruntung orang yang senantiasa menjaga kebersihan lahiriahnya, dan sungguh jauh lebih beruntung orang yang mensucikan jiwanya, sehingga terpancar cahaya keimanan dalam setiap tutur kata dan langkah-langkahnya.

Mari jaga kebersihan diri dan hati, karena dalam hati yang bersih terdapat iman yang kuat.

Wassalam

Maret 26, 2007

Menjadi Muslim Profesional

Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Meskipun begitu, seringkali seseorang yang merupakan ahli dalam suatu bidang juga disebut "profesional" dalam bidangnya meskipun bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan dengan sah. Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat olahragawan profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir yang bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Profesional)

Arti kata profesional kemudian berkembang, baik dari segi maupun fungsi kata itu sendiri. Kata profesional, kemudian lebih banyak digunakan untuk mendeskripsikan profesi seseorang, selain olahragawan, kita juga mengenal istilah pengusaha yang professional, karyawan professional, guru professional, pejabat professional, bahkan belakangan muncul penggunaan kata professional yang mungkin sangat jauh dari makna awalnya, yaitu penjahat professional, maling professional, kawanan pembobol bank professional, dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan profesionalitas kita sebagai muslim?

Meminjam istilah profesionalitas untuk seorang pekerja atau karyawan yang mensyaratkan Komitmen yang meliputi loyalitas, totalitas, semangat, pengabdian dan dedikasi, dan kompetensi – seperti skill individu, kemampuan berorganisasi, ketrampilan, kecakapan dan lainnya, seorang muslim yang baik harus memiliki nilai-nilai kompetensi dan komitment seperti tersebut diatas atau dengan kata lain sebagai muslimpun kita harus “professional”.

Kompetensi seorang muslim adalah kemampuan, ketrampilan, kecakapan, pengetahuan, pemahaman dan wawasan seorang muslim terhadap islam.

Kompetensi seorang muslim meliputi pengetahuannya tentang Islam, tentang rukun Islam dan rukun Iman, tentang hokum-hukum islam – Wajib, Sunah, Haram, makruh atau mubah, bisa membaca al qur’an, mengerti bacaan shalat, tahu kewajiban-kewajiban syar’i-nya, tahu ilmu fiqh.

Komitmen seorang muslim adalah loyalitas, penghambaan, keikhlasan, pengabdian, kepatuhan terhadap hukum syari;at dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai konsekuensi keislamannya.

Kompetensi saja, belum cukup untuk menjadikan kita sebagai seorang muslim yang propesional. Pemahaman kita tentang hukum halal dan haram saja, tanpa disertai komitmen kita untuk menjalankan hukum tersebut secara benar, justru banyak melahirkan “muslim amatir”, yang hanya pandai berdalil, tapi miskin dalam pelaksanannya.

Kecakapan kita dalam membaca bacaan shalat dan melakukan gerakan shalat secara sempurna saja, tanpa diikuti komitmen untuk menegakan shalat tepat waktu, menegakan shalat secara benar, belum akan mencapai esensi nilai shalat sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar.

Pengetahuan kita tentang kewajiban zakat, pemahaman kita tentang urgensi puasa, dan kecukupan kita untuk menunaikan ibadah haji, yang tidak disertai komitemen kuat, hanya akan melahirkan “muslim amatir” yang hanya pandai bicara, pandai berdalil, fasih berfatwa, tapi nol besar dalam amaliahnya.

Sebaliknya, ketika seorang muslim mempunyai tekad yang kuat, mempunyai kesungguhan, memiliki keinginan untuk melaksanakan hukum-hukum yang telah disyari’atkan, belum merupakan ciri muslim professional, karena komitmen yang tidak disertai kemampuan, pemahaman dan pengetahuan tentang ilmu yang mendasarinya, akan melahirkan komitmen semu, komitmen yang bias, komitmen yang absurb.

Contoh kecilnya, seorang yang memiliki komitmen sangat tinggi, sehingga dengan komitmennya itu ia melaksanakan shalat shubuh yang seharusnya 2 rakaat menjadi 4 rakaat misalnya, bukankah ini sama saja dengan “muslim amatir” yang sok rajin dan penuh komitmen?

Seorang muslim professional adalah seorang muslim yang memiliki paduan sempurna antara Kompetensi yang memadai dan komitmen yang kuat.

Seorang muslim professional tahu makna dan arti syahadat yang diucapkannya, kemudian ia berkomitment untuk tidak beribadah kepada selain Allah, dan menjadikan Rasulullah sebagai satu-satunya sosok teladan yang harus diikuti, sehingga kemudian ia menjadi pribadi yang terpelihara dari sifat-sifat musyrik dan kufur.

Seorang muslim professional tahu rukun dan syarat sahnya shalat, ia juga berkomitmen untuk menegakan shalat dengan penuh keikhlasan dan penuh pengabdian. Sehingga kemudian shalat yang dirikannya mampu menjadikan ia sebagai sesosok pribadi muslim yang paripurna, berilmu dan beramal, ia akan menjadi muslim professional.

Seorang muslim professional tahu syari’at zakat dengan benar, kemudian ia dengan komitmen tinggi melaksanakan kewajiban berzakat yang disertai dengan kesadaran dan keikhlasan, yang dengan itu, ia menjadi sosok pribadi yang bersih secara lahir dan bathin, baik kebersihan jasmaninya, maupun kebersihan harta bendanya.

Seorang muslim professional tahu bahwa Allah mewajibkan puasa, dan ia tahu rukun dan syarat puasa, kemudian denga komitmen yang benar, ia melaksanakan shaum ramadhan dengan diserta iman dan keihlasan, sehingga ketika ia keluar dari ramadhan, ia benar-benar menjadi sosok yang kembali pada fitrah kemanusiaan dan kebenaran.

Seorang muslim professional adalah muslim yang tahu kewajiban dan syari’at haji dengan benar, kemudian ia, dengan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya, ia dengan penuh komitmen menunaikan kewajiban itu, sehingga ia berhak mendapa balasan dari Allah berupa janahnya kelak, pun didunia sekembalinya ia dari ibadah haji, menjadi sosok pribadi yang dipenuhi nilai-nilai “mekah dan madinah”, nilai-nilai arofah yang didapatnya selama ibadah haji.

Profesional, kata kunci yang akan mengantar kita pada gerbang keberhasilan. Atlet professional, yang mengerti tanggung jawabnya sebagai atlet, berpeluang besar untuk menjadi atlet yang banyak meraih gelar.

Karyawan professional, yang memiliki kompetensi dan komitment tinggi terhadap pekerjaannya, memiliki potensi untuk mencapai karir tertinggi dalam bidangnya.

Pun dengan pejabat professional, aparat professional, insya allah mereka adalah orang-orang yang sudah menjejankan sebelah kakinya pada ruang keberhasilan.

Muslim professional, muslim yang mengerti Islam dengan benar dan dengan penuh komitmen kepada Allah untuk melaksanakannya, berpeluang besar untuk mendapat ridha dan jannah-Nya, Insya Allah, amiiin

Wassalam

Maret 26, 2007

Friday, March 23, 2007

INDAHNYA SHALAT

78. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh[865]. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Al Israa’:78)

[865] ayat Ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.

Shalat secara bahasa berarti “Do’a, sementara secara Syar’i shalat didefinisikan sebagai suatu ibadah yang terdiri dari beberapa perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali denga takbiratul Ikhram dan dikahiri dengan salam.

Rukun Shalat;
- Niat
- Berdiri bagi yang mampu
- Takbiratul Ikhram
- Fatihah
- Ruku – dengan Thuma’ninah
- I’tidal – Bangun dari ruku – dengan thuma’ninah
- Sujud, masing-masing dua kali setiap rakaat
- Duduk diantara dua sujud
- Duduk tasyahud akhir
- Membaca tasyahud akhir
- Membaca Shalawat
- Salam
- Tertib

Tujuan Shalat;

14. Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaaha:14)
Shalat adalah sebentuk pengabdian kita sebagai mahluk kepada Allah, shalat juga merupakan sarana kita untuk mengingat Allah.

Ini yang kadang “lepas” dari kita ketika kita shalat. Shalat kita bukan sebagai bentuk pengabdian kita, tapi lebih pada “keterpaksaan” kita untuk memenuhi kewajiban syari’at semata.

Shalat kita juga kadang bukan merupakan komunikasi atau sarana kita untuk mengingat Allah, tapi justru kadang menjadi “sarana pemaksaan kehendak kita kepada Allah”.

Kadang dengan shalat kita sudah merasa berhak untuk mendikte Allah dengan berbagai permohonan kita, dan sekali lagi kita cenderung memaksakan kehendak kita kepada Allah, kita pengin keinginan kita segera terkabul, kita ingin jumlahnya sesuai dengan kehendak kita, itu yang salah, Kita adalah mahluk, dan tidak berhak mengatur Allah, tapi justru Allah-lah yang berhak melakukan dan memberikan apapun kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Kondisi inilah yang kemudian mengaburkan tujuan shalat kita, yakni untuk mengabdi dan mengingat-Nya semata.

Fungsi Shalat

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Ankabut:45)
Shalat berfungsi sebagai benteng bagi kita untuk terhindar dari perbuatan keji dan munkar.

Dusta adalah perbuatan keji dan munkar

Ingkar janji adalah perbuatan keji dan munkar

Khianat adalah perbuatan keji dan munkar

Berjudi dan meminum khamr adalah perbuatan keji dan munkar

Berzinah adala perbuatan keji dan munkar

Menyuap dan disuap adalah perbuatan keji dan munkar

Menyebar fitnah dan teror adalah perbuatan keji dan munkar

Menyekutukan Allah adalah perbuatan keji dan munkar

Dan masih banyak lagi berbagai perbuatan keji dan munkar yang harusnya bisa kita hindari
manakala shalat kita benar, bukan hanya benar secara syari’at semata, tapi juga menyentuh esensi dan hakikat yang benar pula.

Definisi shalat secara syari’at diatas, suatu ibadah yang terdiri dari beberapa perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali denga takbiratul Ikhram dan dikahiri dengan salam, memang tidak menyebutkan kehadiran hati ketika kita shalat secara explisit. Tapi justru disinilah duduk persoalan dan pangkal masalahnya.

Shalat yang tidak disertai kehadiran hati, dan hanya berupa “Perkataan dan Perbuatan” tertentu, tidak akan lebih dari amaliah yang juga mensyaratkan perkataan dan perbuatan sebagai salah satu aktivitasnya.

Senam misalnya, juga merupakan aktivitas perkataan dan perbuatan, menyanyi misalnya, juga merupakan aktivitas perkataan dan perbuatan, tapi shalat seharusnya lebih dari sekedar aktivitas senam atau menyanyi, karena shalat adalah aktivitas ibadah yang melibatkan kita dengan sang khaliq, dan hanya dengan kehadiran hati sajalah kita mampu berkomunikasi dengan Allah lewat shalat yang benar.

Seperti pernah ditulis dalam artikel “Menjadi santri dengan Shalat” bahwa shalat merupakan rangkaian ibadah yang harus melibatkan Qawli – Perkataan, Qalbi – Hati, serta Fi’li – Perbuatan.

Kedua rukun Qawly danFi'li dapat gugur pada kondisi tertentu, tapi tidak demikian halnya dengan Qalbi, harus ada pada saat kita shalat, bagaimanapun kondisi lisan dan jasmani kita.
Kalau kita mau sedikit jeli, meski tidak secara explisit dijelaskan tentang kehadiran hati pada definisi shalat secara syar’i tersebut diatas, hampir disetiap gerakan shalat selalu menyertakan kata “Thuma’ninah”.

Thuma’ninah", mengandung arti : senang, nyaman, puas, bahagia, tenang, yang akan menumbuhkan kepuasan batiniah, dan erat kaitannya dengan keimanan, dan ketakwaan.
“Keimanan dan ketakwaan” hanya mungkin dicapai oleh seseorang yang senantiasa menyertakan “hati” dalam setiap aktivitas ibadahnya, pun demikian halnya dengan shalat, hati harus hadir, agar shalat kita mampu mencapai fungsi shalat sebagai sarana pencegah perbuatan keji dan munkar.

Selanjutnya, selain sebagai proteksi dari perbuatan keji dan munkar, shalat juga merupakan sarana dan media untuk menggapai pertolongan Allah, sebagaimana termaktub dalam ayat berikut;

45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (Al Baqarah:45)

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (al Baqarah:153)

Pertolongan, dapat berupa pembebasan diri dan jiwa kita dari rasa takut, kekurangan, perasaan cemas, depresi atau lainya.

Pertolongan juga dapat berarti pemberian nikmat dan karunia Allah berupa iman, islam, sehat , rezeki dan keselamatan.

Pertolongan Allah juga dapat berarti pemberian Allah berupa jalan keluar atas segala masalah dan urusan kita, atau dipenuhinya segala keperluan kita.

Pertolongan Allah juga dapat berarti pertolongan untuk membantu kita berperang dengan nafsu dan musuh-musuh Islam

Dan apabila Allah telah menggulurkan “tangan-Nya” untuk menolong kita, sungguh kita akan menjadi pemenang yang hakiki; karena tidak akan ada yang dapat mengalahkan kita. Sebaliknya, ketika kita dibiarkan Allah untuk menyelesaikan masalah dan urusan kita, niscaya kita akan terjerembab dalam kubangan kenistaan.

160. Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (Tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.(Ali Imran:160)

Pertanyaannya adalah setelah sekian puluh tahun kita shalat, kenapa kita masih merasakan kesulitan dan merasakan jauhnya pertolongan Allah kepada kita?

Lagi, jawabannya adalah mungkin shalat kita selama ini masih terbatas pada ucapan dan perbuatan semata, sementara hati kita entah dimana ketika kita shalat.

Mustahil Allah berbohong dengan ayat-ayat-Nya, karena Dia adalah Dzat yang senantiasa memenuhi janji. Kalau demikian adanya, shalat kitalah yang harus kita perbaiki segera, agar pertolongan Allah dapat digapai dengan sempurna.

Sempurnakan perkataan dan perbuatan syari’at shalatmu, jangan lupakan untuk sertakan hatimu, insya Allah kita akan dapat merasakan indahnya shalat.

Wassalam

Maret 23, 2007

JANGAN JADI KORBAN SEJARAH

Dalam pustaka dongeng legenda Indonesia, kita mengenal dongeng-dongeng yang sangat terkenal dan melegenda di masyarakat, sehingga demikian terkenalnya, kisah dan dongeng seakan-akan nyata adanya.

Kita mengenal dongeng Sangkuriang, legenda dari tatar sunda yang mengisahkan perkawinan dua mahluk berbeda jenis, yaitu Dayang Sumbi dan Si Tumang dan juga kisah seorang anak, Sangkuriang yang mencintai Dayang Sumbi, ibundanya.

Kemudian cerita berlanjut dengan permintaan Dayang Sumbi kepada Sangkuriang untuk membuatkan sebuah telaga berserta perahunya dalam waktu satu malam, sebagai syarat agar diterima cintanya.

Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang hampir berhasil memenuhi permintaan itu, tapi kemudian digagalkan oleh suara kokok ayam yang menandakan datangnya pagi, dan dengan kemarahannya, Sangkuriang melempar perahu yang hampir jadi hingga kemudian melayang jauh, dan jatuh tertelungkup, hingga kemudian hal ini dikaitkan dengan Gunung Tangkuban Perahu (Perahu yang Nangkub, terbalik)

Dongeng lain, yang menceritakan hal yang hampir mustahil dilakukan oleh manusia adalah dongen Bandung Bondowoso yang diminta oleh Roro Jonggang untuk membuat seribu candi dalam satu malam, kemudian akhir kisah ini juga berujung pada kegagalan.

Dongeng lain yang nyaris serupa adalah Sukrasana, adik Raden Sumantri, patih kerajaan Maespati, yang diminta untuk memindahkan taman Sriwedari juga dalam waktu semalam, pun dengan dongeng ini, akhirnya berujung pada kegagalan.

Kisah-kisah diatas adalah dongeng dan legenda yang kebenarannya sangat-sangat debatable, tapi yang menarik adalah sebagian dari kita ada yang menjadi “korban” dari dongeng-dongeng itu.

Sistem Kebut semalam, adalah idiom yang sangat dikenal dilingkungan pelajar, biasanya untuk menggambarkan bagaimana seorang pelajar “ngebut” belajar semalaman untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian keesokan harinya. Mereka, pelajar-pelajar itu, secara sadar atau tidak, seperti ingin melakukan suatu hil yang mustahal yang pernah dilakukan oleh para tokoh dalam negeri dongeng yang pernah dibacanya, seperti Sangkuriang, Bandung Bondowoso ataupun Sukrasana.

Mereka ingin melakukan “keajaiban” untuk mendapatkan nilai ujian yang bagus dengan hanya belajar semalam saja, tapi mungkin mereka lupa, bahwa akhir kisah tokoh-tokoh dongeng itu berujung pada kata “gagal”.

Sebenarnya mungkin ada sebersit nasehat dari dongeng-dongeng itu, bahwa untuk mencapai sesuatu hasil yang maksimal, diperlukan sebuah proses, dimulai dari persiapan yang matang hingga detail pekerjaan yang akan dilakukan sampai dengan finishing, sebuah upaya yang dilakukan secara konsisten dengan penuh perhitungan dan kerja keras, tak ada sesuatu yang terjadi didunia nyata ini hanya dengan ucapan bim salabim abra kedabra, maka jadilah sesuatu yang kita inginkan.

Tapi kebanyakan dari kita, mungkin tidak menggaris bawahi bahwa pekerjaan apapun, baik membuat danau dan perahau, baik membuat seribu candi maupun memindahkan taman Sriwedari, tidak bisa dilakukan dalam satu malam, bahkan oleh orang-orang sakti sekalipun, apalagi kita, yang masih makan nasi begini....

Yang agak sedikit memprihatinkan adalah jika kemudian “penyakit Sistem kebut semalam” itu bukan hanya terjadi dikalangan pelajar, melainkan sudah merambah pada orang-orang dewasa, para pekerja dan bahkan para eksekutif sekalipun.

Mereka biasa menunda pekerjaan hariannya, untuk kemudian mengerjakannya pada waktu yang sudah sangat mepet, ketika waktu closing tinggal menyisakan hitungan jam saja, sehingga kelihatan sedemikian sibuknya.

“Jika bisa ditunda, kenapa harus sekarang?” ini adalah statement yang salah, yang benar adalah “ Never put off till tommorow , If you can do today – Jika bisa dikerjakan hari ini, kenapa mesti besok?” sehingga kita tidak terjebak dalam situasi yang akan merangsang andrenalin kita untuk stress.

Kita bukan Sangkuriang, kita bukan Bandung Bondowoso ataupun Sukrasana, kita, adalah manusia yang hidup dialam nyata, yang dibekali waktu dan kemampuan yang sangat-sangat terbatas, sehingga kitapun tidak bisa berperilaku seperti tokoh dalam dongeng diatas.

Kita akan jauh lebih puas menikmati hasil kerja kita, ketika orang lain bisa memakai dan menghargai apa yang kita lakukan, dan itu hanya mungkin didapat ketika kita memberi waktu kepada pemakai jasa kita untuk menilai pekerjaan kita.

Ketika hasil kerja kita selalu berkejaran dengan waktu yang sedemikian sempet, mana sempat para pemakai hasil kerja kita mereview pekerjaan kita, wong kerjaan mereka saja masih numpuk.

Dalam bekerja atau pekerjaan, bukan hanya gaji yang akan kita dapat, tapi disana, didalam pekerjaan kita ada nilai yang jauh lebih bernilai; ada nilai kepuasan pribadi bagi kita ketika pekerjaan kita selesai tepat waktu, ada nilai aktualisasi diri bahwa kita mampu, ada nilai pengembangan diri, dengan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, peluang kita untuk belajar hal lain dan mengembangkan diri jauh lebih luas dan terbuka, dan yang terpenting ada nilai pahala, apabila kita ikhlas lillahita’ala melakukan pekerjaan kita, bukan untuk boss, bukan untuk atasan, tapi semata-mata sebagai kasab kita dalam mencapai ridha Allah swt.

Jangan biarkan alam bawah sadar kita menyerap kemustahilan dongeng, karena kita hidup dialam nyata.

Keberhasilan hanya didapat dengan kerja keras, bukan dengan berandai-andai dan memanjakan khayalan.

“Aji kepepetisme” masih kerap digunakan oleh sebagian kita, ketika dalam keadaan terjepit, semuanya seolah bisa diselesaikan dengan sendirinya. Benar, mungkin benar bisa selesai, tapi bagaimana dengan kualitas keluaran yang dihasilkan dari proses kerja yang hanya satu malam?

Tarik ulur kebijakan, gonta-ganti peraturan, perubahan undang-undang yang silih berganti, salah satu faktornya adalah cara kerja kebut semalam, cara kerja ala sangkuriang atau Bandung Bondowoso, cara kerja yang akan berujung pada kegagalan.

“Persiapan yang baik, adalah 80% dari total pekerjaan itu sendiri”

Selamat tiba didunia nyata, dan selamat tinggal dunia dongeng!

Wassalam

Maret 14, 2007

MALU, BAGIAN DARI IMAN

“Kita memiliki semuanya untuk menjadi bangsa yang besar, kekayaan alam, sumberdaya manusia, semua kita punya, kecuali satu, kita tidak punya rasa malu”

Terasa miris mendengar statement seorang teman seperti diatas, terasa jengah kita mendengarnya, tapi kita rasanya perlu berbesar hati, bahwa menipisnya rasa malu kalau tidak mau dibilang hilang sama sekali, tengah melanda masyarakat kita.

Sebagai sebuah bangsa, kita memiliki semua syarat untuk menjadi negara adidaya, kekayaan alam, tanah yang subur, laut yang luas, sumberdaya manusia, sumber daya teknologi, kitapun memilikinya, tapi kondisi kita sebagai bangsa saat ini, belum beranjak dari negara berkembang, atau kalau mau jujur, mungkin kita masih bisa dikategorikan negara terbelakang, dalam hal iptek kita tertinggal, ekonomi kita hanya pandai jadi penghutang, beras pun masih impor, minyak masih impor, tingkat pendidikan rendah, tingkat kesejahteraan masih diambang batas kemiskinan, dan masih banyak lagi indikator keterbelakangan kita sebagai bangsa.

Kenapa bangsa yang dipenuhi segenap potensi ini menjadi sedemikian terpuruk?

Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan keterpurukan ini adalah menipisnya rasa malu dari bangsa yang besar ini.

Pemimpin bangsa ini, tak lagi memiliki rasa malu untuk memakan uang rakyatnya, tak punya rasa malu untuk mengumbar janji yang tak pernah ditepatinya, tak pernah merasa malu memutar balik pernyataannya, dan yang paling parah, sebagian besar pemimpin negeri ini tak lagi merasa malu kepada Allah, yang telah menempatkan mereka sebagai pemimpin.

Mereka merasa bahwa apa yang didapatnya sekarang, pangkat, jabatan, kedudukan yang mereka miliki, adalah hasil jerih payah dan kepintaran mereka semata, sehingga mereka merasa berhak berbuat apapun setelah berada diposisinya.

Jabatan tak lagi dipandang sebagai amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkan secara moral kepada sesama manusia, dan kepada Allah Swt yang telah menempatkan mereka sebagai pemimpin.

Mereka lupa bahwa pemimpin yang dhalim dan tidak disukai rakyatnya adalah salah satu calon penghuni neraka yang abadi, mereka hanya memikirkan dunia saja, dan sudah melupakan akhirat yang jauh lebih besar daripada kehidupan dunia yang hanya sebentar ini.

Penduduk dan rakyat negeri ini pun sudah banyak yang kehilangan rasa malunya,mereka lebih senang menadahkan tangan, daripada berusaha dan bekerja untuk memenuhi kewajiban syariatnya mendapatkan karunia Allah swt.

Jumlah “penadah” jauh lebih banyak daripada orang yang mengulurkan tangan, dan akibatnya adalah roda kehidupan bangsa ini terasa sangat berat untuk bergerak maju menuju kondisi yang lebih baik.

Sebagian besar rakyat dan penduduk negeri ini pun sudah mulai kehilangan rasa sungkan dan rasa malunya untuk berbuat maksiat. Setiap hari kita dengan mudah menjumpai perbagai pelanggaran norma, pelanggaran hukum dan pelanggaran akidah terpampang disana sini. Penduduk dan rakyat negeri ini sudah kehilangan rasa malu kepada Allah yang telah mengkaruniakan alam yang indah, gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja, dengan semakin banyak berlaku maksiat kepada Allah dan kepada sesama manusia.

Disisi lain, orang-orang yang menyeru pada kebenaran dan menjadi teladan semakin langka saja dinegeri ini. Orang-orang lebih banyak diam dan tiarap serta cari aman saja melihat kemaksiatan melanda sebagian anak negeri bak gelombang tsunami. Mereka merasa “aman” dari ajab Allah dengan tidak melakukan kejahatan, sementara membiarkan kemunkaran merajalela, sekali-kali tidak demikian, karena siksa Allah tidak khusus menimpa orang-orang yang dhalim saja, tapi semua orang yang ada dalam wilayah tersebut; sebagaimana firman Allah;


25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(Al Anfal:25)


Malu sebagian dari iman, kalau malu sudah sedemikian tipis, maka iman pun dipertanyakan.

Sebagai pribadi, kita pun harus segera berbenah dan mawas diri, masihkah ada rasa malu dalam hati kita?

Malukah kita ketika kita beribadah dan mengabdi kepada selain Allah?

Malukah kita ketika kita tidak shalat tepat waktu?

Malukah kita ketika kita tidak berzakat?

Malukah kita ketika kita tidak berpuasa?

Malukah kita tidak pergi haji, sementara kita berkecukupan?

Malukah kita ketika kita tidak bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya?

Malukah kita ketika ada tetangga kita yang kelaparan, sementara kita berlebihan?

Malukah kita ketika menjadikan orang tua kita tak lebih hanya sebagai pelayan?

Malukah kita apabila cengengesan ditengah kumandang adzan?

Malukah kita ketika membiarkan kemaksiatan didepan mata kita?

Malukah kita ketika kita tak bisa membaca al qur’an?

Malukah kita yang selalu merasa bangga dengan dosa-dosa?

Malukah kita ketika lebih banyak guyon, daripada saling menasehati?

Malukah kita bicara tanpa guna?

Malukah kita ketika anak yatin dan fakir miskin terlantar?

Malukah kita ketika kita hanya pandai menghias masjid, sementara tak pandai memakmurkannya?

Malukah kita menggunakan waktu luang kita untuk sesuatu yang kurang bermanfaat?

Malukah kita memanfaatkan sehat kita untuk maksiat?

Malukah kita menghabiskan jatah umur kita untuk sekedar numpang lewat?

Malukah kita kalau berkata dusta?

Malukah kita kalau tak menepati janji?

Malukah kita kalau berkhianat?

Malukah kita bermaksiat pada Allah?

Malukah kita pada kebenaran yang kerap kita langgar?

Malukah kita pada hati yang kerap kita dustai?

Ketika jawaban kita atas pertanyaan “Malukah kita” diatas banyak “Tidak” nya, maka kita harus segera memperbaiki “rasa malu” kita, karena sangat boleh jadi, ketika rasa malu sudah menipis dalam diri kita, iman kitapun demikian adanya, Naudzubilah.

Malu, bagian dari iman, pelihara rasa malu kita, agar terjaga kualitas iman kita

Wassalam

Maret 14, 2007

PARA PENDUSTA AGAMA

Dusta, adalah sebuah sifat yang paling dibenci Allah dan Rasul-Nya. Baik itu dusta dalam perkataan, maupun dusta dalam perbuatan. Dusta merupakan salah satu ciri orang munafik, dari tiga ciri utama yang lainnya, yaitu Apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia ingkar dan apabila dipercaya ia khianat.

Berkata dusta, dapat berarti berkata yang tidak sesuai fakta yang ada, dapat pula berarti tidak menyampaikan sesuatu secara benar, memutar balikan fakta dan kenyataan, atau menyembunyikan kebenaran.

Dusta dalam perbuatan dapat berupa kefasikan, yakni tahu aturan dan syari’at yang benar, tapi tidak melaksanakannya, sebagaimana termaktub dalam firman Allah berikut;

1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya[1603],
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna[1604].

[1603] riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
[1604] sebagian Mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.

Secara syari’at, para pendusta ini mengetahui atau bahkan sangat hapal dengan berbagai dalil yang menyatakan agar kita menyantuni anak yatim, memelihara dan memberinya makanan yang layak, tapi dalam kenyataannya, mereka, para pendusta ini, justru berlaku tidak patut pada para yatim yang seharusnya mereka lindungi, mungkin dengan berkata kasar dan bahkan mungkin menghardiknya.

Para pendusta juga menyadari dan mengetahui bahwa dalam harta yang mereka dapat, ada hak-hak orang miskin, anak yatim, musafir dan lainnya yang harus ditunaikan hak-haknya, dan itu merupakan kewajiban mereka, tapi mereka mendustakannya, dengan tidak menganjurkan dan memberi maka pada fakir miskin.

Para pendusta juga terdapat pada golongan orang yang lalai dalam shalatnya. Para mufasir ada yang mengartikan “lalai dalam shalat” berarti menunda-nunda waktu shalat, ada pula yang mengartikan bahwa lalai dalam shalat berarti mereka tidak tahu apa makna shalat dan arti bacaan dalam shalat.

43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

[301] menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat Ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.

Mabuk, diartikan mabuk karena minum khamar atau minuman keras, mabuk juga diartikan orang yang kehilangan kesadarannya, mabuk dapat juga berarti mabuk secara maknawi, yakni orang-orang yang secara lahiriah dan badanya melaksanakan shalat, sementara hati dan fikirannya entah dimana.

Kita sering merasakannya sendiri bagaimana ketika kita shalat, fikiran kita tengah “mabuk” pekerjaan, fikiran kita kadang dimabukan oleh berbagai masalah duniawi, fikiran kita kadang dimabukan oleh angan-angan kosong, fikiran kita kadang mabuk dunia, sehingga ketika kita shalat, bukan “Allah yang terlihat”, melainkan tumpukan kertas kerja, gambar jadwal yang padat, rencana dan keinginan duniawi serta angan-angan kosong yang dihembuskan oleh syetan durjana.

Kadang kita sering merasa terganggu dengan bunyi dering handphone ketika kita shalat, tapi kita sama sekali tidak merasa terganggu dengan dering hati kita yang melagukan keinginan duniawi kita.

Kadang kita marah kalau ada anak-anak yang ribut ketika kita shalat, tapi kita diam saja ketika hati kita ribut tak karuan memikirkan keinginan-keinginan nafsu kita, kita sering merasakan ingin ini dan itu ketika kita shalat.

Kadang pandangan kita juga merasa terganggu dengan gambar dan warna baju yang dipakai orang lain, tapi kita jarang merasa terganggu ketika kita “menggambar Allah dalam hati kita”, kita sering terjebak untuk ber-personifikasi” tentang Allah, padahal itu mustahil; “Laitsa kamislihi sai’un – tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”

Apa balasan bagi mereka, para pendusta agama yang lalai?

Para pendusta agama, yakni mereka yang lalai dalam mendirikan shalat, mereka yang tidak menganjurkan dan memberi makan fakir miskin dan anak yatim, serta biasa dan gemar berbicara yang bathil, serta mereka yang mendustakan hari kiamat, mereka akan menjadi penghuni neraka Saqar, Naudzubilah.

42. "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
43. Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
44. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,
45. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya,
46. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan,


Apa itu neraka Saqar?

26. Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.
27. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu?
28. Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan [1527].
29. (neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia.
30. Dan di atasnya ada sembilan belas (Malaikat penjaga).
31. Dan tiada kami jadikan Penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al Kitab dan orng-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan Ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan dia sendiri. dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.

[1527] yang dimaksud dengan tidak meninggalkan dan tidak membiarkan ialah apa yang dilemparkan ke dalam neraka itu diazabnya sampai binasa Kemudian dikembalikannya sebagai semula untuk diazab kembali.

Kalau lalai shalat saja demikian hebat azabnya, masihkah kita berani meninggalkan shalat?

Shalat tidak mempunyai uzur untuk ditinggalkan, shalat dengan berdiri ketika kita sehat, duduk tak kala kita sakit, berbaring ketika tak bisa duduk, berisyarat ketika tak mampu bergerak, dan Innalillahiwa inna ilaihi rajiuun, kita dishalatkan ketika berisyaratpun kita tidak mampu.

Jangankan karena hujan, angin atau panas, dalam badaipun kita tetap harus melaksanakan shalat.

Jangankan hanya dalam perjalanan, dalam keadaan perangpun kita harus tetap menunaikan shalat.

Konon lagi kalau alasan kita meninggalkan shalat karena malas, atau karena enggan, atau karena atasan kita tidak shalat, adakah istilah lain yang lebih baik atau lebih santun dari “Pendusta agama” bagi mereka yang meninggalkan shalat?

Mari kita memohon kepada Allah untuk diberi kemampuan untuk dapat menunaikan shalat dengan baik lagi khusyu, dan tidak dilalaikan oleh kesibukan oleh urusan dunia, apalagi sampai kita meninggalkan shalat karena malas.

Wassalam

Maret 15, 2007

PERMATA HATI

Selalu saja menarik menulis dan berbicara tentang hati, karena disana, didalam kata “hati” ada segudang Tanya dan misteri yang belum terungkap dan selaksa ilmu yang belum tersingkap.
Tak akan habis cerita tentang hati, tak akan basi berbicara tentang hati, tak akan jemu menuliskan bisikan dan kata yang terbersit dari hati, tak akan puas kita belajar bahasa hati, bahasa yang mengandung seribu makna, bahasa yang mengandung selaksa rasa, bahasa yang mengandung berjuta keindahan.

Kata hati, bahasa hati, gerak hati, tanya hati, kretegeng ati, banyak sekali istilah yang digunakan untuk berusaha mendefinisikan hati.

Hati adalah sebuah intan permata yang menyimpan sejuta kemilau dan keindahan, dari hati yang bersih akan terpancar cahaya keimanan, cahaya kebenaran, cahaya kearifan yang penuh pesona. Dari hati yang bersih akan semburat kilau yang penuh kearifan, dari hati yang bersih akan keluar sejuta kebijaksanaan, hati yang bersih adalah permata dengan berjuta kilau pesona.
Bagaimana menjadikan hati yang bersih, agar kilaunya keluar dan mampu menerangi jalan kehidupan yang akan dilaluinya?

Ada banyak cara untuk membersihkan hati, sehingga cahaya fitrah Rabbaniyah kita terpancar dominan dibanding dengan fitrah lainnya; salah satunya adalah melalui proses Muhasabah, yang diartikan sebagai sikap introspeksi diri dari setiap pribadi sebagai mahluk ciptaan Allah, melalui tiga tahapan, Yaitu Takhali, Tahali dan tajali.

Makna Takhali, digambarkan sebagai sikap untuk mengosongkan, memperbaiki sikap dan perilaku, serta meninggalkan pola-pola kehidupan yang lama yang tidak atau kurang sesuai dengan norma, tata aturan atau syar’at.

Proses ini meliputi proses pengosongan diri dari sifat-sifat hewani, seperti rakus, tamak, buas dan tak tahu malu, pemarah, pengumpat, pendendam, pendengki serta sifat grasa-grusu (tidak sabaran).

Takhali juga meliputi upaya untuk mengendalikan sifat-sifat syaitoniyah yang ada pada diri dan hati kita, seperti sifat sombong, ujub, takabur, riya dan malas beramal shaleh.

“Ketika satu hari baju ini sudah dipakai dan berkeringat, sudah pasti akan hilang rasa percaya diri. Mau tidak mau untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang kotor ini, harus dilepas dan dicuci, kemudian diganti dengan yang baru. Ini namanya Takhali,” jelas Ustadz Jefry Al Bukhori pada saat ceramah memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharam 1427 H, Rabu (1/2), di Aula Sudirman Dephan, Jakarta.

Sementara Tahali digambarkan sebagai suatu aktivitas untuk mengisi kembali hati yang telah dibersihkan dengan proses Takhali dengan hal-hal baru yang lebih baik.

Sifat rakus dan tamak diganti dengan sifat Qana’ah, sifat buas diganti dengan sifat santun, sifat tak tahu malu diganti dengan sifat beradab, sifat pemarah, pengumpat, pendendam dan pendengki diganti dengan sifat pemaaf, serta sifat grasa-grusu diganti dengan sifat penyabar.

Sifat sombong, angkuh, ujub dan takabur diganti dengan sifat rendah hati, tepo seliro, tenggang rasa, hormat menghormati dan menghargai orang lain. Rasa malas diganti dengan sifat patuh, taat dan rajin dalam melaksanakan perintah Allah swt.

Sementara itu Tajali diartikan pemberdayaan sifat-sifat Rabbaniyah yang sudah terbentuk dalam proses tahali, sehingga bukan hanya bermanfaat untuk dirinya semata, tapi juga bermanfaat untuk orang lain dan lingkungannya.

Ketika kita sudah bisa berlaku Qana’ah dan kemudian ini kita tularkan kepada orang lain, insya Allah, tidak akan ada lagi kerakusan, kebuasan, nafsu serakah yang memangsa nilai-nilai kemanusian dalam bentuk korupsi, dalam bentuk diktator dan lainnya.

Ketika kita sudah bisa menjaga rasa malu kita, dan kita menularkannya kepada orang lain, insya allah tidak akan ada lagi kebinasaan umat dan lingkungan yang diakibatkan oleh tangan-tangan jahat yang tidak mempuyai rasa malu.

Ketika kita sudah bisa menjaga amarah dan lisan kita untuk hanya mengatakan dan menyampaikan kata dan perilaku yang baik, dan kita bisa menularkannya kepada orang lain, insya allah, perang dan kebiadaban tidak akan ada lagi, atau minimal bisa menekan angka kriminal dan tontonan kebrutalan dilingkungan kita.

Ketika kita sudah bisa berlaku sabar, baik sabar dalam menjalankan perintah Allah, maupun sabar dalam menjauhi larangannya, dan kita bisa menularkannya kepada orang lain, kedamaian tercipta, ketenangan terpelihara, harmoni bukan lagi sekedar impian.

Dalam bahasa lain, upaya atau proses penyempurnaan diri dan hati manusia, dapat dilakukan melalui proses Ta’alluq, yaitu sebuah upaya kita untuk menggantungkan hati dan pikiran kita hanya kepada Allah semata.

Proses selanjutnya adalah Takhaluq, yakni pengejawantahan sifat-sifat rabbaniyah, seperti sifat pemaaf, sifat penyabar, sifat kasih sayang dalam kehidupan keseharian kita.

Proses ketiga disebut proses Tahaqquq, yakni proses aktualisasi sikap rabbaniyah kita dengan menebarkan cinta kasih kepada sesama dan lingkungan, berbagi dengan sesama dan lingkungan, hormat menghormati dan saling menghargai sehingga tercipta kehidupan yang damai dan harmoni yang selaras dengan langgam yang digariskan dalam tata aturan syari;at yang benar.

Apapun namanya, bagaimanapun prosesnya, kebersihan hati adalah sebuah keharusan, yang tidak bisa ditawar atau ditunda, karena dengan hati yang bersih sajalah jalan kehidupan kita terterangi oleh cahaya kebenaran yang akan menuntun untuk meniti jalan yang akan mengantar kita kepada Allah Swt.

“Jaga hatimu, beri bingkai terindah, pelihara dari kotor dan debu, agar hati senantiasa hidup, segar dan lestari sampai kita kembali nanti.

Wassalam

Maret 16, 2007

SAYANGI DIRIMU

Kita semua pasti menyayangi diri kita sendiri, yang karena sayang dan kecintaan pada diri sendiri itulah kemudian kita berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik yang kita mampu untuk diri kita.

Dalam segi penampilan fisik kita, kita berusaha menampilkan citra terbaik dari diri kita, kita mengenakan pakaian yang bagus, rapi dan mahal untuk membentuk citra diri kita bahwa kita orang yang perlente. Rambut ditata sedemikian rupa, pakai parfum dan minyak wangi, dan kalau perlu kadang kita meniru penampilan seorang bintang atau public figure untuk dijadikan contoh bagi kita, yang sekali lagi tujuannya untuk menampilkan diri kita sebaik mungkin sebagai perwujudan kecintaan kita terhadap sang “diri” kita.

Kita, atau diri kita, bukan hanya yang tampak secara lahiriah semata, bukan hanya jasad semata, tapi ada satu sisi lain”diri” kita yang kadang lupa untuk mendandaninya, sehingga sisi lain diri kita yang satu ini nampak kusam dan semrawut, tak terawat, lusuh dan kucel.

Kekurang pedulian kita pada “sisi lain diri” kita kadang justru melahirkan citra yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Mungkin pakaian kita bagus dan mahal, mungkin kita berdandan dengan rapih, mungkin kita memakai parfum dan minyak wangi, mungkin rambut kita ditata sedemikian rupa, mungkin semuanya serba wah....tapi semua citra diri yang berusaha kita bentuk dengan image lahiriah saja, tidak akan menampilkan citra diri kita yang sesungguhnya, atau bahkan kadang citra lahiriah kita yang wah justru tertutup oleh citra dalam diri kita yang amburadul berantakan.

“Inner beauty” begitu istilah ndesonya, kecantikan dari dalam diri, citra diri, justru memiliki peranan yang sangat krusial bagi siapapun yang ingin tampil sempurna sebagai pribadi.
Lalu bagaimana cara kita menyayangi diri kita?

Untuk membentuk penampilan pribadi lahiriah, tentu anda lebih piawai, karena anda paling tahu diri anda, untuk membentuk citra diri dan inner beauty, mungkin bisa berkaca pada uraian berikut;

Dengan memelihara diri dari azab Allah; orang yang senantiasa memelihara diri dari hal-hal yang diharamkan Allah, akan terpelihara pula dari berbagai penyakit, baik itu penyakit lahiriah maupun penyakit bathiniah.

Bukankah penyakit AIDS, salah satunya diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk memelihara diri dari apa yang diharamkan oleh Allah? Bukankah “jajan” adalah hal yang dilarang oleh Allah? Bukankah pakai jarum suntik untuk memasukan narkoba kedalam tubuh seseorang adalah juga hal yang dilarang Allah? Ketidak mampuan seseorang dalam memelihara diri dari azab Allah akan mengakibatkan kerusakan pada penampilan lahiriahnya, lebih-lebih pada citra diri bathiniahnya, akan kusut masai terkotori oleh berbagai hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Sebaliknya, seseorang yang mampu memelihara diri dari apa yang diharamkam Allah, akan terpelihara dari hal-hal yang akan mengotori jiwa dan lahiriahnya.

Dengan senantiasa bertaubat, dosa adalah ibarat debu yang menempel pada kaca atau seperti karat pada logam. Jika debu yang menempel pada kaca dibiarkan berlarut-larut, kaca pun kaca nampak kusam, tak lagi mampu memantulkan cahaya yang diterimanya. Pun ketika karat dibiarkan pada logam besi misalnya, pada suatu saat akan mengakibatkan korosi yang membuat logam rapuh dan tak lagi berguna.

Dengan senantiasa membersihkan debu-debu kekufuran, karat-karat kemusyrikan, biang kerak kemaksiatan, atau kotoran kemungkaran, diri kita, baik secara lahir maupun bathin, akan senantiasa bersih dan memancarkan aura dan citra diri yang positif.

Dengan senantiasa taat, ketaatan, adalah sebuah execise yang sangat bagus untuk melatih jiwa dan raga kita untuk dapat menimbulkan citra yang bagus.

Bukankah dalam shalat terkandung gerakan-gerakan yang mampu membuat metabolisme dan organ tubuh kita terlatih dengan baik. Disamping itu, shalat juga mengadung exercise bathiniah yang luar biasa, manakala kita menyadari bahwa pada saat kita shalat, kita tengah menghadap Rabb semesta alam yang akan mampu menggetarkan setiap ion dalam tubuh kita untuk taat dan tunduk pada keagungan sang Pencipta.

Bukankah dalam puasa juga terkandung sebuah hikmah untuk mengistirahatkan organ pencernaan kita dari aktivitas mengunyah makanan, sehingga memungkinkan organ tubuh kita untuk recovery dan beristirahat. Disamping puasa juga merupakan metode pelatihan bagi pengendalian keinginan kita yang tak terbatas, melatih sifat dan sikap ketaatan kita, melatih pembentukan nilai-nilai rabbani serta upaya pembersihan diri kita.

Dengan senantiasa ikhlas dalam ketaatan, rasa pamrih, riya, dan ingin dipuji hanya akan melahirkan stress yang berkepanjangan. Ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita harapkan, kita tidak mendapatkan pujian dari amaliah kita misalnya, akan menimbulkan stress manakala kita tidak mendapatkannya, yang kita tahu stress adalah salah satu penyebab buruknya penampilan kita, baik secara lahiriah, maupun secara bathiah. Stress yang berkepanjangan akan menimbulkan kerut pada wajah dan kening kita, selain juga akan menjauhkan kita dari sikap syukur kepada Allah yang akan membuat jiwa kita kerdil karenanya.

Sebaliknya, keikhlasan adalah sebuah resep mujarab untuk membuat kita senantiasa tersenyum dalam menjalani ketaatan kita pada Allah. Ikhlas, akan melahirkan aura yang mempesona pada wajah dan bathiah kita.

Orang yang menyayangi diri adalah orang yang senantiasa memelihara diri dari azab Allah, senantiasa bertaubat karena Allah, senantiasa taat karena Allah, dan Ikhlas lillahita’ala.
Pelihara lahirmu, perbagus bathinmu, Insya Allah kita termasuk orang-orang muflihuun, orang-orang yang beruntung fidunya wal akhirat, amiin.

Wassalam

Maret 17, 2007

MENJADI SANTRI DENGAN SHALAT

Dalam sebuah sesi tanya jawab yang disiarkan sebuah stasiun Radio, seorang ibu bertanya kepada nara sumber acara tersebut;

“Pak Ustadz, benar tidak ayat yang menyatakan bahwa shalat mampu mencegah perbuatan keji dan munkar?

45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al Ankabut:45)

“Ya bu, ayat itu benar” Jawab Pak Ustadz

“Tapi Pak, disebelah rumah saya, ada seorang Haji yang setiap waktu shalat pergi kemasjid, mengenakan pakaian bagus, tapi kok perilakunya malah tidak sesuai dengan ayat diatas ya pak?” – Ibu tadi masih penasaran.

“Maksud ibu?” Tanya Pak Ustadz.

“Iya Pak, katanya shalat itu mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar, tapi Pak Haji yang rajin shalat itu kok ya pelit banget sama tetangga, udah gitu kalau dimintain tolong, susah banget dan jarang gaul, gimana tuh, Pak?” Jawab si ibu dengan polosnya.

“Ibu, sekali lagi, tak ada yang salah dengan firman Allah diatas, bahwa shalat akan mampu menjadi benteng yang kokok bagi orang yang mendirikannya dari perbuatan keji dan munkar, perihal Pak Haji yang ibu ceritakan tadi, mestinya ibu bersyukur punya tetangga pak haji yang rajin kemasjid untuk shalat, ibu bayangkan kalau pak haji tadi tidak shalat, bagaimana jahatnya pak haji tersebut?, Sifat dan sikapnya sekarang seperti yang ibu bilang tadi, mungkin akan lebih parah kalau pak haji tadi tidak shalat” Jawab Pak Ustadz.

Terlepas dari puas tidaknya si ibu atas jawaban pak ustadz, satu hal yang menggelitik kita adalah bahwa Pak Haji shalat, tapi masih berperilaku demikian, dan sebenarnya bukan hanya pak haji saja yang demikian, karena kita akan dengan mudah menjumpai orang-orang yang sangat rajin kemasjid, rajin shalat, tapi masih menunjukan perilaku yang “agak” tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi shalat itu sendiri.

Ada aparat yang rajin shalat, tapi pungli masih lancar terus.

Ada pejabat publik yang rajin shalat, korupsi masih tak berhenti

Ada pegawai negeri yang rajin shalat, bolosnya juga rajin

Ada pegawai swasta yang rajin shalat, juga tak mencerminkan perilaku seorang musholin

Ada pak Haji yang rajin shalat, tapi masih berbuat maksiat

Ada orang hapal al qur’an, tapi tak pandai menjaga lisan

Ada yang hapal hadits, tapi tak cakap menjaga diri

Ada yang rajin kemasjid, tapi rajin juga kediskotik

Ada yang rajin ketaklim, tapi rajin juga berbuat dhalim

Ada yang pandai mengaji, tapi belum pandai “mengkaji diri”

Atau bahkan kita yang “rajin” shalat juga belum menunjukan apa yang dituntut dari shalat itu sendiri, yaitu kita terproteksi dari perbuatan keji dan munkar, atau bahkan sebaliknya, rajin shalat, syirik tetap jalan, rajin shalat, bohong tetap jalan, rajin shalat, pelit tetap terpelihara, rajin shalat, sombong makin menjadi, rajin shalat, riya-nya tidak ketulungan, dan masih banyak lagi perilaku kita yang tidak sesuai dengan fungsi dan peran shalat.

Ada apa dengan shalat kita? kenapa shalat kita belum mampu menjadi benteng bagi kita untuk terlindungi dari perbuatan keji dan munkar?

Shalat, secara syar’i didefiniskan sebagai rangkaian ibadah yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, dengan serangkaian rukun dan syarat sah-nya yang insya Allah kita semua sudah mafhum adanya.

Orang yang melaksanakan shalat dengan menyempurnakan rukun dan syarat sah shalat, berarti sudah menggugurkan kewajiban syari’atnya, Insya Allah. Lalu kalau kemudian shalat yang sah secara syari’at itu belum juga mampu memproteksi kita dari perbuatan keji dan munkar, mungkin kita harus belajar lagi mengenai “shalat yang benar”.

Shalat adalah satu kesatuan ibadah yang melibatkan Qawli, Qalbi dan Fi’li, maksudnya shalat adalah rangkaian ibadah yang mengharuskan adalah integrasi antara Qawli – Perkataan atau bacaan shalat yang benar, adanya kehadiran hati – Qalbi ketika shalat, serta menyempurnakan gerakan-gerakan shalat – Fi’li yang sesuai dengan syari’at.

Shalat adalah proses untuk menjadi Santri – Insan – Manusia, dengan tiga aktivitas ibadah, Perkataan, Hati dan Perbuatan.

Bacaan shala kita boleh jadi sudah fasih, gerakan kita pun boleh jadi sudah sesuai dengan tuntunan syari’at, tapi kadang kita lupa untuk menghadirkan hati pada saat kita shalat.

Rukun Qawly – bacaan yang sempurna, bisa gugur ketika seseorang yang tengah melaksanakan shalat itu bisu atau gagu, karena tidak mungkin orang bisu atau gagu melafadkan bacaan secara sempurna.

Rukun Fi’li – berdiri ketika shalat, ruku dan sujud, bisa gugur ketika yang melaksnakan shalat dalam keadaan sakit, lemah atau mengalami cacat tubuh yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakan rukun fi’li secara sempurna.

Kehadiran hati, harus ada pada siapapun yang melaksanakan shalat. Kehadiran hati tetap harus muncul pada orang bisu atau gagu, kehadiran hati juga mutlak adanya pada orang yang tidak bisa berdiri untuk shalat, kehadiran hati inilah yang kadang justru kita banyak melupakannya.

Inilah kemudian yang disinyalir sebagai penyebab berkurangnya fungsi dan hikmah shalat sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar. Shalat kita “hanya” sekedar penggugur kewajiban syari’at, shalat kita “hanya” sekedar ikut-ikutan, shalat kita hanya sekedar ciri kita sebagai orang Islam, shalat kita belum mampu mencapai esensi yang dikehendaki oleh shalat itu sendiri.

Kefasihan kita melafadkan bacaan shalat, boleh sangat jadi hanya menjadikan kita orang munafik, ketika hati kita justru berkata sebaliknya.

Kesempurnaan gerak kita, boleh jadi hanya ingin dikatakan khusyu oleh orang lain, manakala hati kita justru berdetak tak beraturan ketika kita shalat.

Kehadiran hati ketika kita shalat, akan melahirkan rasa takut dan cinta kepada Allah, kehadiran hati ketika kita shalat, akan menyadarkan kita bahwa kita tengah berhadapan dengan Allah Yang Maha Besar, yang membuat kita menjadi rendah hati karenanya, kehadiran hati memberikan kita kemampuan untuk berinstropeksi diri ketika kita sujud, bahwa kita hanya mahluk lemah, kehadiran hati akan menuntun bacaan dan ucapan lisan kita bahwa kita tengah berdialog denga Dzat yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui, kehadiran hati, akan membentuk pribadi yang terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.

Kita wajib bersyukur kepada Allah atas karunia lisan kita yang tidak gagu atau bisu, kita juga wajib bersyukur atas kesempurnaan fisik kita yang tidak cacat atau lemah, sehingga kita bisa melaksanakan rukun Qawli dan Fi’li secara sempurna, dan kita juga semestinya bersyukur tiada hingga dengan Qalbi yang ada dalam dada kita, agar shalat kita bukan lagi hanya sekedar penggugur syari’at, tapi shalat yang mampu menyelamatkan kita fidunya – dengan menjadi orang yang terproteksi dari perbuatan keji dan munkar, serta filakhirat – dengan mendapatkan buah amal yang kita tanam didunia.

Mari belajar shalat lagi, insya Allah dengan Nyantri lewat shalat, kita akan menjadi santri yang mampu berhubungan dengan Allah secara benar, berhubungan dengan manusia secara baik dan berhubungan dengan alam secara patut.

Wassalam

Maret 21, 2007

ALLAH:FIRST

Senang sekali rasanya melihat rekan-rekan mengenakan sebuah rompi kerja yang bukan hanya dari warnanya yang indah sedap dipandang mata, tapi juga moto yang tersemat dibelakang rompi itu ANZEN:FIRST – Keselamatan yang Utama.

ANZEN:FIRST bukan hanya tersemat pada rompi yang dipakai, tapi juga terpampang disekitar area workshop, yang salah satu tujuannya untuk mengingatkan kita, bahwa keselamatan kerja adalah penting dan harus diutamakan.

Lain lagi kata yang dijadikan moto oleh rekan penulis dipengajian Tawakal dipasar minggu, Jakarta Selatan, beliau bilang; Allah yang Pertama, yang lainya nomor dua, atau dengan kata lain: ALLAH:FIRST

Kenapa ALLAH:FIRST?

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].

[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

Kita punya masalah/bencana, itu nomor sekian, Allah yang pertama, karena hanya Allah-lah yang mampu menyelesaikan masalah kita,


17. Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan dia sendiri. dan jika dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

Ketika kita dilanda ketakutan, itu nomor sekian, Allah yang pertama

Ketika kita dilanda kekurangan, itu nomor sekian, Allah yang pertama

Ketika kita dilanda kegelisahan, itu nomor sekian, Allah yang pertama

28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Ketika kita dilanda kemiskinan, itu nomor sekian, Allah yang pertama

Apapun masalah kita, betapapun ketakutan kita, semiskin apapun kita, seberat apapun depresi dan kegelisahan kita, selama kita masih menempatkan Allah pada posisi pertama dalam hati kita, Insya Allah, kita akan bisa melalui semuanya.

Lain halnya ketika kita menempatkan masalah kita pada posisi teratas, maka kita akan dilanda kebingungan yang luar biasa, lain halnya kalau kita menempatkan ketakutan pada atasan atau sesama mahluk, lain halnya ketika kita menggantungkan pertolongan dan bantuan atas kekurangan dan kafakiran kita kepada sesama mahluk, niscaya kita akan menjadi orang yang benar-benar merugi, merugi didunia, dengan tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, lebih diakhirat, kita akan mendapat azab dari Allah karena telah mempersekutukannya dengan Allah.
Pun demikian halnya dengan keselamatan, baik kesemalatan kerja, keselematan dalam perjalanan, keselamatan dirumah, semuanya serahkan pada Allah;

Bismillahirahmanirrahim, bismilahitawakaltu’alallah, laa hawla walaaquata ilabilah – Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, dengan nama Allah, kami berserah diri kepada-nya. Sesungguhnya tiada daya dan kekuatan kecuali dengan daya dan kekuatan Allah.
Bismillahiladzi Laa yadurru ma’asmihi fil ardhi wa laa fissama’ wahuwwa sami’ul ‘alim – Dengan nama Allah yang tidak akan menimpa kami apa yang ada dilangit dan dibumi kecuali apa yang telah ditakdirkan Allah, sesunguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

22. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Al Hadid:22)

Pegang teguh prinsip ANZEN:FIRTS sebagai upaya lahiriyah dan syari’at kita untuk menjaga keselamatan kita, dengan senantiasa bersandar pada ALLAH:FIRST, sebagai satu-satunya pemilik keselamatan.

"Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Sejahtera, dari Mulah kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Rabb Yang Maha Agung dan Maha Mulia." (HR. Muslim)
Semoga dengan ALLAH:FIRST dan ANZEN:FIRST kita bisa selamat fidunya wal akhirat, amiin

Maret 21, 2007

Beningnya Hati Seorang Mukmin

2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Al Anfal:2)

[594] Maksudnya: orang yang Sempurna imannya.
[595] dimaksud dengan disebut nama Allah ialah: menyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakannya.

Lagi cerita tentang hati, pernahkah hati kita bergetar ketika disebut nama Allah?
Pernahkah hati kita menghayati al qur’an yang dengannya keimanan kita bertambah?
Kalau hati kita belum bergetar kala disebut nama Allah dan keimanan kita tidak bertambah kala mendengar kalamullah, bagaimana dengan keimanan kita? Bagaimana status kita yang mengaku sebagai orang beriman?

Hati yang bergetar adalah hati yang bersih dari debu kemusyrikan, sebersih embun pagi

Hati yang bergetar adalah hati yang bening dari lumpur kemunafikan, laksana telaga salsabil

Hati yang bergetar adalah hati yang berkilau laksana cahaya mentari

Hati yang bergetar adalah hati yang putih laksana awan diangkasa

Hati yang bergetar adalah hati seorang mukmin, hati sekilap cermin yang mampu

memancarkan cahaya ilahiyah untuk menerangi segenap ruang jiwanya, dan bahkan mampu menerangi orang-orang sekitarnya.

Hati yang bergetar adalah hati yang “hidup”, ada gitu hati yang mati?

Hati, sebagaimana jasad, akan mengalami sakit, akan mengalami penderitaan, akan mengalami pengerasan, akan mengalami penyumbatan dan bahkan akan mengalami kematian.
Apa saja yang dapat menyebabkan hati menjadi sakit dan kemudian mati?

Pertama, hati yang suka mengikuti syahwat. Syahwat disini tidak terbatas kemaluan dan perut, lebih dari itu adalah syahwat pola pikir dan pendapat pribadi. Dan justru yang terakhir inilah yang paling berbahaya. Allah berfirman (artinya),'Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas'.(Al Kahfi:28).

Hati seorang mukmin adalah hati yang tidak akan pernah mau diperbudak oleh logika dan nalar semata. Dengan kebeningan hatinya, seorang mukmin mampu mengendalikan syahwatnya, baik itu syahwat jasmani, maupun syahwat fikrinya.

Kedua, hati akan mati ketika hati “tertimbun” oleh kepetingan dunia semata.


86. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. (Al Baqarah:86)

Dunia, dapat diartikan harta, dunia dapat diartikan pangkat, dunia dapat diartikan kedudukan, anak, istri atau suami, yang melalaikan kita dari mengingat Allah, dan apabila ini sudah melanda hati kita, maka Allah menjanjikan “balasannya” sebagai berikut;

24. Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (At Taubah:24)

Rasulullah bersabda yang artinya,' Akan terjadi fitnah yang dengan itu hati seseorang akan mati sebagaimana badannya mati, pagi hari ia menjadi mukmin dan sorenya ia menjadi kafir atau sebaliknya sore masih mukmin tapi pagi hari telah menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan sekerat dunia'.(H.R.Ibnu Majah)

Hati seorang mukmin yang bening adalah hati yang selalu memandang kebawah dalam urusan dunia, yang dengan itu hatinya senantiasa bersyukur terhadap nikmat-nikmat Allah Swt, karena hatinya mampu melihat betapa masih banyak orang yang lebih “menderita” atau kekurangan daripada yang ia alami.

Hati seorang mukmin yang bening adalah hati yang senantiasa melihat keatas dalam urusan akhirat, yang dengan itu hatinya tidak menjadi ujub dan takabur dengan amal ibadah yang telah dilakukannya.

Ketiga, hati akan mati manakala hati tertutup oleh dosa yang bertumpuk. Dosa yang bertumpuk akan menjadi karat yang akan menggerogoti hati, dosa yang bertumpuk akan menyebabkan korosi yang akan mengurangi fungsi hati sebagai piranti penerima cahaya ilahi, dosa yang bertumpuk juga akan mengeraskan hati laksana batu, atau bahkan lebih keras lagi;

74. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.(Al Baqarah:74)

Hati seorang mukmin yang bening adalah hati yang akan senantiasa terjaga dari kotoran debu dan dosa yang melekat padanya, sekecil apapun itu. Kebeningannya memudahkan kita untuk mendeteksi partikel dosa sekecil apapun, dan hati yang bening akan mampu menghindarkan kita dari lubang-lubang dan perangkap maksiat yang dipasang sang setan durjana.

Hati seorang mukmin yang bening adalah hati yang tidak pernah melupakan dosa dan kesalahan masa lalunya, yang dengan itu dia akan selalu beristigfar dan bertoubat kepada Allah Swt.

Keempat, hati akan mati manakala terlalu banyak mendengar guyunan orang pandir. Suatu ketika mungkin kita perlu mendengar lelucon untuk menyegarkan pikiran kita, tapi harus diingat, banyak sekali lelucon dan guyunan yang kadang menghalalkan segalanya agar kelihatan lucu, seperti menjadikan keadaan fisik seseorang sebagai bahan tawa – tidakkah kita menyadari bahwa jasmani kita adalah pemberian Allah Swt kepada kita, lalu kalau kita mencela dan mentertawakannya, bukankah itu cenderung “pelecehan” terhadap Allah? (Pasti sebagian kita bisa berdalih bahwa kita tidak bermaksud demikian, tapi daripada kita terpeleset kearah itu, bukankah kita lebih baik mengurangi porsi mendengar lelucon itu), kadang juga kita menjadikan aib seseorang sebagai lelucon, menjadikan perkataan vulgar menjadi bahan lawakan.

Apa sih untungnya kita mendengar hal yang semacam ini? Perlu hiburan? Perlu ketenangan? Perlu refreshing? Dzikir kepada Allah akan membuat kita tentram, jauh lebih tentram dan damai dari sekedar mendengar lelucon orang-orang pander. Kalau ini berlangsung dalam rentang waktu yang lama akan menjadikan kita terbiasa untuk berlaku demikian, dan pada kondisi kronis, hati kita menjadi kering, layu dan akhirnya mati.

Hati seorang mukmin yang bening adalah hati yang dipenuhi dengan uraian dan untaian hikmah yang menjadi pupuk bagi jiwanya untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang paripurna. Hatinya terproteksi dari perkataan dan pendengaran yang sia-sia dan tiada guna. Hatinya justru haus akan siraman rohani dan nur ilahiyah, bukan dengan guyon dan lelucon yang banyak mengandung mudharat.

Bening hatimu, ridha Allah menantimu.......Bening hatimu, nyata imanmu.....
Wassalam
Maret 22, 2007

Tuesday, March 13, 2007

IQRA BISMIRABBIKA LADZI KHALAQ

“Biasanya, orang yang tidak banyak baca, dekat dengan kebodohan, dan kebodohan dekat sekali dengan kemiskinan”

Begitu kira-kira cuplikan iklan layanan masyarakat yang mengajak pemirsa untuk banyak membaca (koran), karena membaca merupakan kunci untuk membuka pintu ilmu pengetahuan, dan dengan ilmu pengetahuan itulah gerbang menuju kesuksesan terbuka, baik itu dunia maupun kesuksesan akhirat.

Kalau iklan diatas hanya menyatakan bahwa kekurangan membaca akan menimbulkan kebodohan dan selanjutnya menimbulkan kemiskinan, Islam lebih jauh menyatakan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kemusyrikan.

Lapar yang diakibatkan kemiskinan, memaksa sebagian orang untuk menukar akidahnya dengan sekantong beras dan satu duz indomie

Kebodohan yang akibatkan kemiskinan, memaksa orang untuk terjerat dalam jebakan kekufuran

Kebodohan (ruhani) juga mengakibatkan manusia tidak dapat mengenali diri dan Tuhannya, jadilah ia menuhankan selain-Nya, musyrik jadinya, Naudzubillah.

Untuk itulah jauh sebelum iklan diatas tayang, Al qur’an menempatkan perintah membaca dalam urutan pertama menurut urutan turunnya ayat al qur’an;

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

Surat Al ‘Alaq ayat satu sampai lima adalah ayat yang pertama diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw di Gua Hira, ketika itu malaikat Jibril memerintahkan Nabi untuk “membaca – Iqra...”

Nabi menjawab “ Ma Ana bi qaari.......saya tidak bisa membaca”, sampai tiga kali Malaikat Jibril mengulang perintahnya, sehingga kemudian Nabi menjawab “Ma aqra – Apa yang harus saya baca?

Kemudian malaikat Jibril melanjutkan, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan...........” sampai ayat kelima surat Al ‘Alaq.

Kalau membaca koran menjadi kebutuhan kita dewasa ini, bagaimana halnya dengan membaca Al Qur’an?

Al Qur’an adalah kalamullah yang berisi petunjuk;

1. Alif laam miin[10].
2. Kitab[11] (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],

Kalau seorang mekanik hendak menjalankan mesin, harus mengikuti petunjuk yang telah ditentukan agar mesin bisa berjalan dengan aman dan benar, mungkinkah kita menjalankan roda kehidupan kita tanpa petunjuk al qur’an?

Kalau seorang sopir harus melihat rambu dan peta agar dapat selamat sampai tujuan, akankah kita menjalani bentangan hidup kita tanpa Al Qur’an?

Kalau Al Qur’an memberikan petunjuk bagi keselamatan hidup kita, kenapa kita tak membacanya?

Kalau kita menjalani kehidupan ini tanpa bimbingan al qur’an, bukan berani namanya, tapi itu Nekat!

Al Qur’an adalah kalamullah yang berisi penawar dan rahmat;

82. Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al Israa:82)

Kalau kita kena bisa ular, perlu penawar / serum yang mampu menawarkan racunnya, mungkinkah kita dapat selamat dari racun-racun dunia, tanpa serum dari Al Qur’an?

Kalau tanaman saja memerlukan siraman air dan cahaya matahari agar dapat hidup dan tumbuh optimal, akankah kita bisa hidup secara benar dan optimal tanpa Al qur’an?

Kalau Al Qur’an merupakan penawar bagi racun-racun kehidupan dan siraman air Rahmat bagi kehidupan, kenapa kita tidak bersegera membacanya?

Al Qur’an adalah kalamullah yang berisi pembeda antara hak dan yang bathil;


185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al baqara:185)


Kalau kita berjalan ditengah kegelapan kita memerlukan suluh lentera untuk menerangi jalan kita, bagaimana mungkin kita berjalan ditengah belantara kehidupan tanpa cahaya pelita Al Qur’an?

Kalau kita Al Qur’an merupakan dian yang mampu menerangi kegelapan hati dan kehidupan kita, kenapa kita tidak membacanya?

Al Qur’an adalah kalamullah yang berisi obat;


57. Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus:57)

Kalau kita demikian gelisah ketika kita dijangkiti penyakit kanker, kenapa kita tak takut menderita kesombongan?

Kalau kita demikian gelisah ketika kita dijangkiti penyakit lever, kenapa kita tak takut menderita penyakit riya?

Kalau kita demikian gelisah ketika kita dijangkiti penyakit menular, kenapa kita tak takut menderita penyakit kemunafikan?

Kalau kita bersegera kedokter untuk mengobati penyakit lahiriah kita, kenapa kita tidak bersegera membaca al qur’an untuk mengobati penyakit yang ada didalam dada?

Kalau membaca koran demikian banyak manfaatnya, maka membaca al qur’an adalah jauh lebih banyak manfaatnya.

Al Qur’an adalah satu-satunya “bacaan” yang memberikan balasan pahala bagi yang membacanya.

Al Qur’an adalah satu-satunya “bacaan” yang akan memberikan syafa’at (dengan izin Allah) bagi yang membacanya

Al Qur’an adalah satu-satunya “bacaan” yang akan mampu memberikan ketenangan jiwa bagi yang membacanya.

Al Qur’an adalah satu-satunya “baacaan” yang dijamin keaslian dan kemurniannya.

Al Qur’an adalah satu-satunya “bacaan” yang sempurna, karena memang Al Qur’an adalah hasil karya Yang Maha Sempurna.

Kalau dengan membaca koran kita bisa terhindar dari kebodohan,maka membaca Al qur’an akan menjadikan kita bukan sekedar manusia yang pandai secara fikri, lebih dari itu, al Qur’an menawarkan kecerdasan rohani, kecerdasan spritual, kecerdasan yang mampu mengantar orang yang membacanya terhindar dari kemiskinan didunia, maupun kemiskinan diakhirat kelak.

So.......Vini, Vidi, Vici, Baca Al Qur’an, Pahami Al Qur’an dan Amalkan.........Insya Allah kita menjadi manusia yang “kaya” secara hakiki, dan terhindar dari kemiskinan ahlaqi

Wasaalam

Maret 13, 2007

SALSABILA

Salsabil(a), biasanya dipakai untuk menamai anak perempuan, sebuah nama yang indah, nama yang mudah diingat, nama yang cantik, nama yang begitu familiar ditelinga kita.

Salsabil, adalah sebuah mata air disurga;

18. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil. (Al Insan:18)


Mata air selalu identik dengan kejernihan airnya yang gemericik mengalir, mata air juga identik dengan sesuatu yang indah dan tenang, jauh ditempat yan rindang alami, dipenuhi pephonan rindang, hawa udara yang segar, pemandangan yang menghijau, jauh dari polusi dan kebisingan, mata air menawarkan kesejukan dan pelepas dahaga bagi orang-orang yang letih dan kelelahan.

Itu gambaran mata air didunia, bagaimana dengan Salsabil, mata air disurganya Allah? Pasti lebih jernih airnya, pasti lebih nyaring gemericiknya, sehingga mampu membuat terpesona orang yang berada disana, pasti jauh lebih tenang, pasti jauh indah, lebih rindang dan lebat pepohonannya, lebih segar udaranya, menghijau laksana permadani pemandangannya, pasti juga terproteksi dari polusi dan kebisingan, karena disurga, jangankan orang ribut atau gaduh, perkataan yang sia-sia pun tak akan terdengar disana, Salsabil pasti sebuah mata air yang keindahan dan kesejukannya, tak akan mampu dideskripsikan oleh tulisan beribu lembar sekalipun, bahkan tak pernah terbersit dalam benak sekalipun, demikian indah dan penuh pesona.

Siapakah orang-orang yang beruntung mendapatkan mata air surga tersebut? Adakah kita salah satunya? Siapa saja mereka?

Ayat kelima sampai ayat kesepuluh Surat Al Insan menerangkan siapa saja yang memenuhi syarat untuk mendapatkan Salsabil didalam surga Allah;

5. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur[1536],

6. (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.

7. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.

8. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.

9. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

10. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.

[1536] Kafur ialah nama suatu mata air di surga yang airnya putih dan baunya sedap serta enak sekali rasanya.

Apa yang dimaksud dengan kebajikan?


177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (Al Baqarah:177)

Kebajikan adalah “Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.

Beriman kepada Allah, kepada Malaikat, beriman kepada kitab-kitab-Nya, kepada Nabi, tambah dengan beriman kepada hari akhir dan taqdir Allah adalah Rukun Iman, sementara memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat adalah rukun Islam, kedua rukun tersebut harus terpenuhi secara sempurna, maka kita Insya Allah akan mendapat Ridha dan Surganya Allah, yang didalamnya ada Salsabil, mata air yang sejuk lagi menyegarkan.

Selain itu juga, kebajikan mensyarakatkan kita untuk menepati janji, janji kepada siapa?

Janji kepada Allah, “Innashalati wanusuki wamayahya wamamati lillahita’ala” adalah sebuah janji kepada Allah yang setiap hari kita ikrarkan dalam shalat kita, sudahkah kita menepatinya? Menepati bahwa shalat kita bukan untuk dilihat dan dipuji orang, bahwa hidup kita bukan untuk mengabdi kepada setan atau atasan, bahwa mati kita bukan tanpa tujuan, tapi semua lillahita’ala, semuanya karena Allah Swt.

Jangan pula remehkan janji kita kepada sesama manusia, karena mungkin suatu saat, janji yang kita anggap sepele itu akan menjadi pengganjal pintu surga kita, sehingga kita kesulitan masuk kedalamnya;

23. Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi,
24. Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"[879]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (Al Kahfi:23~24)

[879] menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar Aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan Insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana nabi lupa menyebut Insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.

Kemudian bagian akhir ayat al Baqarah 177 diatas menyebutkan “dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan”. Yang sekali lagi memperkuat keyakinan kita bahwa sabar adalah sebuah kunci dari pintu surga, bahwa sabar adalah tiket untuk mendapatkan maqam tertinggi disisi Allah;


153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu[99], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(Al Baqarah:153)

[99] ada pula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.

Salsabil, telaga yang berisi air kenikmatan, tidakkah kita merindukannya?

Wassalam;

Maret 12, 2007

Monday, March 12, 2007

Terima kasihku, untukmu Pak Ustadz

1. Jika kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan: " Coba kalau seandainya saya bertindak begini, tentu hasilnya akan begini dan begini". Tapi katakanlah "Allah sudah mentaqdirkan dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki"
Sebab sesungguhnya perkataan "seandainya" akan membuka (pintu) perbuatan syetan. Mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah (HR.Muslim)

Dari: Bp. AS Maret 12, 2007 07:52.56

2. "Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.Dia-lah pelindung kami, hanya kepada Allah-lah orang-orang mukmin bertawakal (Qs9:51)

Dari: Bp. AS - Maret 12, 2007 07:15:56

3. Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin, setiap keadaanya(akan mendatangkan) kebaikan, jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya, jika mendapatkan musibah, ia bersabar, maka itu baik baginya (HR.Muslim)

Dari: Bp. AS - Maret 12, 2007 11:14:00

4. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram,(Qs:Ar Rad:28)

Dari: Bp. AS Maret 12, 2007 10:38:03

5. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (Qs:65:3)

Dari: Bp. AS Maret 12, 2007 10:38:03

6. "Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar bagi kesulitannya, dan memberi rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya (Qs:65:2-3)

Dari: Bp. AS Maret 12, 2007 09:55:38

7. Dalam masalah dunia, "lihatlah orang yang ada dibawah kalian, dan jangan lihat orang yang diatas kalian (HR.Muslim)

Dari: Bp. AS Maret 12, 2007 12:59:11

8. "Aku tahu bahwa rezekiku tidak mungkin diambil orang, oleh karenanya, hatiku tenang. Aku Tahu amalku tidak mungkin dilakukan orang lain, maka aku menyibukan diriku untuk beramal (Imam Hasan Al Basri)

Dari: Bp. AS Maret 12, 2007 11:42:52

ADA SURGA DIHATIMU

Dalam perjalanan pulang setelah Kaizen Meeting di Jakarta, kami, penulis, former Assistant General Manager Autopart serta Pak sopir yang baik hati, terlibat pembicaraan yang sangat menarik selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu setengah jam itu;

“Cas, kamu kan suka baca al qur’an tidak?” Tanya Pak AGM yang bijak itu.

“Alhamdulillah pak, dikit-dikit” Jawab penulis, karena memang demikianlah keadaanya.

“Kamu tahu apa isi kandungan al qur’an?”

Penulis sejenak terdiam, menyadari kekurangan penulis mengenai apa yang ditanyakan;

“Saya hanya tahu sedikit, Pak, saya hanya sedikit tahu kalau al qur’an terdiri dari 6,236 ayat, 114 Surat yang terbagi dalam 30 Juzz menurut susunan al qur’an Ustmani yang umum kita pakai sekarang” Jawab penulis.

“Lalu.......?”

“Al qur’an secara garis besar menurut pendapat sementara kalangan, kandungan isinya terbagi kedalam tiga atau empat kategori, yaitu mengenai Tauhid, Hukum-hukum, serta kisah orang-orang terdahulu, lalu ada yang menambahkan bahwa al qur’an juga memuat berita tentang masa yang akan datang (hari kiamat dan alam akhirat)” Jawab penulis.

“Kamu tahu dari sekian ribu ayat yang kamu sebutkan tadi, ayat mana yang paling penting untuk kamu pahami dan kamu hayati kandungannya?”

“Menurut saya, semuanya penting, pak, karena semua ayat, surat dan juzz al qur’an saling berkaitan dan saling melengkapi satu sama lainnya”, Jawab penulis

“Secara umum kamu benar, tapi kamu harus cari satu ayat saja, yang dengan ayat itu, Insya Allah kamu akan menjadi orang yang bahagia”, Paparnya.

“Ayat kursi, pak? Tanya penulis penasaran.

“Ayat kursi memang benar ayat yang agung dalam al qur’an, sehingga banyak ulama yang menyatakan berbagai fadhilah, hikmat serta kandungan yang terdapat dalam ayat kursi, tapi bukan itu ayat yang saya maksud” Paparnya.

“Surat Al Ikhlas, Pak?”

“Kenapa Surat Al Ikhlash?”

“Dari apa yang saya pahami, dan beberapa buku yang pernah saya baca, surat al ikhlas memuat unsur ketauhidan yang merupakan pokok dari ajaran Islam, yaitu mempercayai dan meyakini bahwa Allah adalah Esa, bahwa Allah adalah satu-satunya tempat kita bergantung, Dia-lah Allah yang tidak beranak dan diperanakan serta tidak ada yang setara dengan Dia, dengan demikian, ketika kita bisa memahami hakekat kandungannya, berarti kita sudah memahami 1/3 kandungan al qur’an, yaitu Tauhid” Jawab penulis, merunut pada apa yang pernah penulis baca.

“Itu juga mungkin benar, tapi bukan itu yang saya maksud”

“Apa ya Pak?” Penulis tak menemukan ayat atau surat yang dimaksud dalam perbendaharaan ruang pengetahuan penulis.

Beliau tersenyum, “Coba kamu pikirkan ayat berikut;


156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101].(Al Baqarah:156)

[101] artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

Kenapa “"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”? Bukankah kalimat ini adalah kalimat yang biasa kita ucapkan ketika kita mendengar seseorang yang meninggal dunia?

Bukankah kalimat ini adalah kalimat yang biasa tertulis dikeranda untuk mengantar jenazah ketempat peristirahatannya yang terakhir?

Ada banyak sekali pertanyaan yang muncul didalam benak penulis, tapi rasa penasaran dan pertanyaan yang silih berganti bermunculan itu tak sempat terucap keluar, hingga beliau meneruskan penjelasannya;

“Kapan kamu merasa bahagia?” Tanya beliau

“Saat saya mendapatkan apa yang saya inginkan, bisa berupa uang, barang atau sesuatu yang lain yang menurut saya perlu untuk didapatkan” Jawab penulis

“Kapan kamu merasa tidak bahagia?” Tanya beliau lagi

“Saat saya merasa kehilangan sesuatu, saat saya takut sesuatu, saat saya tidak memiliki apa yang saya butuhkan menurut saya, saat saya sakit, saat saya ditimpa sesuatu suatu “musibah........” Papar penulis fasih, karena memang sebagian dari kita (penulis khususnya), lebih banyak ingat akan penderitaan dibanding dengan nikmat Allah yang telah demikian banyak tercurah dan terlimpah pada kita.

“Apakah kamu merasa bahwa apa yang kamu dapatkan sehingga mampu membutmu bahagia adalah hasil usahamu semata?

“Apakah rasa kehilangan, rasa khawatir, rasa takut, dan berbagai rasa yang membuat kamu seolah orang yang paling menderita itu adalah semata-mata terjadi begitu saja?”

“Tidak, kebahagiaan yang kamu dapat dan kamu rasakan, penderitaan yang kamu alami atau sesuatu yang kamu takutkan, bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, tapi merupakan sebuah skenario besar dari Penciptamu, agar kamu bisa dengan benar mengucapkan “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun” Papar beliau dengan arif dan bijaksana.

Penulis terdiam, masih belum sepenuhnya mengerti uraian dan paparan beliau, hingga beliau melanjutkan;

“Kita bisa “membuat” kebahagiaan dan surga dihati kita, dengan mensyukuri segala nikmat yang Allah telah berikan kepada kita, sekecil apapun nikmat itu menurut kita, ketika kita menyadari itu adalah pemberian dari Allah, maka kita akan sangat bahagia karenanya, kita akan berbunga-bunga ketika kita menyadari bahwa Allah memberi kita sesuatu sebagai bukti Keagungan dan Rahman Rahim-Nya.

(Penulis belakangan menganalogikan uraian tersebut seperti ini; ketika kita diberi “sesuatu” oleh orang yang kita cintai, terlepas dari apapun bentuk dan bendanya, kita akan sangat bahagia karenanya, apalagi jika kita tahu yang memberi sesuatu itu adalah Allah, sang pemilik cinta yang hakiki, sang pemilik karunia yang abadi, tidakkah kita akan merasa bahagia karenanya?).

“Kita bisa “membuat” neraka dihati kita dengan berlaku kufur terhadap pemberian dan nikmat Allah.

Kalau kita diberi kesehatan, kemudian kita menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah, niscaya akan terbentuk neraka dalam hati kita, kita akan merasa dikejar-kejar rasa bersalah dan dosa, kita akan dituntut oleh fitrah kebenaran yang ada didalam hati kita dengan dakwaan yang akan membuat kita serasa dineraka karenanya.

Kalau kita diberi rezeki yang berlimpah, kemudian kita membelanjakannya dijalan setan, untuk berjudi, untuk berjina, untuk mendhalimi sesama, berlaku kikir, pelit, medit, merege hese cap jahe, dan menjadikan harta dan kekayaan yang kita miliki sebagai sekutu bagi Allah, niscaya neraka akan segera menyebar seantero hati dan jiwa kita. Fitrah Rabbaniyah kita, rasa sayang yang ada didalam hati kita, rasa cinta, rasa kemanusiaan kita, akan mengejar pertanggung jawaban dari kita, mengejar kita denga pertanyaan dan serangkaian “serangan” yang akan membuat kita tak nyaman karenanya.

Ketika kita diberi amanah berupa ilmu dari Allah, kemudia kita hanya menggunakannya untuk berbangga diri, untuk menjadi ahli debat semata, untuk membodohi orang lain, maka kita pun telah membuat neraka dihati kita.

Kekufuran, baik itu ketika kita diberi waktu lapang dan kesehatan, baik itu ketika kita dititipi harta dan kekayaan, baik itu ketika kita diamanahi ilmu dan pengetahuan, akan menjadikan manusia yang senantiasa merasa gerah, merasa kepanasan, merasa tidak aman, merasa tidak nyaman, merasa panik, takut dan lain sebagainya, seolah kita tengah berada didalam neraka.

Sebaliknya, Allah menggambarkan syurga sebagi tempat nan teduh penuh pepohonan rindang, gemericik air mengalir, buah-buahan yang tersedia, bidadari bermata jeli, dipan-dipan yang terbalut sutera nan lembut, nyaman, aman, tentram dan bahagia, bukankah kita bisa membuatnya, membuat kenyamanan, ketentraman dan kebahagian itu dalam hati kita dengan mensyukuri nikmat-Nya?.

Hati yang tentram, aman, bahagia, tak ada rasa sedih yang berlebihan, tak ada tangis yang berlebihan, tak ada rasa takut yang tak beralasan, dapat terbentuk manakala kita menyadari bahwa semua yang ada pada kita, baik itu bahagia maupun derita menurut kita, toh semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Apa yang patut kita banggakan, sehingga kita menjadi sombong karena ilmu, amal dan harta kita, kalau kita menyadari semuanya adalah sebentuk karunia Allah, yang kapanpun, ketika Allah menghendaki, semuanya akan kembali kepada-Nya.

Apa yang patut membuat kita bingung dan ketakukatan, kalau kita meyadari betapapun kita kekurangan, betapapun kita miskin, betapapun kita menderita, toh semua juga berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Jika kita bisa membuat “surga” dihati kita dengan mensyukuri nikmat-Nya, lalu kenapa kita justru membangun “neraka” dengan berlaku kufur terhadap nikmat-nikmat-Nya?

Ada surga dihatimu, ada surga dihati orang-orang yang pandai bersyukur, ada surga dihati orang-orang yang berserah diri pada Allah semata, ada surga dihati orang-orang yang mampu memaknai dan memahami ““Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”

Wassalam

Maret 12, 2007