“Merdeka, dalam arti lain berarti kebebasan dan kemandirian kita untuk berbuat sesuatu yang benar, merdeka artinya kita mampu memfungsikan akal dan fikiran kita secara benar, tanpa ada tekanan atau rintangan dari pihak lain, dan kita, diri kita ini hanya bisa dikatakan sudah merdeka manakala kita sudah terbebas dari kekangan hawa nafsu dan keinginan-keinginan yang membelenggu kita secara berlebihan.........” Kata Ki Bijak.
“Ana masih belum paham ki............” Kata Maula.
“Begini Nak Mas, sebagian kita masih ‘dijajah’ oleh hawa nafsu kita sehingga kita tidak bisa berbuat yang terbaik untuk kepentingan jangka panjang kita, misalnya kita tidak atau belum bisa beribadah kepada Allah secara merdeka, kita masih banyak terbelit oleh kepentingan-kepentingan duniawi kita, sehingga ketika waktu shalat datang, kita tidak bisa dengan segera menunaikannya, karena kita harus memenuhi ‘kewajiban’ terhadap duniawi kita, kita masih terbelenggu pekerjaan kita, kita masih terbelenggu urusan kita, kita masih terbelenggu oleh hobi kita, kita masih terbelenggu oleh berbagai hal yang mengikat kita sehingga kita tidak bisa shalat tepat waktu misalnya..............” Kata Ki Bijak.
“Demikian pun dengan ‘penjajahan’ yang datang dari keinginan-keinginan kita yang berlebihan....yang dilandasi oleh hawa nafsu..., benar, keinginan adalah sebuah fitrah manusia, kita ingin maju, kita ingin memiliki harta, kita ingin naik jabatan, kita ingin punya rumah, kendaraan dan lainnya, tapi ketika keinginan-keinginan itu tidak terkendali, maka keinginan-keinginan kita itu akan berbalik arah dan menjajah kita dengan berbagai angan semu dan kesibukan.......”
“Nak Mas perhatikan banyak orang yang setelah kerja, masih harus kerja lagi, karena ingin mendapatkan tambahan penghasilan untuk memenuhi keinginannya, bukan lagi untuk memenuhi kebutuhannya......”
“Nak Mas juga bisa lihat bagaimana mereka yang sudah berpenghasilan besar, masih mencari dan menerima eceran dari suap atau bahkan korupsi, dan apalagi alasannya kalau bukan karena mereka telah ‘dijajah’ hawa nafsunya.....”
“Nak Mas juga bisa lihat bagaimana mereka yang sudah memiliki jabatan, kasak-kusuk kesana kemari demi untuk mempertahankan jabatannya dengan cara-cara yang cenderung menyimpang, dan inipun tidak terlepas dari adanya belenggu penjajahan dalam diri orang tersebut.....”
“Bahkan masih sangat banyak orang yang ‘rela’ kehilangan waktunya untuk beribadah kepada Allah hanya karena mementingkan motor atau mobilnya yang kotor kehujanan, mereka basah-basahan mencuci kendaraannya ditengah kumandang adzan yang memanggilnya.....”
“Dan masih banyak lagi ironi betapa ditengah kemerdekaan yuridis negara kita ini, masih banyak orang-orang yang rela menggadaikan kehormatan dan harga dirinya demi setumpuk uang atau jabatan yang mereka anggap sebuah kemuliaan, ini sebuah kekeliruan besar, ini adalah sebuah bentuk penjajahan terhadap fitrah kemanusiaan yang seharusnya menjunjung tinggi harkat dan martabat dan fitrah kemanusiaannya........” Kata Ki Bijak panjang lebar.
“Iya ya ki, sayangnya sedikit sekali orang yang menyadari bahwa dirinya sedang dijajah oleh nafsu dan keinginannya ya ki......” Kata Maula.
“Memang sangat sulit membedakan mana yang kebutuhan dan mana yang bukan, keduanya sangat samar, dan jika kita tidak pandai memilih dan memilahnya, maka kita akan terjebak dalam perbudakan hawa nafsu yang senantiasa mendorong kita untuk memforsir waktu dan tenaga kita untuk mencapai keinginan-keinginan tersebut.......” kata Ki Bijak.
“Ki, tadi Aki mengatakan bahwa secara fitrah memang manusia dikarunai hasrat terhadap sesuatu, lalu dimana letak ‘bahayanya’ ketika kita memforsir waktu dan tenaga kita untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut ki.....?” Tanya Maula.
“Pertama yang harus kita ingat adalah bahwa waktu kita, hidup kita ini sangat-sangat terbatas, paling banter enam puluh atau tujuh puluh tahun saja, kalau kita menghabiskan waktu yang sangat singkat itu hanya untuk mengejar ‘sesuatu’ yang berbalut nafsunya, sangat mungkin kita akan kehilangan momen-momen berharga untuk beribadah kepada Allah......”
“Aki sering mendengar orang malas kemasjid, karena kelelahan, Aki juga sering mendengar orang shubuhnya kesiangan karena pulang larut malam, Aki juga sering mendengar orang tidak sempat baca qur’an karena rutinitas dan kesibukan yang demikian sarat, Aki juga sering mendengar orang jarang silaturahim karena waktunya habis untuk mengejar uang dan uang, dan masih banyak lagi berbagai hal yang harusnya menjadi prioritas kita, justru terhalang oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang tak jarang melalaikan.........” kata Ki Bijak.
“Yang kedua, keinginan-keinginan yang dilandasi oleh hawa nafsu, merupakan benih potensial untuk melahirkan kekufuran dan membunuh rasa syukur kita kepada Allah swt, kita sering lalai dalam melihat apa yang telah Allah karuniakan kepada kita, hanya karena kita selalu ‘tengadah’, selalu melihat keatas, selalu mengumbar angan kita, selalu membebaskan khayalan kita, selalu menumbuh suburkan andai kata dan misalnya dalam benak kita, ingin ini dan ingin itu, dan orang yang masih terjebak dalam kubangan seperti ini, dalam hemat Aki bukanlah orang yang merdeka...................” Kata Ki Bijak.
“Ki, lalu adakah sarana untuk kita membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu dan perbudakan keinginan-keinginan yang tanpa batas itu ki......?” Tanya Maula.
“Sekarang ini kita sudah masuk dipertengahan bulan sya’ban, dan insya Allah beberapa hari kedepan, kita akan memasuki gerbang ramadhan, ini sebuah momentum yang sangat baik bagi kita untuk bisa benar-benar menjadi orang yang merdeka, merdeka secara lahiriah, dan merdeka pula secara bathiniah kita...........” kata Ki Bijak.
“Ki, bagaimana ramadhan bisa membebaskan kita dari ‘penjajahan’ bathiniah itu ki.......?” Tanya Maula.
“Nak Mas masih ingat apa arti ramadhan.......?” Tanya Ki Bijak.
“Iya ki, secara etimologi, Ramadhan terambil dari akar kata Ramidha yarmidhu yang artinya Panas, terik yang membakar, yang kemudian secara terminologi Ramadhan diartikan bulan untuk membakar dosa-dosa dengan cara shaum.......” kata Maula.
“Sementara shaum sendiri terambil dari kata Al Imsak, yang artinya Menahan diri, yang secara syar’i shaum didefinisikan Menahan diri dengan niat dari hal-hal yang membatalkanya, seperti makan,minum dan berhubungan dengan istri, dari mulai terbit fajar sampai matahari terbenam, ki......................” sambung Maula.
“Benar Nak Mas, itu arti dan definisi secara bahasa dan definisi formal, lebih dari itu, shaum secara fungsional memiliki berbagai fungsi yang salah satunya adalah sebagai sarana Tarbiyah bagi irodah kita -Tarbiyatul lil iradah- , terhadap hawa nafsu kita, terhadap keinginan-keinginan kita, terhadap kehendak-kehendak kita... ,
“yang berarti shaum merupakan sarana bagaimana kita mengendalikan keinginan-keinginan kita itu agar tetap selaras dengan fitrah kemanusiaan kita, kita dilatih untuk menahan diri dari keinginan dan rasa lapar kita, bahkan terhadap makanan dan minuman yang halal sekalipun, kita juga dilatih untuk menahan furuj’ kita terhadap istri yang sah sekalipun....,
“logikanya kalau selama shaum kita mampu menahan dan mengendalikan diri dari hal-hal yang halal, maka selepas shaum harusnya kita mampu menahan diri dari hal-hal yang jelas haram dan melanggar aturan..............” kata Ki Bijak.
“Barang siapa orangnya yang mampu menunaikan shaum dengan benar, mereka akan mendapat predikat faidzin, orang yang kembali dengan kemenangan, yang dalam arti lain, orang yang shaumnya benar, akan menjadi manusia ‘merdeka’ dari perbudakan nafsu dan keinginan kita yang tanpa batas..........” sambung Ki Bijak lagi.
“Semoga kita diberi kesempatan oleh Allah untuk sampai kebulan kemenangan itu ya ki..........” kata Maula penuh harap.
“Semoga Nak Mas, dan sebaik-baik orang yang menunggu, adalah dengan menyiapkan diri kita, baik secara fisik dan mental agar kelak, jika Allah benar-benar memberi kita kesempatan untuk bertemu ramadhan lagi, kita sudah siap dan tidak gagap dengan apa yang harus kita lakukan dibulan ampunan itu......” kata Ki Bijak.
“Jangan sampai setelah kita menunggu kedatangan bulan ramadhan, kemudian ketika kita sudah berada didalamnya, kita membiarkannya berlalu begitu saja, tanpa berbuat sesuatu untuk kebaikan kita...., ibarat kereta api Nak Mas, bulan ramadhan akan berlalu sekejap saja, barang siapa yang tidak siap-siap untuk naik ke gerbong kereta yang lewat itu, maka ia harus menunggu kereta berikutnya, dengan resiko ia terlambat atau bahkan tidak mendapat kereta sama sekali, karena umurnya keburu habis................”Kata Ki Bijak.
“Betapa ruginya ya ki, kalau sudah lama-lama menunggu, tapi pas ramadhan datang kita terlewat..........” Kata Maula.
“Karenanya agar kita tidak merugi, mari kita gunakan beberapa kedepan untuk bersiap-siap menyambut tamu agung itu, agar kita menjadi orang-orang beruntung nantinya, insya Allah...........” kata Ki Bijak.
“Iya ki, terima kasih.............” kata Maula sambil pamitan.
Wassalam
August 13,2008