Saturday, August 16, 2008

SINGKONG YANG BERBALAS KAMBING


“Nak Mas pernah mendengar cerita orang tua kita dulu mengenai seorang santri yang membawa singkong untuk gurunya dengan ikhlas........?” Tanya Ki Bijak, menjawab pertanyaan Maula mengenai balasan sebuah keikhlasan.

“Belum ki..........” Kata Maula.

“Ketika Aki dipesantren dulu, Pak Kyai sering memberi wejangan kepada kami, para santri mengenai berbagai hal, dan yang masih Aki ingat sampai sekarang adalah cerita Pak Kyai mengenai seorang santri yang membawa singkong itu Nak Mas.......” Kata Ki Bijak.

“Bagaimana ceritanya ki......?” Tanya Maula penasaran.

“Pak Kyai bercerita bahwa pada suatu ketika ada seorang santri yang sudah lama tidak berkunjung kepondok gurunya; ia ingin sekali berkunjung kesana, tapi si santri bingung apa yang mesti ia bawa untuk silaturahim kegurunya, sementara ia hanya memiliki sedikit singkong dari hasil kebunnya........” Kata Ki Bijak memulai ceritanya.

“Lalu ki............?” Tanya Maula penasaran.

“Lalu, si santri tadi membulatkan tekad untuk tetap bersilaturahim kerumah gurunya, ‘ bismillah, saya akan berkunjung kerumah guru dengan singkong ini.....’ Kata Si santri.

“Maka berangkatlah sisantri dengan membawa singkong menemui gurunya, dan sesampainya dipondokan gurunya, santri tadi menyerahkan singkong yang dibawanya sebagai oleh-oleh untuk gurunya, dan tanpa disangka sebelumnya, sang guru girang bukan kepalang dengan oleh-oleh singkong yang dibawa muridnya, karena memang itu makanan kegemarannya........” kata Ki Bijak.

“Singkat cerita, sebagai rasa terima kasihnya, Pak Kyai tadi menghadiahi si murid dengan seekor kambing sebagai ganti singkong yang dibawanya.....” Kata Ki Bijak.

“Santri itupun membawa pulang kambing pemberian gurunya, disepanjang perjalanan, ia mensyukuri pemberian gurunya itu, sementara ada tetangganya yang melihat hal itu berfikir lain ‘ kalau sifulan berkunjung kerumah pak kyai dengan membawa singkong, ia diberi kambing, maka kalau saya bawa kambing, tentu saya akan diberi kerbau oleh pak kyai itu....’ demikian fikir tetangga santri tadi.....” Lanjut Ki Bijak.

“Maka berangkatlah tetangga tadi mengunjungi pak kyai dengan membawa seekor kambing, harapannya ia akan mendapat balasan yang lebih dari kambing yang dibawanya....., setelah sampai di tempat kyai tadi, ia menyerahkan kambingnya, dan karena pak kyai tadi tidak memiliki harta lain sebagai oleh-oleh untuk tamunya, maka Pak Kyai tadi memberikan singkong yang beberapa waktu lalu didapat dari santrinya............” Kata Ki Bijak.

“Waah, tentu tetangga itu kecele ya ki, ia membawa kambing dengan harapan dapat kerbau, eeh malah hanya dapat singkong, sementara santri yang membawa singkong justru mendapat kambing.........” Kata Maula sambil tersenyum.

“Terlepas dari cerita tadi merupakan kisah nyata atau tidak, dari kisah itu kita bisa mengambil sebuah pelajaran yang sangat berharga Nak Mas, betapa sebuah keikhlasan dihargai sedemikian mahal oleh Allah swt, sementara mereka yang beramal disertai dengan pamrih, ia justru akan mengalami kerugian yang besar....” Kata Ki Bijak membuka sedikit hikmah dibalik ceritanya.

“Ya ki...., santri tadi berkunjung kerumah gurunya dengan ikhlas, meski hanya membawa singkong, dan dibalas dengan kambing, sementara tetangganya berkunjung kerumah pak kyai memang hanya sekedar mengharapkan balasan yang lebih besar dari kambing yang dibawanya, tapi justru ia hanya mendapat singkong.........” Kata Maula.

“Dan bukankah ini sebuah hikmah yang besar bagi kita Nak Mas......?” Kita lebih sering mengembel-embeli ibadah dan pengabdian kita kepada Allah dengan aksesoris duniawi.........” kata Ki Bijak

“Ibadah dengan aksesoris duniawi ki........?” Tanya Maula

“Benar Nak Mas, masih banyak diantara kita yang sunnah dhuha-nya karena ingin kaya, bukan karena Allah, masih banyak diantara kita yang tahajudnya karena ingin naik pangkat dan jabatan, bukan karena Allah, masih banyak diantara kita yang sedekahnya karena ingin disebut dermawan, bukan karena Allah, masih banyak diantara kita yang shaumnya sekedar ikut-ikutan, bukan karena Allah, masih banyak haji kita yang berangkat ketanah suci karena kelebihan uang dan jalan-jalan, bukan karena Allah, dan ketika kita beribadah bukan karena Allah, maka bersiap-siaplah untuk kecewa, seperti halnya sang pembawa kambing yang hanya mendapatkan singkong seperti cerita tadi.....”Kata Ki Bijak

“Kenapa masih banyak diantara kita yang berlaku demikian ki.......?” Tanya Maula.

“Semuanya berpulang pada kedewasaan kita dalam beribadah Nak Mas......” Kata Ki Bijak.

“Kedewasaan kita dalam beribadah ki......?” Tanya Maula lagi.

“Aki sering menganalogikan ketidak dewasaan ibadah kita dengan perilaku anak kecil yang ketika disuruh mandi oleh ibunya, mesti diiming-imingi dengan sesuatu dulu, baru mau mandi, atau mesti ditakut-takuti dulu, baru mau mandi...., karena memang anak kecil yang belum dewasa, tidak memahami fungsi dan hakekat mandi bagi dirinya, sehingga seorang anak kecil menganggap mandi adalah sebuah beban yang memberatkan.....”

“Seandainya anak kecil tadi memiliki pemahaman yang benar bahwa dengan mandi ia akan mendapatkan kebersihan dan kesehatan secara syari’at, tentu tanpa diiming-imingi sesuatu atau ditakuti-takuti pun, ia akan mandi, karena ia tahu secara pasti manfaat mandi bagi dirinya........” Kata Ki Bijak.

“Lalu ki.......?” Tanya Maula.

“Pun demikian halnya dengan ibadah kita, sebagian dari kita belum memahami hakekat shalat secara benar, belum memahami arti shaum yang benar, belum mengerti bagaimana sedekah yang benar, bagaimana haji yang benar, sehingga kita melakukan ibadah-ibadah itu tidak lebih dari sekedar ‘ritual’ dan setengah terpaksa......”

“Seandainya kita sudah memahami hakekat dan makna dibalik perintah ibadah-ibadah itu, niscaya kita akan melakukannya dengan ikhlas, tanpa iming-iming, lillahita’ala, dan ini memerlukan kedewasaan kita dalam beribadah.........”Sambung Ki Bijak.

“Berat ya ki untuk bisa beramal dengan ikhlas.....” kata Maula.

“Memang berat Nak Mas, dan karenanya seorang mukhlis memiliki derajat yang tinggi disisi Allah swt.......” kata Ki Bijak.

“Ki, Bagaimana kita belajar ikhlas ki........?” Tanya Maula.

“Untuk menjadi seorang mukhlis memang harus bertahap Nak Mas, setidaknya ada tiga anak tangga yang harus kita titi untuk bisa sampai pada derajat ikhlas, yang pertama kita harus berilmu, kedua mengamalkan ilmu tersebut secara istiqomah, dan kemudian insya Allah ikhlas akan datang dengan sendirinya.....” Kata Ki Bijak.

“Ilmu, amal dan kemudian iklhas........” Maula mengulang perkataan gurunya.

“Benar Nak Mas, ilmu saja, tidak cukup untuk melatih kita belajar ikhlas, ilmu yang ada pada kita, harus kita amalkan, sebagai misal kita tahu keutamaan shalat berjamaah dimasjid, tapi tahu saja tidak cukup, kita harus berusaha untuk kemasjid dan mengamalkan apa yang kita ketahui tentang keutamaan shalat berjamaah dimasjid.....”

“Mungkin awalnya akan ada perasaan berat untuk melangkahkan kaki kita ke masjid, mungkin awalnya akan ada perasaan riya dan berbangga diri bahwa kita menjadi sedikit orang yang pergi kemasjid, tapi jangan menyerah, kalahkan perasaan itu dengan tetap istiqomah, insya Allah perlahan kita akan menemukan kenikmatan shalat berjamaah dimasjid, dan insya Allah, ketika kita sudah bisa ‘menikmati’ sebuah aktivitas ibadah, rasa ikhlas itu akan timbul dengan sendirinya............” Kata Ki Bijak.

“Pun dengan ibadah-ibadah lain, pelajari ilmunya, amalkan secara istriqomah sehingga membekas dan meresap kedalam setiap relung hati kita untuk mendapat derajat keikhlasan.............” kata Ki Bijak lagi.
“Ki, apakah kita bisa melihat ‘ikhlas’ dalam perkataan ‘saya sudah ikhlas’ melakukan ini dan itu ki......?” Tanya Maula.

“Ikhlas itu bahasa hati Nak Mas, ikhlas hanya diketahui oleh Allah dan hati kita, selebihnya, ucapan atau ungkapan apapun, samasekali tidak menggambarkan makna ikhlas itu sendiri, yang jelas, ketika kita melakukan ibadah dengan ikhlas, kita akan mendapatkan ‘sesuatu’ yang juga tidak mungkin diuraikan dengan kata-kata, ada rasa tentram, ada rasa damai, ada segala macam rasa yang indah untuk kita nikmati manakala ikhlas sudah bersemayam dalam sanubari kita...........” Kata Ki Bijak lagi.

“Ya Allah, jika hanya ada sejuta manusia yang Engkau karuniai rasa ikhlas, maka jadikanlah hamba salah satunya, jika hanya ada seratus orang yang Engkau karuniai rasa ikhlas itu, maka jadikanlah hamba salah satunya, jika hanya ada sepuluh orang yang Engkau karunia rasa Ikhlas itu, maka jadikanlah hamba salah satunya, sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa atas segala sesuatu......” Maula memanjatkan do’a agar dijadikan seorang mukhlis.

“Amiiiin......” Ki Bijak mengamini.

Wassalam

April 22, 2008

No comments:

Post a Comment