“Nak Mas pernah dengar cerita gagak malang yang kehilangan makanannya......?’ Tanya Ki Bijak menyikapi pertanyaan Maula bagaimana menyikapi pujian
“Gagak yang malang ki..........?” Tanya Maula heran.
“Ya Nak Mas, konon ada sebuah cerita tentang seekor gagak yang sedang terbang sambil membawa makanan dimulutnya, sementara dibawahnya ada beberapa rubah yang juga sangat menginginkan makanan yang dibawa di gagak....” Kata Maula.
“Menyadari bahwa mereka tidak bisa mengejar gagak yang terbang, kawanan rubah kemudian memanggil-manggil sigagak dengan berbagai pujian, rubah-rubah itu menyanjung gagak dengan kata-kata manis yang memambukan, sehingga akhirnya gagak terpancing untuk membalas pujian itu dengan membuka paruhnya yang sedang memegang makanan...........” kata Ki Bijak.
“Lalu ki..........?” Tanya Maula penasaran.
“Ketika gagak itu mabuk dengan pujian, sigagak menjadi lupa dengan makanan diparuhnya, ketika gagak membuka paruhnya, makanan itu pun jatuh dan menjadi santapan kawanan rubah yang lapar..............” Kata Ki Bijak.
“Apa maknanya ki............?” Tanya Maula
“Gagak adalah sebuah simbol mereka yang ‘berhasil’ yang digambarkan dengan keberhasilan gagak itu memperoleh makanan, sementara kawanan rubah adalah simbol orang-orang disekililing kita, bisa teman, bisa atasan, bahkan bisa juga musuh dari orang-orang berhasil...........”
“Adalah sesuatu yang lumrah, ketika kita ‘berhasil’, semua orang memuji kita, semua orang menyanjung kita, semua orang mengelu-elukan kita sebagaimana kawanan rubah tadi, dan pelajaran dari cerita diatas adalah kita tidak boleh mabuk pujian yang disanjungkan siapapun kepada kita, karena selain kita tidak sepenuhnya tahu maksud dan tujuan dari pujian yang dialamatkan kepada kita itu, kita juga tidak tahu bahwa dari sekian banyak orang yang memuji kita, mungkin sebagian dari mereka ada sekawanan ‘rubah’ yang sebenarnya iri dan menghendaki keberhasilan kita jatuh kepada mereka..............” Kata Ki Bijak.
“Ooh, ana mengerti sekarang ki......., seperti pernah ada atlet sepakbola yang sangat potensial, ketika itu hampir semua orang memujanya, tapi kemudian sipemain itu mabuk pujian, ia menjadi lupa diri dan akhirnya ia lupa dengan potensi besarnya dan sekarang hanya menjadi pemain yang biasa saja.......” kata Maula mencontohkan kehidupan seorang atlet.
“Bukan hanya dikalangan atlet Nak Mas, kita pun harus berhati-hati manakala kita tengah terbang tinggi dengan keberhasilan kita, kita jangan terlena dengan pujian, jangan mabuk dengan sanjungan, karena sekali lagi yang berhak dipuja dan dipuji adalah Allah swt saja, kita sama sekali tidak memiliki daya dan kekuatan untuk mencapai keberhasilan itu kecuali dengan izin dan kekuatan Allah, karenanya kembali semua pujian itu kepada Allah dengan mengucap ‘Alhamdulillah...., segala puji bagi Allah semata......” kata Ki Bijak.
“Bahkan ketika kita berada ‘diketinggian’, kita bisa menjadai sasaran tembak yang empuk yang ki, karena semua orang bisa melihat kita dan bagi mereka yang memiliki niat tidak baik, bisa membidik kita dengan lurus..........” kata Maula.
“Benar Nak Mas, sekali lagi, pujian bukanlah hak kita, pujian sama sekali tidak menjadikan kita lebih hebat, pujian sama sekali tidak membuat kita menjadi lebih besar, pujian sama sekali tidak membuat kita menjadi lebih pintar, pujian....dalam banyak kasus, justru merupakan awal dari kehancuran bagi mereka yang tidak pandai memaknainya.............” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki....., tapi justru kenapa banyak orang mengharap dan menginginkan pujian ya ki.............” Tanya Maula.
“Karena memang pujian itu manis laksana sirup yang menyegarkan, kita akan sangat mudah terlena dengan manis dan segarnya, meski kadang sirup itu diberi pewarna yang beracun bagi kita.......,
“Pujian pun demikian adanya Nak Mas, tidak semua pujian yang dialamatkan pada kita tulus dan merupakan penghargaan atas prestasi dan keberhasilan kita, kadang pujian itu hanya berupa ‘zat pewarna’ untuk mengelabui kita sehingga kita terbuai dan lengah, dan agar tujuan sebenarnya dari sipemuji itu tidak nampak, persis seperti kawanan rubah dalam cerita diatas.........” Kata Ki Bijak
“Bahkan kita juga harus hati-hati dengan ibadah yang kita lakukan Nak Mas......, sekali saja aktivitas ibadah kita dilandasi oleh keinginan untuk dipuji orang lain, maka kita akan menjadi orang yang rugi, bukan hanya sekali bahkan kerugian yang akan kita derita, tapi mungkin berkali-kali........” Kata Ki Bijak.
“Maksudnya ki............?” Tanya Maula.
“Misalnya ketika kita sedekah atau menyumbang untuk kegiatan atau sarana ibadah, seperti pembangunan pesantren, pembangunan masjid dan sebagainya, kemudian terbersit dihati kita bahwa kita menyumbang agar orang lain tahu bahwa kita dermawan, maka ketika itulah kita akan merugi, kerugian pertama adalah uang atau harta kita berkurang, kerugian kedua, sedekah dan sumbangan kita yang disertai dengan perasaan ingin dipuji atau riya, sama sekali tidak bernilai disisi Allah swt..............”
“Atau ketika kita berangkat haji, sementara dihati kita masih terbalut niat bahwa kepergian kita ketanah suci agar sepulangnya nanti dipangil bapak atau ibu haji, kita akan menderita kerugian, harta kita berkurang karena biaya perjalanan haji yang besar, sementara pahala surga yang Allah janjikan bagi haji mabrur tidak kita dapat, karena niatan kita untuk pergi haji masih diwarnai oleh perasaan dan sifat ingin dipuji............”
“Demikian pun dengan shalat kita, shaum kita, pekerjaan kita atau apapun aktivitas kita, harus benar-benar steril dari keinginan untuk mendapat pujian dari orang lain...........” kata Ki Bijak.
“Kalau Allah yang memuji tidak apa-apa ya ki.............” Kata Maula.
“Allah adalah Dzat yang Maha Terpuji dan Allah akan memberikan pujian kepada hamba yang dikehendaki_Nya, pujian Allah bisa berupa nikmat yang kita terima, pujian Allah bisa berupa kemuliaan yang kita terima, pujian Allah bisa berupa pitutur yang baik bagi kita sepninggal kita, sebagaimana Allah memuji para Nabi dan hamba-hamba_Nya yang beriman.............., dan itulah sebaik-baik pujian, ketika Allah memuji kita, maka seluruh alam akan memuliakan kita....., sebaliknya sekali Allah menghinakan kita, maka tidak ada satu kekuatanpun yang mampu membuat kita mulia dimata manusia terlebih disisi Allah swt...........” kata Ki Bijak.
“Selain itu, tidak ada satupun pujian yang boleh kita harapkan, bahkan dalam banyak ayat, Allah memperingatkan kita betapa sifat riya dan ingin dipuji orang lain, adalah sebuah kenistaan............” kata Ki Bijak sambil membacakan beberapa ayat al qur’an;
142. Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[364]. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya[365] (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali[366]. (An-nissa)
“Masya Allah, bahkan dalam shalat pun kita masih berpotensi untuk melakukan perbuatan yang tidak diridhai Allah ya ki......” Kata Maula.
“Benar Nak Mas, karenanya kita harus benar-benar berhati-hati agar kita tidak menjadi orang yang merugi seperti kisah gagak diatas......” kata Ki Bijak.
“Iya ki..............” Jawab Maula pendek sambil terus merenungkan percakapannya dengan ki Bijak barusan.
Wassalam
April 09, 2008
Saturday, August 16, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment