“Benar Nak Mas, Aki pun sangat prihatin dengan apa yang belakangan ini terjadi ditengah masyarakat kita......” Kata Ki Bijak menanggapi keprihatinan Maula terkait beberapa kejadian akhir-akhir ini, ada jaksa yang tertangkap tangan menerima uang suap, ada pejabat yang terlibat komplotan pembalakan liar, dan bahkan yang terakhir lebih miris lagi, ada wakil rakyat yang juga ditangkap karena kasus suap, setelah sebelumnya para petinggi di Bank juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang hampir serupa, Korupsi.....
“Kenapa kondisi ini bisa terjadi ya ki.......?” Tanya Maula, masih dengan nada prihatin.
“Wallahu’alam Nak Mas, Nak Mas akan menemukan banyak jawaban dari pertanyaan diatas, tergantung dari siapa jawaban itu keluar, namun dari sudut pandang Aki, penyebab utama dari semua yang terjadi belakangan ini adalah karena sebagian kita sudah melupakan satu hal..........” Kata Ki Bijak.
“Hal apa itu ki.............?” Tanya Maula.
“Nak Mas perhatikan lagi ayat ketiga puluh lima dari surat Al Anbiya;
35. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
“Banyak diantara kita yang sudah lupa bahwa kita pasti akan mati, dan banyak diantara kita yang belum sepenuhnya menyadari bahwa apa yang ada pada kita adalah ujian, baik ketika kita mendapatkan kebaikan, pun ketika kita mendapatkan kejelekan, dua-duanya ujian.....” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, kita lebih cenderung merasakan diuji ketika kita ditimpa sakit, kita merasa diuji ketika dalam kemiskinan, ketika kita ditimpa kekurangan, ketakutan atau hal-hal yang tidak kita senangi...........” Kata Maula.
“Kedudukan, pangkat, jabatan, kekayaan, kemudahan, kemulian juga merupakan ‘ujian’ yang harus kita lewati agar kita menjadi manusia yang dikehendaki oleh Allah......” Kata Ki Bijak.
“Dalam contoh kita kali ini, jabatan sebagai wakil rakyat, pangkat sebagai pejabat, atau dasi dan kehormatan yang melekat, merupakan ujian, untuk menguji sejauh mana kita bersyukur terhadap amanah itu, sejauh mana kita bertanggung jawab terhadap pangkat dan jabatan yang kita emban, karena ketika kita salah memaknai pangkat dan jabatan ini, yang terjadi kemudian adalah seperti apa yang terpampang didepan kita sekarang ini.....;
“Jabatan dan wewenang digunakan sebagai alat penekan untuk mendapatkan keuntungan personal, kedudukan yang tinggi dijadikan alat pelindung berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan tata nilai dan norma agama.........” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ya ki, padahal kalau dipikir-pikir, kita mengejar pangkat dan kedudukan, mengejar harta dan duniawi, dengan berbagai macam cara dan bahkan menghalalkan segala cara, padahal semua yang kita kejar dan kita kumpulkan itu sama sekali tidak kita bawa ketika kita mati..........” kata Maula.
“Pangkat, jabatan dan harta, jika disikapi secara benar, juga merupakan modal yang sangat berharga untuk bekal kita pulang keakhirat kelak Nak Mas......” Kata Ki Bijak.
“Maksudnya ki......?’ Tanya Maula.
“Agama kita samasekali tidak melarang orang untuk mencapai cita-citanya, jika mungkin, agama kita mempersilahkan kita untuk menjadi pejabat, untuk menjadi konglomerat, untuk menjadi wakil rakyat, silahkan...., tapi dengan satu catatan, bahwa semuanya itu bukan tujuan, tapi hanya sebagai alat untuk mencapai ridha Allah swt.....”
“Seorang pejabat, seorang wakil rakyat yang menggunakan jabatannya untuk membuat undang-undang yang mendorong umat untuk berbuat kebajikan, dan memproteksi dari kemaksiatan, insya Allah adalah juga bernilai pahala disisi Allah;
“Seorang pemimpin, yang menggunakankan kekuasaannya untuk menjamin rasa aman rakyatnya, berbuat adil, dan tetap berpegang teguh pada tata nilai agama, juga merupakan seorang yang memiliki nilai yang tinggi disisi Allah...,
“Pun dengan harta kita, kita bisa menjadikan harta kita sebagai kendaraan kita menuju ridha Allah, Nak Mas......” Kata Ki Bijak.
“Bagaimana caranya ki......?’ Tanya Maula.
“Belanjakan harta kita sesuai yang Allah kehendaki, untuk zakat, untuk sedekah, untuk menuntut ilmu, menyantuni fakir miskin, yatim piatu atau untuk membantu pembangunan sarana dan prasarana ibadah, dengan disertai keikhlasan dan lillahita’ala, insya Allah, harta yang kita belanjakan ini akan menjadi tabungan yang akan mempermudah kita menapaki shirathal mustaqiem diakhirat kelak.............” kata Ki Bijak.
“Benar ki, uang kita yang ditabung dibank juga hanya merupakan catatan diatas kertas, selebihnya, pemilik bank itulah yang memanfaatkan dan mendapatkan keuntungan lebih dari uang yang kita tabung dibank mereka....” Kata Maula
“Sementara mobil, rumah, kebun atau perhiasan yang kita miliki, tak lebih dari perhiasan dunia, yang tidak jarang justru melalaikan dan menjauhkan kita dari Allah swt.......” Sambung Ki Bijak.
“Mobil kita, kadang menyita perhatian kita secara berlebih, kadang kumandang adzan lewat begitu saja, hanya demi mobil kita yang kotor atau kehujanan.....”
“Rumah mewah juga kadang menjadikan kita membanggakannya secara berlebihan dan kita cenderung menjadi sombong karenanya, pun demikian halnya dengan kebun kita.....’
“Apalagi perhiasan, banyak sudah orang yang terjabak bermewah-mewah dan bermegah-megahan dengan perhiasan yang mereka miliki, sehingga ‘lupa’ darimana perhiasan itu berasal.............” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki, semakin orang lupa akan mati, maka ia cenderung semakin rakus terhadap dunia ya ki........” Kata Maula.
“Benar kata seorang sahabat bahwa ‘hubbu dunya khoti’ati kulli sayyiah – Kecintaan pada dunia yang berlebihan, adalah pangkal dari segala kejahatan....” Kata Ki Bijak menambahkan.
“Ya Rabb, hamba berlindung kepada_Mu dari kecintaan pada dunia yang berlebihan, hamba berlindung pada_Mu ya Allah dari fitnah dunia yang menyesatkan.......” Kata Maula mengakhiri percakapan hari itu.
Wassalam
April 14, 2008
Saturday, August 16, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment