Monday, February 5, 2007

Banjir, mestinya makin mendekatkan kita kepada Allah

BANJIR, MESTINYA MAKIN MENDEKATKAN KITA KEPADA ALLAH

Tanggal 2 Februari 2002, sebuah banjir besar melanda ibu kota, ketika itu semua tampak panik, sibuk dan keadaan kacau balau. Tepat lima tahun kemudian, banjir besar juga melanda hampir sebagian besar wilayah ibu kota dan sekitarnya. Kepanikan, kebingungan dan kekacauan nampak kembali diwilayah-wilayah yang ditimpa musibah.

Belum kering rasanya kepiluan yang menggenang akibat banjir tahun 2002 lalu, kemudian ketika warga baru menata kembali puing-puing rumah dan keyakinannya, tiba-tiba banjir kembali melanda.

“Tiba-tiba banjir melanda”, benarkah semuanya terjadi secara tiba-tiba? Benarkah tidak ada gejala atau tanda yang memberi tahu kita bahwa banjir akan tiba? Benarkah Allah sedemikian “marah” sehingga menurunkan banjir begitu saja?

Sederet pertanyaan diatas menjadi sesuatu yang kerap melintas diruang pikiran kita, mari sejenak kita renungkan.

Banjir besar pernah melanda kaum Nabi Nuh,

14. Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.


banjir besar juga pernah meluluh lantakan kaum Saba’

16. Tetapi mereka berpaling, Maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[1236] dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr[1237]. (Saba’-16)

[1236] Maksudnya: banjir besar yang disebabkan runtuhnya bendungan Ma'rib.
[1237] pohon Atsl ialah sejenis pohon cemara pohon Sidr ialah sejenis pohon bidara.

Banjir besar juga pernah melanda kita, Di Aceh, di Sumatra, dan kini tepat didepan mata kita.
Kalau dulu Allah menimpakan banjir bah yang menenggelamkan kaum Nabi Nuh karena mereka ingkar terhadap seruan yang disampaikan Nabi Nuh, kalau dulu Allah mengazab kaum Saba’, karena perbuatan musyrik yang mereka lakukan dengan menyembah selain Allah, lalu, ada apa dengan kita? Adakah kita telah mengingkari ajaran para Nabi? Adakah kita telah melakukan perbuatan syirik sebagaimana kaum Saba’ dulu? Wallahu’alam

Kalau dulu Allah menimpakan banjir kepada kaum Saba’ karena mereka mendustai dan kufur terhadap nikmat yang Allah anugerahkan; “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".(Saba’-15), Lalu adakah kita termasuh bangsa yang kufur?

Bukankah bangsa ini dikenal sebagai zamrud khatulistiwa, sawah ladangnya subur, lautnya penuh mutiara buminya kaya dengan mas intan dan logam mulia, lalu sudahkan kita bersyukur dengan semua yang Allah berikan?


Nabi Nuh menyeru kepada kaumnya;

2. Nuh berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu,
3. (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku,
4. Niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu[1516] sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila Telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu Mengetahui". (Nuh:2~4)

[1516] Maksudnya: memanjangkan umurmu.

Seruan dan ajakan kepada ketaqwaan yang disampaikan Nabi Nuh As, juga disampaikan oleh para Kyai dalam hampir setiap pengajian, ajakan pada ketaqwaan juga disampaikan oleh para Da’i dalam berbagai tablighnya, seruan ini juga selalu disampaikan oleh para Khatib dalam setiap khutbahnya, lalu sejauh mana seruan, ajakan dan peringatan yang disampaikan para Kyai, para Da’i dan para Khatib itu sudah kita dengar, sudah kita renungi dan sudah kita amalkan? (Lihat artikel Refleksi Shalat Jum’at sebagai indikator ketaqwaan kita-pen)

Bahkan dengan mudah kita dapat menemukan amal perbuatan yang justru bertentangan dengan apa yang diserukan oleh para Nabi dan penerusnya, kemungkaran merajalela, syirik seolah menjadi biasa, perdukunan, meramal dan mengundi nasib, penyembahan terhadap “berhala-berhala modern” dalam bentuk kekayaan, ilmu dan pangkat dan kedudukan, kemaksiatan bahkan banyak dibela, serta masih banyak hal yang menjadi syarat untuk diturunkannya azab Allah kepada kita.

Syarat sebuah kemulian suatu bangsa adalah Pemimpin yang adil dengan kekuasaannya, ulama yang alim dengan ilmunya, orang kaya yang dermawan dengan hartanya, dan orang miskin dengan do’anya, tapi justru yang terjadi sekarang adalah berbanding terbalik, Penguasa laksana srigala atas rakyatnya, ulama gemar membodohi umatnya, orang kaya kikir dengan hartanya, dan orang miskin pandai melontarkan sumpah serapah kepada sesamannya, Ditambah lagi tidak adanya Rasul ditengah-tengah kita, So?? Lengkap sudah syarat untuk terjadinya bencana.

Banjir tidak akan memilih siapa yang taat dan siapa yang bermaksiat, ketika disebuah komunitas ada banyak orang yang bermaksiat, sementara orang sholeh mendiamkannya, maka semuanya akan terkena.

25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Al anfal:25)


30. Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (As Syuura:30)


Penggunduluan hutan, peruntukan lahan yang tidak sesuai, untuk villa, lapangan golf dan lainnya, pembuangan sampah sembarangan, pendangkalan sungai, dan perilaku yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan, adalah apa yang dimaksud dengan “kerusakan yang disebabkan oleh tangan-tanganmu sendiri”.

Tidak perlu mencari dalih dan kambing hitam atas semua yang terjadi sekarang, jauh lebih bijak kalau kita kembali introspeksi kedalam diri kita masing-masing, adakah kita turut berperan dalam melengkapi sarat diturunkannya azab Allah?

Adakah kita selama ini telah menyekutukan Allah dengan pekerjaan kita, dengan harta kita,dengan ilmu kita atau dengan pangkat jabatan kita?

Adakah kita telah mendustakan dan mengikari nikmat sehat, nikmat umur, nikmat waktu, nikmat harta, dan nikmat Iman dan Islam kita?

Adakah kita telah membuang sampah sembarangan, merusak hutan dan berperilaku “kasar” dan lingkungan kita?

Mari segera bersujud, mumpung kita masih diberi waktu!!

Wassalam

Januari, 05, 2007

No comments:

Post a Comment