Friday, February 16, 2007

Ilmu Sae-fi√

Dipertengahan sampai akhir tahun 1990an, berbagai jenis olah raga ketangkasan dan bela diri bermunculan bak jamur dimusim hujan. Pada tahun-tahun itu lahir perguruan silat Merpati Putih, Pagar Nusa, Inkai, Taekwondo, Tapak Suci, Tarung Drajat dan masih banyak lagi pergurun-perguruan silat sejenis yang banyak mengundang minat para pemuda untuk bergabung didalamnya. Entah apa yang menjadi motivasi mereka, untuk sekedar gagah-gagahan, untuk bela diri, untuk kesehatan dan masih banyak lagi alasan yang mendorong orang untuk bergabung dalam perguruan-perguruan silat tersebut.

Pun demikian dengan penulis yang sangat penasaran dengan banyaknya anak-anak yang mendaftarkan diri pada jenis olah raga beladiri. Rasa penasaran dan keingintahuan mengenai ilmu bela diri itulah yang kemudian mengantar penulis kepada seorang “guru silat” yang hebat untuk belajar ilmu silat seperti orang lain.

Bersama beberapa orang teman, kami kemudian menemui seorang Pak Tua disebuah pondokan, sebuah rumah sederhana dipinggiran desa. Besar harapan kami waktu itu, bahwa kami akan diajari ilmu kanuragan tingkat tinggi yang akan mampu “mengalahkan” semua jenis silat dari berbagai aliran karena konon pak tua ini seorang pendekar yang tangguh pada masanya.

Harapan tinggalah harapan, keinginan penulis untuk belajar ilmu silat berubah seratus delapan puluh derajat. Alih-alih diajari gerakan dan jurus silat, pak tua itu malah bertanya kepada kami;

“Untuk apa kalian ingin belajar silat?” Tanya pak Tua

“Kami ingin bisa jaga diri, pak!” Jawab kami hampir bersamaan

“Menjaga diri dari apa?” Tanya pak Tua

“Sekarang kan hampir semua orang belajar silat, kalau kami tidak bisa silat, nanti gimana kalau kami ada yang ngusilin?” Jawab kami polos, karena memang salah satu alasan kami untuk belajar silat adalah karena saat itu banyak terjadi tawuran antar pelajar, apalagi kami dari sekolah teknik menengah (STM) yang terkenal suka tawuran.

Pak Tua tersenyum seperti maklum, “Kalian mau belajar ilmu apa?” Tanyanya.

“Ajari kami ilmu silat dan ilmu kebathinan yang paling hebat, pak, karena kalau silat yang biasa saja sih, kami sudah ketinggalan, orang lain sudah belajar silat 2~3 tahun yang lalu” Jawab kami lugu.

Lagi pak tua tersenyum, “Ketahuilah, tidak ada ilmu yang paling tinggi, tidak ada silat paling hebat dan tidak ada jurus yang tidak bisa dikalahkan, semuanya pasti ada yang lebih hebat, pasti ada yang lebih tinggi, ada yang akan mengalahkan, diatas langit masih ada langit, jadi kalian tidak bisa belajar untuk menjadi yang paling hebat”, Tutur pak tua.

Kami diam saling pandang satu sama lain, semburat kekecewaan mungkin nampak pada wajah kami “yang tidak bisa jadi jagoan”, dan pak tua maklum akan keadaan ini, kemudian lanjutnya;

“Kalau kalian ingin belajar, belajarlah ilmu “Saefi” , inilah ilmu yang paling tinggi dan paling hebat, yang akan membuat kalian aman dan terlindungi, yang akan membuat kalian dihormati, yang akan membuat kalian disegani, dan akan membuat kalian menjadi “jagoan”.

Harapan kembali muncul pada diri kami, ketika pak tua menawarkan ilmu “Saefi” kepada kami. Kami berpikir bahwa masing-masing kami akan belajar ilmu Saefi angin, saefi geni atau saefi air, yang konon bisa menjadikan orang yang memiliki saefi angin berlari secepat angin, orang yang memiliki saefi geni tak mempan dibakar, dan orang yang memiliki saefi banyu bisa berjalan diatas air. Betapa gagahnya, pikir kami waktu itu, bila benar pak tua mau mengajarkan ilmu saefi-nya.

“Kalian pilih yang mana?’” Pancing pak tua

“Saya ingin belajar saefi angin” Jawab teman 1

“Saya ingin belajar saefi geni “ Jawab teman 2

“Saya ingin belajar saefi banyu’ Tutur penulis

Pak tua kembali tersenyum, “Ilmu Saefi yang akan kalian pelajari itu masih bisa dikalahkan, saefi geni akan kalah oleh saefi banyu, saefi banyu akan kalan oleh saefi angin, jadi bukan yang paling hebat”.

Kami kembali bertanya-tanya Ilmu saefi apa lagi yang lebih hebat dari ketiganya?

“ketahuilah, ilmu Saefi yang paling tinggi adalah Sae – Fikiran”. Kata pak Tua.

Sae-fikiran, atau dalam bahasa agama lebih dikenal dengan istilah “Husnudzon – Berpikiran positif” adalah ilmu tertinggi menurut pak tua, kenapa?

Husnudzon atau dalam bahasa pak tua Sae-Fikiran adalah sebuah pola pikir positif yang akan membantu pelakunya menemukan berbagai hal yang baik, baik itu hal baik yang terdapat dalam dirinya, hal baik pada diri orang lain, hal baik pada lingkungannya, dan senantiasa berpikir dan berprasangka baik terhadap Allah Swt.

Lalu kenapa kita harus selalu berpikir positif kepada diri kita, orang lain, lingkungan dan Allah?

Ketika kita berpikir postif terhadap diri kita, maka citra positif pun akan terpancar lewat tutur kata dan perilaku kita. Kita akan dengan mudah mengucapkan salam, bertegur sapa dan mengucapkan kata-kata yang baik yang mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain. Kita pun akan berperilaku positif seperti menghargai orang lain, menghormati orang lain, yang pada gilirannya kita akan mendapatkan umpan balik yang positif pula dari orang lain.

Lain halnya ketika kita selalu berpikir negatif tentang diri kita, kita selalu berpikir bahwa diri kita serba kurang, diri kita serba tidak mampu, dan sebagainya, yang sebagai akibatnya akan timbul citra negatif dalam perilaku dan tutur kata kita, dan sesuatu yang pasti terjadi adalah kita akan mendapatkan feedback negatif pula dari orang lain.

Ketika kita enggan mengucap salam, jangan berharap orang lian akan mengucap salam kepada kita, ketika kita enggan menyapa, jangan harap orang lain akan menyapa kita, ketika kita enggan menolong, adalah berlebihan jika kita mengharapkan pertolongan mereka. Input selalu berbanding lurus dengan outputnya.

Ketika kita berpikir postif maka orang lainpun akan berpikir positif terhadap kita, sebaliknya ketika kita berfikir negatif, maka itulah yang akan orang lain berikan kepada kita.

Lalu apa hubungannya dengan lingkungan?

Ketika kita selalu berpikir positif terhadap lingkungan dimana kita tinggal, ditempat kita bekerja atau dimanapun kita berada, maka sinyal-sinyal positif akan terpancar dari lingkungan kita.

Bagaimana dengan Allah?

Sebuah hadits qudsi menyatakan bahwa “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku. Kalau ia berprasangka baik, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Bila ia berprasangka buruk, maka keburukan akan menimpanya".

Jelaslah sekarang bagi kita untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah, karena selain etika seorang hamba kepada Tuhannya, berbaik sangka adalah sebuah syarat bagi kita untuk memperoleh kebaikan dari Allah swt.

Hal lain yang dapat kita ambil dari sikap berbaik sangka kepada Allah adalah timbulnya rasa tenang dan yakin dalam diri kita, karena kita selalu dalam pengawasan dan perlindungan pada Allah Swt, bukankah Allah tidak akan pernah menganiaya hamba-hamba-Nya?Keyakinan inilah yang akan membuat kita selalu merasakan kasih sayang Allah dalam kondisi apapun. Ketika kita diberi sesuatu yang kurang baik menurut kita, spontan pikiran positif kita akan mengajak kita berbaik sangka kepada Allah, bahwa ini adalah ujian untuk kesabaran kita, menguji keyakinan kita kepada kebenaran firman Allah;


19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.(An Nissa:19)

Pikiran positif kita memberi tahu kita,bahwa Allah Maha Tahu yang terbaik bagi kita, pikiran positif kita memberi sinyal bahwa Allah Maha Bijaksana, pikiran positif kita berkata bahwa kalkulasi dan perhitungan yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah, sebaliknya apa yang menurut Allah baik, pasti baik pula bagi kita, karena Dia-lah yang menciptakan kita, yang tahu persis kebutuhan dan keperluan kita, berpikir positif melahirkan sikap syukur ketika diberi nikmat, sabar ketika mendapat ujian dan tawakal dalam memperjuangkan sesuatu.

Berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu Sae Fikiran dan senantiasa berburuk sangka kepada Allah. Ketika Allah menjadikan musim kemarau, ia akan mengeluh kepanasan, ketika penghujan datang, ia menggerutu karena kehujanan. Ketika dikasih ujian, ia mengatakan Allah tidak menyayanginya, ketika menerima kenikmatan, ke-Aku-anya yang keluar, sehingga ia lupa bersyukur.

Sungguh berbeda orang yang memiliki ilmu Sae-fikiran dengan orang yang tidak memilikinya, inilah yang kata pak tua, orang yang memiliki ilmu Sae-fikiran adalah orang yang pilih tanding, orang yang kuat karena tawakalnya, orang yang gagah karena kepasrahannya, orang yang digjaya karena Allah-lah pelindungnya.


160. Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (Tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (Ali Imran;160)

Desember 19, 2006.

No comments:

Post a Comment