Friday, February 16, 2007

Hakekat orang “kaya”

Suatu ketika ada seorang ustadz kondang berkunjung ke pesantren dimana ia dulu belajar dan menuntut ilmu. Sejenak ia termenung didepan pintu masuk “rumah” gurunya, yang masih seperti dulu, sebuah gubuk reot, terbuat dari bilik bambu, sedih..tiba-tiba menyeruak kedalam hatinya. Ia berpikir bahwa dengan ilmu yang didapatnya dari pondok ini beberapa tahun lalu, sekarang ia telah menjadi “orang”, memiliki rumah yang lumayan bagus, kendaraan dan kehidupan yang relatif mapan, tapi, gurunya, orang yang telah mendidik dan membesarkannya, masih bergelut dengan keadaan yang sama dengan masa sepuluh tahun yang lalu saat ia masih ngaji disini. Ia sedikti merasa bersalah pada orang yang telah sangat berjasa padanya.

Ditengah berbagai perasaannya yang demikian bergemuruh, terdengar suara lembut dari dalam gubuk reot itu;

“Assalamu’alikum wr.wb, masuklah anakku, saya ada didalam”, terdengar suara yang begitu ia kenal dari dalam gubuk itu, membuyarkan lamunannya.

“Wa’alaikum salam...., pak kyai.....” Ia berguman, ia tampak gugup karena justru gurunya terlebih dulu yang mengucapkan salam. Ia makin merasa serba salah. Ia yang seorang da’i kondang, yang biasa berdiri dan berbicara dihadapan sekian ratus bahkan ribuan jamaah dengan lantang, tiba-tiba merasa demikian grogi demi menghadapi gurunya.

“Kemarilah, anakku...” seorang lelaki renta tampak keluar dari gubuk iu sambil tersenyum, senyum yang tulus disertai dengan rona muka yang nampak berseri dan berwibawa.

Sang ustadz melangkah mendekati gurunya, dan dengan segera ia memeluk sang guru sambil terisak....sesak sekali rasanya perasaan yang sedari tadi ia pendam. Lelaki tua bijak itu membiarkan muridnya menumpahkan perasaannya dalam dekapannya yang lembut.

“Duduklah nak, maaf kursinya masih seperti yang dulu” Kata Pak Tua.

Dukh...si ustadz merasa bahwa pak kyai mengetahui apa yang dipikirkannya. Kemudian percakapan pun berlanjut, banyak yang mereka bicarakan sambil melepas rindu yang sekian lama tertahan, hingga akhirnya sang ustadz berkata;

“Pak Kyai, bolehkan saya memberikan sesuatu kepada Pak Kyai.”. katanya hati-hati sekali karena takut menyinggung perasaan pak Kyai.

“Apa yang hendak kau berikan kepada ku, anakku...” Pak kyai membalas sambil tersenyum.

“Pak Kyai, sepuluh tahun lebih saya disini, menimba ilmu dan belajar dari pak Kyai, hingga Alhamdulillah, saya bisa seperti ini, bisa punya kendaraan, rumah dan penghasilan yang lumayan, sementara pak Kyai, tetap disini...digubuk ini, yang sejak sepuluh tahun lalu belum juga berubah, lalu kursi kayu ini, masih saja seperti yang dulu..., saya ingin memperbaiki gubuk pak Kyai agar lebih layak, saya ingin membelikan kursi yang baru untuk pak Kyai, bolehkah pak Kyai

Pak Kyai tidak langsung menjawab, ia memandangi wajah muridnya, ia kemudian tersenyum bangga dengan muridnya, lalu ia berkata;

“Apakah engkau sudah mampu, anakku?” Tanya Pak Kyai.

“Pak Kyai, penghasilan saya sekarang Rp......juta per bulan, saya sudah hidup berkecukupan dan punya tabungan yang cukup....” Jujur sang ustadz mengatakan keadaannya sekarang, karena memang ia sedemikian dekat dengan gurunya.

Lagi-lagi pak Kyai tersenyum, “Saya lebih kaya dari engkau anakku....” kata pak Kyai.

Sang Ustadz sedikit heran, “Bagaimana mungkin Pak Kyai lebih kaya dari saya?, gubuk ini belum berubah sedikit pun, kursi dan lainnya masih seperti dulu, sementara saya, saya sudah memiliki rumah, mobil dan penghasilan yang memadai.....”.

Lagi Pak Kyai tersenyum, “Semua yang engkau miliki, rumah, dan mobil dan penghasilan yang engkau dapat tidak lantas menjadikan mu lebih kaya dari saya, selama engkau masih memiliki keinginan-keinginan yang lebih banyak dari yang kau dapat, sementara saya, dengan kondisi sekarang jauh lebih kaya, karena penghasilan saya yang engkau bilang pas-pasan, mampu memenuhi semua kebutuhan saya...”

“ketahuilah anakku, orang kaya adalah orang yang pendapatannya lebih besar dari keinginannya, sementara orang miskin, adalah orang yang penghasilannya (berapapun besarnya) tidak mampu memenuhi keinginan-keinginannya yang tidak terbatas. Kaya adalah sikap hati yang merasa cukup (qonaah) dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat Allah, bukan sikap hati yang selalu merasa kurang.....meskipun ia telah memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain...” Kata Pak Kyai Bijak.

Sang Ustadz kondang terdiam, ia merasa kembali menjadi santri yang baru belajar, padahal ia selama ini dikenal dengan ustadz yang selalu mendapat perhatian besar dalam setiap tabligh-tablighnya, sementara apa yang baru diutarakan oleh Pak Kyai tadi, benar-benar menjadikannya merasa bodoh dan belum tahu apa-apa, ia menangis dan akhirnya memutuskan untuk mondok beberapa tahun lagi bersama sang Kyai.

Nasehat Rosulullah kepada Abu Dzar:

"Lihatlah kepada orang yg di bawahmu dan janganlah melihat orang yg berada di atasmu, agar engkau tidak memandang rendah akan nikmat yg Allah berikan kepadamu."

No comments:

Post a Comment