Friday, February 16, 2007

Jujur pangkal mujur, dusta pangkal celaka

“Ada banyak orang pintar saat ini, tapi kita kekurangan orang jujur dan punya rasa malu dinegeri ini..” Kata seorang teman dalam perjalanan pulang dari kantor.

“Kita memiliki hampir semua potensi untuk menjadi bangsa yang besar, kekayaan alam kita melimpah, sumber daya manusia kita juga banyak, dua hal yang mungkin kurang pada bangsa ini adalah kurangnya orang jujur dan orang yang menjunjung tinggi rasa malu....”

Terasa pesismitis memang apa yang diucapkan teman tadi, tapi sekali lagi, kalau kita mau jujur, memang kita kekurangan “orang-orang jujur lagi tahu malu”. Bahkan sebagian kita mungkin sudah terjebak pada sebuah fomeo yang keliru lagi menyesatkan “ Orang jujur akan hancur” atau “ Yang haram (baca: dengan jalan tidak jujur) saja susah, apalagi yang halal (Baca; didapat dengan usaha dan cara-cara yang jujur lagi diridhai)”.

Kenapa kita sampai terjebak dengan propaganda syetan yang menyesatkan itu? Kenapa justru kita mengikuti kata-kata syetan yang jelas-jelas musuh kita, yang jelas-jelas menginginkan kita kedalam jurang kebinasaan, kenapa justru kita mengabaikan contoh dan teladan panutan kita, Baginda Rasulullah Saw?

Perjalanan Nabiyullah Muhammad saw adalah sebuah cermin keberhasilan yang dibangun dengan pondasi kejujuran, sehingga kejujurannya yang tanpa cacat dan cela dari masa kecilnya, ketika beliau remaja, hingga periode kerasulannya, melahirkan sebuah penghormatan dari kaumnya dengan memberi beliau “Al Amin – terpercaya”.

Ketika kita berkata dan berlaku jujur hari ini atau saat ini, mungkin kita tidak secara langsung merasakan manfaat kejujuran kita saat itu juga, tapi harus diingat, bahwa kejujuran adalah sebuah investasi besar bagi tatanan bangunan keberhasilan kita. Jujur adalah saham yang ditanam yang akan menghasilkan timbal balik yang jauh lebih menguntungkan dari segi apapun, baik itu keberhasilan usaha kita didunia, maupun kehidupan kita diakherat kelak.

Sebuah contoh kecil adalah seorang karyawan yang jujur, jujur pada dirinya, pada atasanya, dan pada Tuhannya, akan bekerja sesuai dengan job description dengan atau tanpa ada atasan yang mengawasinya, karena ia tak ingin membohongi dirinya, karena ia tahu Allah mengawasinya. Yang terjadi kemudian adalah ia akan menjadi seorang karyawan yang berkomitmen terhadap pekerjaannya, dan yakinlah, tanpa ada orang yang tahu kejujurannya dalam melaksanakan pekerjaannya sekalipun, Allah akan membalasnya dengan imbalan pahala yang sepadan dengan kejujurannya, dan bonus dari Allah berupa kenaikan gaji atau bonus perusahaan yang lebih besar dari yang lain misalnya, karena Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kita lakukan, tidak perlu menunggu berbuat sesuatu hanya karena ingin dipuji oleh atasan, kejujuran kita dalam memanfaatkan waktu kerja jauh lebih memuaskan dan penuh berkah daripada sekedar pujian dari atasan atau uang lembur yang tak seberapa dari hasil kecurangan kita mengulur-ulur waktu.

Seorang atasan yang berlaku jujur, tidak menyembunyikan dan menutup mata atas kinerja karyawannya, akan melahirkan timbal balik yang positif dari bawahan, yang akan makin mengangkatnya keposisi yang terhormat dan dihormati, lebih dari itu, iapun akan mendapatkan apresiasi khusus dari Allah swt atas kejujurannya dalam bersikap dan menilai bawahan.

Sikap subjektif dalam menentukan promosi atau jabatan hanya akan melahirkan bara dalam sekam, yang suatu saat akan membakar dirinya sendiri, dengan tingkat kepatuhan bawahan yang rendah, mutu kerjaan yang tidak maksimal, yang pada gilirannya akan menggelincirkan dia dari posisi dan jabatannya.

Sekali lagi, kejujuran adalah pangkal keberhasilan

Jujur pada diri sendiri, akan melahirkan sikap syukur pada diri kita, sikap qana’ah dan sikap tidak berlebihan dan melampaui batas. Kadang kita terjebak dalam sebuah jurang kepalsuan, dengan menampilkan sosok diri kita yang tidak apa adanya. Keadaan kita dimanipulasi oleh kita sendiri sedemikian rupa, kita ingin disebut orang kaya, dengan memperbanyak utang dan kreditan, kita ingin tampak cantik dan tampan dengan operasi plastik misalnya, kita ingin disebut atletis dengan mengkonsumsi obat diluar batas atau kita ingin disebut gaul dengan meniru-niru gaya dan kehidupan orang lain, yakinlah, jika kita tidak jujur pada diri kita sendiri, kita yang akan rugi. Yang akan menanggung hutang akibat kita ingin tampil sebagai sosok gaul adalah kita, yang akan dimintai pertanggung jawaban adalah kita, bukan orang lain, jadi untuk apa kita menipu diri kita sendiri? Ingin diperhatikan orang lain? Berapa lama mereka akan terus memperhatikan kita? Setelah itu, kamuplase kita akan terbongkar dengan sendirinya, pada akhirnya kitalah yang akan menanggung akibatnya.

Akan lebih ringan beban dan tanggung jawab kita, ketika kita tampil sebagaimana adanya kita. Kita tidak mungkin sama dengan orang lain, orang lain pun pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri dibanding kita, itu adalah sebuah ketetapan dari yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui, kita tak kuasa merubahnya
Sekali lagi, kejujuran adalah pangkal kebahagiaan

Jujur kepada Allah...bukan berarti Allah tidak mengetahui apa yang kita lakukan, justru kita yang merasa Allah seolah-olah tidak melihat dan mendengar apa yang kita lakukan dan apa yang kita ucapkan. Kekerdilan kitalah yang merasa kita bisa “menipu” atau “membohongi” Allah;

8. Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian[22]," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
10. Dalam hati mereka ada penyakit[23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (Al Baqarah:8-9)

[22] Hari kemudian ialah: mulai dari waktu mahluk dikumpulkan di padang mahsyar sampai waktu yang tak ada batasnya.
[23] yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.

Demikian kata Allah, hanya orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit sajalah yang merasa bisa menipu Allah, padahal mereka hanya akan menipu dirinya sendiri. Pengakuannya bahwa mereka beriman kepada Allah dan amal perbuatan yang dilakukan hanya untuk menipu mata orang-orang disekitarnya, atau bahkan hendak menipu Allah, sama sekali tidak merugikan siapapun, apalagi sampai merugikan Allah. Dirinyalah yang akan menanggung akibat kemunafikannya, didunia ini dan lebih-lebih diakherat kelak.

Kedustaan hanya akan berpangkal pada kehancuran, hanya akan menjadi bom waktu, hanya akan menjadi bara dalam sekam, yang setiap saat akan mengancam kita dengan ledakan kehancuran. Sebaliknya kejujuran akan mengantar kita pada puncak tertinggi tatanan bangunan keberhasilan.

Semoga kita dijadikan Allah “golongan yang sedikit dan langka”, yaitu orang-orang yang mau berkata dan berbuat jujur, Amin.

Wassalam

Desember 27, 2006.

No comments:

Post a Comment