Friday, February 16, 2007

JANGAN LATAH

Latah adalah kebiasaan menirukan perilaku orang lain, baik itu ucapan atau tindakan seseorang yang berada disekitarnya. Kasus orang yang mengidap “latah” ini konon sebagian besar terjadi dikawasan Asia Tenggara, khususnya dari rumpun melayu, karena kebiasaan orang-orang dikawasan ini dan rumpun melayu, karena kebiasaan “latah” sangat jarang ditemui dikawasan eropa misalnya, dan juga jarang ditemukan pada rumpun yang lain.

“Latah” mulanya merupakan perbuatan “iseng”, menirukan perkataan dan perbuatan orang lain, mulanya kadang hanya sekedar untuk mengejek atau untuk guyon, tapi ketika kebiasaan itu berulang dan berulang, kemudian kebiasaan itu menjadi latah. Kalau dalam fase awal orang yang menirukan perkataan dan perbuatan orang lain dengan kesadaran penuh dan dalam kontrol dirinya, dalam fase kronis, sipeniru ini menjadi tidak bisa lagi mengontrol kebiasaannya untuk menirukan gerakan, ucapan, dan perbuatan seseorang yang didengar atau dilihatnya, dimanapun dan kapanpun, apapun ucapan yang didengarnya, bagaimanapun gerak yang dilihatnya, pada fase ini seseorang dengan tidak sadar akan menirukan ucapan dan gerakan tersebut.

Latah bisa menyerang siapa saja, tua, muda, laki-laki dan perumpuan, bahkan pada sebagian kasus, latah juga menjangkiti anak-anak dan orang muda usia.

Selalu ada dua sisi dalam segala sesuatu.

Latah, bagi sebagian orang justru menjadi trade mark tersendiri, sehingga dengan kebiasaan latahnya itu, mereka bisa mengais banyak uang, contoh nyatanya adalah ada banyak kalangan komedian kita yang menjadikan latahnya sebagai bahan “jualan” mereka, dan mereka cukup sukses dengan latahnya.

Pada sisi lain, latah justru sangat merugikan, terutama dikalangan anak-anak muda dan kalangan birokrasi, kebiasaan ini bisa mengurangi citra dan image dirinya.

Kita, kalau tidak semuanya, mungkin sebagian termasuk orang-orang yang “latah”.

Dalam berpakaian misalnya, kita banyak sekali ikut-ikutan mode, kita menjadi latah untuk mengenakan pakaian yang dipakai orang lain, karena trend-lah alasannya, karena dipakai orang bekenlah dan lain sebagainya. Padahal belum tentu pakaian yang sangat indah dikenakan selebriti dipanggung misalnya, lalu kemudian menjadi pas juga buat kita. Pakaian ketat, U can see, pakaian yang memamerkan sebagian aurat, mungkin “pantas” dikenakan oleh artis-artis dari barat sana, tapi ketika itu dikenakan oleh wanita-wanita muslimah, justru akan menjadi sebuah ironi.

Gaya hidup misalnya, pergaulan bebas, free seks, perkawinan beda agama, juga merupakan contoh lain yang banyak ditiru oleh orang-orang yang latah. Mungkin, sekali lagi mungkin gaya hidup seperti itu “wajar” bagi mereka, tapi menjadi gaya hidup yang “kurang ajar” bagi kita yang memegang teguh aturan, norma dan agama.

Kita kadang terjebak atau bahkan terkadang kita sendiri menceburkan diri untuk menjadi latah, ikut-ikutan, sehingga kita kerap mengorbankan identitas dan jati diri kita yang sebenarnya.

Kafir dan Muslim jelas beda, kita tidak bisa ikut-ikutan gaya orang-orang yang tak beragama untuk dijadikan rujukan kita yang mengaku beragama.

Barat dan Timur jelas dua kutub dan kultur yang berbeda, kita tidak harus menelan dan mengangap semua yang datangnya dari barat itu cocok dan lebih bagus dari kita.

Islam dan Non Islam jelas beda, Allah Tuhan kita, Muhammad SAW Nabi kita, Al Qur’an kitab kita, Ka’bah kiblat kita, jelas beda dengan orang-orang yang menuhankan berhala, jelas beda dengan orang yang menganggap Nabi sebagai tuhannya, jelas beda dengan orang-orang yang membaca kitab karangan manusia, dan kita, sekali lagi tidak boleh kemudian menjadi ikut-ikutan dan latah meniru cara peribatanan mereka, mengikuti apa kitab mereka, meniru mengkultuskan nabi mereka, karena kita memang beda.

Masak sih kiat harus ikut-ikutan keneraka hanya karena kita ikut-ikutan gaya mereka.

masak sih kita harus mengorbankan jati diri dan identitas kita, hanya karena kita ingin disebut anak gaul.

Masak sih kita harus mengorbankan aqidah kita karena orang lain ramai-ramai pindah agama

Masak sih kita harus ikut-ikutan tidak shalat, karena rekan dan boss kita tidak shalat

Masak sih kita harus ikut-ikutan tidak puasa karena teman kita tidak puasa

Masak sih kita harus ikut-ikutan valentine yang jelas-jelas tidak ada tuntunan dan haditsnya.

Masak sih kita harus ikut-ikutan bermaksiat, ketika kemaksiatan merajalela

Masak sih kita harus ikut edan, ketika jaman ini mulia “edan”

Masak sih kita begitu? Sungguh sebuah ironi jika kita harus menjadi korban karena gara-gara kita latah.

Masih berkaitan dengan soal latah dan kaitannya dengan kepedulian kita dengan cara membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah banjir kemarin, semoga bukan karena kita ikut-ikutan dan latah, karena orang lain berbuat demikian. Semoga apa yang kita lakukan sekarang hanya karena Allah dan untuk Allah.

Bagaimana cara membuktikan bahwa kita tidah latah dan hanya ikut-ikutan membantu?

Pertama, apa yang kita lakukan sekarang harus ada kelanjutannya, seperti pernah ditulis dalam “Semoga tidak hanya sampai disini” kemarin, masih ada dan bahkan mungkin masih jauh lebih banyak lagi tugas yang menanti uluran tangan dan karya nyata kita.

Kedua, kita tidak “hanya” mau berbagi ketika kita dalam keadaan lapang. Sumbangan kita 100ribu kala kita memiliki satu juta, akan sangat berbeda dengan sumbangan kita yang 10ribu ketika kita hanya punya 20ribu misalnya,

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imran: 134)

Ketiga, kita akan melihat dampak dari apa yang sudah kita lakukan. Perbuatan baik yang dilandasi keikhlasan, akan dibalas Allah dengan gugurnya dosa dan juga akan menjadi vitamin bagi jiwa kita untuk terus berbuat sesuatu yang lebih baik dan lebih berharga bagi diri kita dan sesamanya.

Sekali lagi, jangan latah, kita diciptakan dengan keunikan tersendiri yang menjadi identitas kita, tidak perlu silau dengan sesuatu diluar kita, justru kita harus bersyukur bahwa Allah telah menjadikan kita sebagai satu-satunya “kita”. Kekurangan dan kelebihan kita adalah merupakan modal kita yang tidak dimiliki orang lain, jadilah diri sendiri, bukan dengan menjadi orang lain.

Wassalam

Februari, 14, 2007

No comments:

Post a Comment