Friday, February 23, 2007

EMPAT SEHAT, LIMA SEMPURNA

Prof Poerwo Soedarmo, seorang pakar gizi nasional, pada sekitar tahun 1950-an membuat sebuah slogan "Empat Sehat Lima Sempurna" berisikan lima jenis makanan pokok yang sehat yang harus dikonsumsi setiap orang untuk mencapai tingkat penemuhan akan kebutuhan gizi bagi perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, yaitu: (1) makanan pokok, (2) lauk-pauk, (3) sayur-sayuran, (4) buah-buahan, dan (5) susu.

Kelima kelompok makanan ini, idealnya, harus terpenuhi semuanya, karena kelima-limanya saling menunjang dan memiliki keterkaitan erat bagi tercapainya tingkat kesehatan seseorang.

Makanan pokok, seperti nasi, gandung, jagung dan jenis makanan pokok, baru memenuhi kebutuhan karbohidrat saja, sementara Lauk-pauk seperti daging, ikan, dan telor merupakan sumber protein dan energi. Sayur-mayur seperti wortel, tomat, bayam dan lainnya merupakan sumber vitamin, dan susu, kaya akan kandungan gizi dan vitamin, juga merupakan unsur penting yang diperlukan tubuh.

Orang yang mampu memenuhi standar “Empat sehat lima sempurna” ini, memiliki potensi pertumbuhan dan perkembangan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak dapat memenuhinya atau hanya sebagian saja yang terpenuhi.

Rukun Islam juga ada lima Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan menunaikan Ibadah Haji ke Baitullah. Kelima Rukun ibadah utama dalam Islam ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan antara satu dan lainnya.

Syahadat, merupakan unsur pokok bagi kokohnya tatanan ibadah sesudahnya. Tidak akan ada orang yang mampu melaksanakan shalat dengan benar sesuai dengan syari’at dan sesuai dengan fungsi dan tujuan shalat yang benar, kalau pondasi syahadatnya sedemikian rapuh.

Bagaimana mungkin seseorang yang tengah melaksanakan shalat mampu berdialog dengan Rabb-nya, sementara ia belum mampu menafi’kan ilah-ilah lain selain Allah, sehingga tidak heran kita masih sering mengalami hal-hal yang seharusnya tidak kita alami dalam shalat. Kita ingat pekerjaan, ingat masalah, ingat anak, ingat utang, ingat mobil yang lagi rusak, ingat tagihan kartu kredit dan masih banyak ingatan yang tiba-tiba datang menyergap kita ketika kita shalat, salah satu penyebabnya adalah “Laa ilaha illallah” kita belum mencapai tingkatan yang kokoh, dan benar, sehingga dengan gampang konsentarsi shalat kita menjadi terganggu karena hal-hal “sepele” tadi.

Shalat sebagai tiang agama, tidak mungkin membangun tiang tanpa pondasi yang kokoh sebagai penunjangnya, pondasi saja, tanpa ada tiang yang akan menyangga struktur ibadah lain, juga belum merupakan sebuah kesempurnaan. Shalat yang dibangun diatas pondasi yang benar, akan mampu menjadikan orang yang melaksanakannya terproteksi dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sebaliknya justru akan terdorong untuk melakukan berbagai aktivitas ibadah lain sebagaimana diajarkan dalam shalatnya.

Seorang yang mendirikan shalat dengan benar adalah orang yang mampu memaknai Iftitah sebagai sebuah pelajaran loyalitas kepada sang pencipta, yang pada gilirannya menjadi loyalitas kepada pekerjaan dan kepada sesama.

Seorang yang mendirikan shalat dengan benar adalah orang yang demikian menghargai waktunya, sebagaimana yang dituntut oleh shalat,

Orang yang mendirikan shalat dengan benar adalah orang yang mampu bekerja sama, orang yang mendirikan shalat adalah orang yang bertanggung jawab, tahu diri dan mampu menempatkan diri pada posisi dan porsi yang benar dimata Allah, ditengah manusia, dan ditengah-tengah lingkungannya.

Zakat dan sedekah, adalah ibadah yang senantiasa dikaitkan dengan kesempurnaan shalat seseorang. Belum benar shalatnya, kalau ia masih pelit dan kikir dalam membelanjakan harta dijalan Allah. Belum sempurna Shalatnya kalau kita masih tertawa dimeja makan, sementara tetangga kiri kanan kita menjerit kelaparan, belum sempurna shalatnya, kalau kita masih tak peduli dengan anak yatim, fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Puasa, secara fungsi merupakan ibadah untuk melatih menahan diri (nafsu) kita – Tarbiyatulil iradah, merupakan sarana pelatihan bagi ketaatan kita – Tarekatulil Malaikat, sebagai sarana Tarbiyatul lil ilahiyah – pendidikan dan penanaman sifat-sifat ketuhanan disamping sebagai sarana pembersihan diri – Tazkitunannafs, sehingga orang yang melakukan shaum dengan benar adalah orang yang mampu mengendalikan diri dan nafsunya, orang yang senantiasa taat kepada tuhannya, orang yang sabar, pemaaf, berkasih sayang, toleran sebagai pengejawantahan sifat-sifat ketuhanan yang dilatih selama menjalankan puasa.

Ibadah haji adalah puncak dari rangkaian ibadah, ibarat orang kuliah, dari tingkat satu, dua, tiga, empat dan akhirnya diwisuda dengan penganugerahan gelar “haji” sebagai salah satu penghormatan Allah didunia, selain nanti Surga-Nya di Akhirat terhadap hamba-hamba-Nya yang telah menjalankan keempat rukun lainnya dengan baik dan benar.

Akan beda sarjana yang ijazahnya dapat ngemplang, dengan sarjana yang benar-benar menapaki semester demi semester, tingkatan demi tingkatan, pasti jauh bedanya.

Pun dengan haji, akan beda Haji yang telah memiliki pondasi syahadat yang benar, shalat yang benar, zakatnya juga benar dan lulus ujian ramadhan, dengan haji yang berangkat ketanah suci hanya untuk mendapatkan gelar semata.
Mungkin sama dimata manusia, bahwa ia pergi ketanah suci bersama rombongan lain, tapi pasti akan beda dimata Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar segala isi hati.

Jadi Kokohkan pondasi dasar yang empat – Syahadat – Shalat – Zakat – Puasa kemudian kita sempurnakan dengan yang kelima – Ibadah Haji – Empat Sehat, Lima Sempurna, Insya Allah amiin.

Wassalam

Februari, 23, 2007

No comments:

Post a Comment