Monday, February 19, 2007

Sapu harus bersih

Apa yang terbersit dalam pikiran kita, ketika kita melihat saudara kita membersihkan dan menyapu lantai tiap hari?

Ketika kita hendak membersihkan lantai dengan sapu, yang pertama harus kita lakukan adalah kita harus memastikan terlebih dahulu bahwa sapu yang akan kita pakai benar-benar bersih, agar menghasilkan lantai yang bersih pula. Ketika kita menyapu dengan sapu yang kotor, kena olie misalnya, bukan hanya lantai yang tidak bersih, tapi justru menimbulkan kotoran baru yang jauh lebih kotor.

Ada hal lain yang menarik yang terbersit dalam percakapan penulis didalam mobil dengan seorang teman mengenai “urutan” pelajaran yang diberikan Luqman kepada anaknya, dengan bagaimana “urutan” proses pembersihan lantai diatas yaitu;

- Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah
- Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya
- Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya)
- Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Ada sebuah hikmah besar dibalik urutan yang sedemikian sempurna diatas. Sekedar buah pikiran yang mungkin sangat dangkal kalau penulis berpikir begini;

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar (Amar Ma’ruf nahi Munkar)”, merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap individu muslim selain juga merupakan salah satu syarat atau ciri “Khairuu Umat - umat terbaik, yaitu ketika kita umat Islam melaksanakan amar makruf nahi munkar.

Menjadi menarik ketika tugas melaksanakan Amar Makruf nahi munkar itu diletakan setelah kita Tidak menyekutukan Allah (Luqman:13), Berbuat baik kepada orang tua (Luqman: 14~15), jujur dan bertanggung jawab, yang terbentuk dari kesadaran bahwa apapun yang kita lakukan tidak terlepas dari pengawasan Allah (Luqman:16), mendirikan shalat, baru kemudian Amar Makruf Nahi munkar (Luqman:17).

Mungkinkah kita ber-Amar Makruf nahi munkar sementara shalat kita belum “bener”?

Salah satu fungsi shalat adalah mencegah orang yang mendirikannya terpelihara dari perbuatan keji dan munkar, untuk itu untuk mengukur kualitas kebenaran shalat kita, salah satunya dapat diukur dengan tingkat kemampuan kita untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang munkar.


45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Ankabut:45)

Belum benar shalatnya, ketika pulang shalat bawa sandal orang lain

Belum benar shalatnya, ketika masih menggunjingkan orang lain

Belum benar shalatnya, ketika masih kikir untuk menafkahkan rizkinya dijalan Allah

Belum benar shalatnya, ketika masih cuek mendengar rintihan lapar tetangganya

Belum benar shalatnya, ketika masih merasa dirinya “paling”, bukankah takbir dalam shalat kita untuk mengingatkan kita akan kebesaran Allah, sehingga tidak patut bagi kita untuk merasa “besar”.

Belum benar shalatnya ketika masih berjalan angkuh dimuka bumi, bukankah sujud shalat mengingatkan siapa kita, yang berasal dari sari pati tanah dan insya Allah akan kembali ketanah

Belum benar shalatnya, ketika tidak membantu orang yang membutuhkan, bukankan ruku’ shalat kita mengajarkan untuk menopang orang yang memang memerlukannya

Belum benar shalatnya, orang yang masih berkata-kata kotor dan keji, bukankah bacaan tasbih shalat kita mengajarkan kesucian ucapan dan perbuatan

Belum benar shalatnya, ketika kita masih cuek dengan kebersihan, bukankah wudlu sebelum shalat mengajarkan kita untuk senantiasa bersih.

Belum benar shalatnya, ketika kita belum istiqomah dalam beramal, bukankah bangun dari sujud mengajarkan keistiqmahan

Belum benar shalatnya, ketika kita belum bisa bertanggung jawab, bukankah bangun dari ruku’ mengajarkan kita kontinuitas dan tanggung jawab

Belum benar shalatnya, ketika kita masih minta pada dukun, bukankah iftitah kita merupakan ikrar hidup mati kita untuk Allah semata

Belum benar shalatnya, ketika banyak melalaikan waktu shalat, bukankah shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin.

Jika shalat kita belum benar, belum mampu menjadikan kita terhindar dari hal-hal yang kurang baik diatas, bagaimana mungkin kita bisa mengajak orang lain untuk beramar makruf dan kemudian meninggalkan yang munkar?

Lalu apa kaitannya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua?

Bagaimana mungkin kita bisa mengajak orang lain untuk beramar makruf dan nahi munkar, sementara perilaku kita kepada orang tua kita, mahluk yang telah dijadikan oleh sebagai syariat keberadaan kita dimuka bumi ini masih sedemikian jelek?

Bagaimana mungkin kita mengajak orang lain untuk bersedekah kepada orang lain, sementara kita sendiri tidak pernah membantu orang tua kita

Bagaiman kita akan menyuruh orang lain hormat-menghormati, ketika kita masih berlaku ponggah terhadap kedua orang tua kita

Bagaimana kita mengajak orang berkasih sayang, sementara kita sendiri sedemikian “jauh” dengan orang tua

Bagaimana kita akan mengajak orang lain untuk bersyukur terhadap nikmat Allah kalau kemudia kita tidak bisa berterima kasih kepada orang tua kita, ibu yang telah mengandung, bapak yang telah memberi nafkah kepada kita.

Akan halnya dengan “tidak menyekutukan Allah, ditempatkan dalam deretan teratas dalam metode pendidikan Islam, sebelum kita diperintahkan untuk beramar makruf nahi munkar?

Inti dakwah dari setiap nabi adalah untuk meng-esa-kan Allah dan tidak menyekutukannya dengan apapun, dan bahwa menyekutukan atau menyetarakan Allah adalah sebuah kedhaliman yang sangat besar,

Lalu bagaimana mungkin kita mengajak orang lain berbuat baik dan tidak berlaku dhalim, sementara kita sendiri masih melakukan kedhaliman yang mungkin jauh lebih besar dari orang yang kita ajak, misalnya menyetarakan Allah dengan berhala, dengan patung atau kita masih rela mengabdi pada pangkat dan kedudukan dari pada mengabdi kepada Allah, kita masih dengan sadar menjadikan harta dan kekayaan kita tuhan-tuhan lain disamping Allah. Misalnya waktu kita untuk Allah justru sisa-sisa waktu kita untuk menghitung-hitung dan membanggakan harta kita, baru kemudian kita shalat, atau habis mengelus-elus mobil mulus kita, baru kemudian shalat diakhir waktu, dan lain sebagainya.

Meminjam rumus yang diajarkan oleh Aa Gym, “Mulailah dari diri sendiri”, untuk melakukan hal yang baik dengan benar, sebelum kita mengajak suadara kita untuk melakukan hal yang sama dengan kita.

Salah satu kunci keberhasilan dakwah atau amar makruf nahi munkar adalah adanya integritas dari sipelakunya.

Ini yang dicontohkan baginda Rasul, bagaimana beliau menjadi orang pertama yang melakukan apa yang hendak disampaikan kepada umatnya. Ketika beliau mengajak orang untuk pergi berjihad dimedan laga, beliaulah orang yang paling depan dalam peperangan, ketika beliau mengajarkan kesabaran, beliaulah orang yang paling sabar dan sebagainya, sehingga sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa beliaulah satu-satunya pemimpin yang mampu merubah sebuah peradaban jahilayah menjadi peradaban yang penuh aklaq dan berbudi dalam kurun waktu 23 tahun masa keRasulannya, kuncinya satu, Integritas, yaitu menjadikan dirinya sebagai teladan, bukan hanya sebagai seorang NATO (No Action Talk Only).

Hasan Al Basri, pada suatu ketika didatangi oleh para budak yang mengadukan nasib mereka. Para budak itu meminta Hasan Al Basri untuk mengeluarkan fatwa bahwa membebaskan budak adalah sebuah kebjikan yang sangat luar biasa pahalanya, dengan harapan para tuan mereka akan membebaskan mereka dari perbudakan.

Hasan al Basri menjawab” Insya Allah”.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tapi Hasan Al basri belum juga mengeluarkan fatwa yang diminta oleh para budak itu. Hingga pada sebuah khotbah Jum’at Hasan Al Basri menyampaikan fatwa bahwa memerdekakan budak adalah sebuah kebajikan yang sangat besar pahalanya disisi Allah Swt.

Demi mendengar fatwa Hasan al Basri, para tuan-tuan yang memiliki budak itu dengan segera memerdekakan budak-budak yang mereka miliki, hingga budak-budak yang kemarin lalu datang dan mengadu kepada Hasan Al Basri menjadi orang-orang merdeka.

Tapi tetap saja para budak itu mengeluh kepada Hasan al Basri, “Syeh, kenapa anda baru mengeluarkan fatwa itu sekarang? Bukankah kami memintanya sudah cukup lama?”

Dengan bijak Hasan al Basri menjawab, “ Saya baru dikarunia Allah rezeki untuk membebaskan budak yang saya miliki jumat kemarin, lalu saya bebaskan budak saya, baru saya mengeluarkan fatwa itu”.

“Seandainya saya langsung mengeluarkan fatwa saat kalian memintanya kepada saya dulu, pasti para tuan itu akan mempertanyakan kenapa saya tidak membebaskan budak saya dulu, baru kemudian memberikan fatwa, tapi ketika itu saya belum mempunyai tebusan untuk budak saya” Sambung Hasan Al Basri.

Sekali lagi, Integritas (adanya penyatuan antara ucapan dan perbuatan) dan keteladan adalah menjadi kunci keberhasilan dakwah dan amar makruf nahi munkar.


Ini tidak berarti kita harus menunggu sampai shalat kita benar-benar “sempurna” dulu baru kemudian kita mengajak orang lain untuk shalat, sama sekali bukan begitu, ini juga tidak berarti menanggalkan kewajiban dakwah kita ketika kita belum mampu bertauhid secara benar dan membangun hubungan yang harmonis dengan kedua orang tua kita dulu, ini lebih cenderung untuk mengajak setiap kita senantiasa memperbaiki kualitas shalat kita, meningkatkan kualitas keimanan kita dan meningkatkan hubungan harmonis kita dengan orang tua kita, agar kita dapat menjadi dai-dai yang penuh keteladanan dan penuh integritas.

Pada setiap Jum’at khatib selalu berwasiat “ Pada kesempatan ini khotib berwasiat, khususnya untuk diri khotib sendiri dan umumnya bagi hadirin sidang Jum’at yang dimulikan Allah”, itu yang patut kita contoh, bahwa kita harus belajar mendidik diri kita sendiri sambil mengajak orang lain untuk beramar makruf nahi munkar.

Dengan menjadikan diri kita teladan, dengan memberi contoh nyata, sesungguhnya itulah dakwah yang lebih keras gaungnya “Action lauder then speak”

Semoga Allah menjadikan kita contoh-contoh yang patut bagi sebanyak mungkin orang disekitar kita, amin

Wassalam

January 17, 2007

No comments:

Post a Comment