Monday, February 19, 2007

Burung Beo

Mem-Beo, adalah sebuah ungkapan sindiran yang biasanya ditujukan oleh seseorang yang hanya pandai bicara, tapi tak pernah melaksanakan apa yang dikatakannya, bahkan kadang asal omong dan tidak didasari oleh ilmu dan pengetahuan yang memadai tentang apa yang dibicarakannya, asbun, asal bunyi atau Nato – No Action Talk Only.

Sama dengan Burung Beo, yang pandai mengucapkan berbagai kata-kata yang diajarkan pemiliknya, namun Beo tersebut sama sekali tidak menetahui apa yang dikatakanya.

“Alhamdulillah, alhamdulillah....”

“Assalamu’alikum, assalamu’alaikum....”

“Terima kasih, terima kasih.......”

“Jihad, jihad, jihad.....”

“Selamat datang, selamat datang ......”

Dan masih banyak lagi kata-kata yang bisa ditirukan burung Beo. Ia sangat pandai bersilat lidah, karena memang itu yang diajarkan oleh pemiliknya. Kemampuan Beo adalah sebuah habitual action, perilaku yang dilakukan berulang-ulang sehingga membentuk sebuah kebiasaan.

Bagaimana dengan kita?

Apakah kita shalat karena sebuah kebiasaan saja? Karena ikut-ikutan? Atau karena malu kepada atasan atau bawahan kita? Atau karena “dari sono”nya sudah begitu? Sehingga kita melaksanakan shalat tidak lebih dari sekedar ritual penggugur kewajiban semata, tanpa tahu makna dan hikmah yang terkandung dalam perintah shalat. Sehingga tak jarang sebagian kita melupakan esensi shalat sebagai sarana untuk membentuk pribadi yang mampu menjadikan orang yang mendirikannya, sebagai orang yang terproteksi dari perbuatan keji dan munkar.

Pernah suatu ketika dalam siaran Radio, seorang ibu menanyakan perihal ini;

“Pak Ustadz, benar tidak sih ayat yang menyatakan bahwa shalat itu mampu menjadikan orang yang melaksanakannya terhindar dari perbuatan keji dan munkar?”

“Ya” Jawab si Ustadz pendek.

“Pak Ustadz, tetangga sebelah rumah saya, seorang Haji yang hampir setiap waktu shalat berjamaah dimasjid, tapi kok kelakuannya malah jauh dari makna ayat diatas, Pak Haji itu hampir tidak pernah bergaul dengan lingkungan sekitarnya, tidak pernah datang kalau diundang, bahkan pelit sekali kalau dimintai sumbangan dan sedekah, jadi gimana Pak Ustadz.....?”

Pak Ustadz menjawab “ Ibu, tidak ada yang salah dengan ayat ini;

                        
45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

“Bahwa orang yang mendirikan shalat denga ikhlas dan benar insya Allah akan menjadi orang yang terproteksi dari perbuatan keji dan munkar “ Sambung Pak Ustadz.

“Kalau Pak Haji tetangga ibu itu masih seperti apa yang ibu katakan tadi, mungkin ia baru melaksanakan shalat, belum mendirikannya, sehingga ia belum mampu memaknai bacaan, gerakan dan hikmah yang terkandung didalam shalat.......”

“Atau alangkah baiknya ibu tetap bersyukur kepada Allah karena bertetangga dengan Pak Haji yang rajin shalat berjamaan di Masjid, Ibu bisa bayangkan bagaimana jahatnya Pak Haji tadi kalau ia tidak melaksanakan shalat....” Lanjut Pak Ustadz.

Singkatnya, bukan hanya Pak Haji seperti cerita diatas, mungkin juga kita baru jadi “tukang shalat, belum menjadi Ahli Shalat”

Apakah ucapan syukur kita; “Alhamdulillah” hanya merupakan replek yan tak bermakna apa-apa?

Ungkapan syukur yang dipanjatkan dari lubuk hati yang terdalam, diucapkan dengan penuh keikhlasan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan akan mampu menjadi sarana bagi datangnya nikmat Allah swt;

         •   
7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Kenapa ucapan Alhamdulillah yang kita ucapkan bahkan sampai puluhan kali belum mampu mengundang nikmat Allah yang lebih banyak? Mungkin kita masih seperti burung Beo, baru sekedar mengucapkan, belum mampu mengaplikasikan rasa syukur itu dalam bentuk yang lebih konkret.

Misalnya, ketika mendapat rezeki, ucapkan alhamdulillah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan dan barengi dengan aktivitas sedekah sebagai aplikasi dari rasa syukur itu, misalnya lagi, kita ucapkan alhamdulillah dengan sehat kita, barengi kesehatan itu untuk melakukan amal ibadah, misalnya lagi ilmu yang ada pada kita, ucapkan Alhamdulillah, barengi dengan mengamalkan dan mengajarkannya, Insya Allah ketika rasa syukur itu diungkapkan dengan benar, nikmat Allah yang jauh lebih besar akan datang pada kita.

Bagaimana Allah akan memberi nikmat yang besar pada kita, kalau nikmat yang “kecil” saja kita tidak bisa mensyukurinya? Jangan-jangan kita malah akan melampaui batas ketika diberi sesuatu yang berlebih, pasti Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kita.

Syukuri yang ada pada kita sekarang, karena tidak semua yang kita harapkan akan bisa kita capai

Lalu apakah “jihad” kita juga hanya sekedar gagah-gagahan?

Salah satu makna Jihad adalah Kesungguhan dalam melaksanakan sesuatu”. Salah satu jihad yang besar adalah jihad memerangi hawa nafsu,memerangi sifat-sifat kesetanan kita (Syaitoniyah), sifat kebuasan dan sifat ketamakan yang ada pada diri kita.

Bukankah perang lahir akibat dari gagalnya kita memerangi sifat sombong dan kedengkian yang ada dalam diri kita?

Bukankah korupsi, otoriterisme dan diktator juga lahir dari kegagalan kita mengalahkan sifat kebuasan dan ketamakan kita?

Jika setiap kita “berjihad” – bersungguh-sungguh berjuang mengalahkan sifat tidak baik dalam diri kita, insya Allah tidak ada perang, insya Allah tidak ada korupsi, tidak ada gontok-gontokan, lalu kenapa sekarang semua itu masih terjadi?

Lagi, kita masih sekedar “mem-beo”, belum bersungguh-sungguh dalam berjihad.

Pun ucapan salam kita, ucapan terima kasih kita, akan jauh lebih bermakna kalau semuanya itu bukan sekedar ucapan, bukan sekedar mem-Beo, tapi lahir dari ketulusan dan keikhlasan lubuk hati yang terdalam.

Ketika itu terjadi, kita akan menjadi “orang”, yang ucapan dan tindakannya seiring sejalan, Amiin.

Wassalam

No comments:

Post a Comment