Friday, February 16, 2007

Rem√

Dalam berkendara dengan kecepatan yang tinggi, satu hal yang harus kita perhatikan adalah kualitas rem kendaraan kita. Kualitas rem yang baik, akan sangat membantu menghindarkan kita dari kejadian yang tidak kita inginkan, tabrakan atau tergelincir misalnya.

Kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengendarai kendaraan mereka seperti yang kita inginkan, misalnya, dijalan tol, kita, secara pribadi pasti menginginkan truk dan kendaraan besar berjalan dijalur lambat, kemudian kendaraan kecil lainnya berjalan dengan kecepatan yang sesuai dengan batas toleransi kecepatan yang diperbolehkan, tidak ugal-ugalan, tidak mengerem mendadak, tidak berhenti dibahu jalan, tidak menyalip sebelah kiri dan lainnya, itu keinginan pribadi kita, yang sekali lagi tidak bisa paksakan kepada pengemudi lain, yang memiliki latar belakang yang berbeda, karakter yang berbeda, kepentingan yang berbeda, kendaraan yang berbeda dan kualitas mengemudi yang berbeda dengan kita. Adalah konyol jika kita hendak bepergian dengan kendaraan dijalan raya kemudian kita mengharapkan semuanya berjalan dengan keinginan kita, baru kita jalan, hampir mustahil, meski bukan tidak mungkin.

Jadi apa yang harus kita lakukan untuk bisa berkendara dengan nyaman?

Yang pertama yang harus kita lakukan adalah kita sendiri yang harus memulai menjalankan kendaraan dengan benar, berkendara dijalur yang benar, dengan kecepatan yang benar dan sesuai dengan rambu-rambu dan tata aturan yang berlaku dengan tetap waspada terhadap pengendara-pengendara “nakal” yang ada disekitar kita.

Yang tak kalah penting adalah kita mengetahui kondisi kendaraan kita sendiri, seperti diuraikan diatas tadi, periksa ban, kemudi dan sistem pengapian dan fungsi rem dengan teliti dan benar.

Analogi diatas agak sedikit kepanjangan memang, karena sebenarnya penulis ingin menggambarkan bahwa perjalanan hidup kita hampir sama dengan lalu lintas dijalan raya tadi. Persis deskripsi penulis mengenai pengemudi kendaraan yang tidak bisa kita paksakan untuk mengikuti keinginan kita seperti diatas, dalam kehidupan sehari-haripun kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada orang lain, kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk berperilaku seperti kita, yang menurut kita sudah baik, kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk bertutur kata seperti kita, yang menurut kita sudah bijak, kita juga tidak bisa memaksakan orang lain untuk berpikiran sama dengan kita, karena memang kita tak punya hak mutlak untuk membatasi hak orang lain.

Bahkan tak jarang dalam keseharian kita berhadapan dengan orang-orang yang menurut kita aneh, ada orang yang tak mau shalat, ada orang yang enggan membayar zakat, ada orang yang dengan santai menunjukan dia tidak puasa dan lain sebagainya, tapi sekali lagi yang paling mungkin kita lakukan adalah kita sendiri dulu menjalani roda kehidupan ini dengan benar, kebenaran yang dibenarkan secara syari’at, kebenaran yang tidak berbenturan dengan hakekat dan kebenaran yang akan mampu membawa kita pada tataran hakekat, bukan kebenaran menurut kita pribadi.

Selebihnya kita serahkan kepada Allah swt, karena Dia-lah yang paling berhak untuk menghakimi siapa yang benar dan siapa yang salah, bukan kita, sebagaimana firman-Nya;

128. Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu[227] atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.(Ali Imran:128)

[227] menurut riwayat Bukhari mengenai Turunnya ayat ini, Karena nabi Muhammad s.a.w. berdoa kepada Allah agar menyelamatkan sebagian pemuka-pemuka musyrikin dan membinasakan sebagian lainnya.

Lalu bagaimana upaya kita untuk mengantisipasi “benturan-benturan” yang mungkin dilakukan atau terjadi akibat orang yang ugal-ugalan, berpeilaku menyimpang dan sering “memotong jalan” kehidupan kita?

Kalau tadi penulis menyebutkan fungsi rem kendaraan harus dalam kondisi baik, maka “rem” bagi perjalanan hidup kita adalah “Ilmu dan Iman”.

Kenapa harus dua, Ilmu dan Iman?

Keduanya ibarat rem depan dan rem belakang, yang akan tetap menjadikan laju kehidupan kita stabil, meski kadang harus menghadapi ujian-ujian dari para pengemudi lain.

Ilmu, menjadikan kita mampu mengetahui rambu-rambu mana yang boleh dilewati dan rambu mana yang harus kita hindari. Ilmu menghindarkan kita dari pemahaman-pemahaman keliru tentang urusan duniawi kita dan juga urusan dien kita. Orang yang tidak memiliki ilmu dunia yang memadai, misalnya, akan terombang-ambing ketika menghadapi realitas kehidupan yang seolah-olah serba asing baginya, ia jadi takut melakukan sesuatu yang benar atau justru melakukan sesuatu yang melanggar syari’at tanpa rasa bersalah. Ilmu ibarat suluh dalam kegelapan yang akan memberi cahaya kepada kita untuk dapat memilah dan memilih jalan mana yang harus kita tempuh. Dengan ilmu, kita akan segera mengetahui jika ada lubang sekecil apapun yang menghadang dalam perjalanan kita, ilmu, berfungsi sebagai rem yang akan sangat membantu kita meniti jalan kehidupan.

Iman, adalah ibarat tongkat tempat kita bertelekan padanya ketika gelap dan kegalauan menghadang. Iman adalah penopang kehidupan kita ketika kita terhuyung oleh desakan arus kehidupan yang demikian deras, sehingga kita tidak terhanyut kedalam jurang kehancuran yang dalam. Iman menjadikan kita mampu berdiri kokoh ditengah gunjangan jalan kehidupan yang terjal dan mendaki sekalipun.

Ilmu saja tanpa disertai iman, ibarat rem depan saja yang berfungsi, kemungkinan kita terpelanting masih sangat besar.

Iman saja tanpa ilmu, ibarat rem belakang saja yang befungsi, belum cukup efektif mengantarkan kita mencapai tujuan kita dengan cepat dan selamat.

Dengan suluh Ilmu dan berpegang pada tongkat keimanan, laju kehidupan kita menjadi stabil dan terkendali, sekencang apapun laju kehidupan kita, seramai apapun arus kehidupan kita, kita, Insya Allah dapat menjadikan Ilmu dan Iman sebagai cahaya dan pegangan, sebagai “rem” yang sangat efektif.

Desember 15, 2006

No comments:

Post a Comment