Monday, February 26, 2007

Dari Anak kecilpun kita bisa belajar

“Namanya juga anak-anak”, begitu kira-kira ungkapan yang sering kita dengar dalam keseharian kita, sebagai tanda maklum kita atas kelakuan yang kurang patut yang dilakukan seseorang yang belum mengerti hakekat kebenaran, yang sering kita sebut anak-anak.

Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari perilaku anak-anak disekitar kita untuk mengukur tingkat kedewasaan dan keberagamaan kita; yang terbagi dalam dua kategori posisti dan negatif

1. Positif
- Sifat ingin tahu anak-anak, jika disikapi secara benar, keingintahuan yang besar ini dapat kita arahkan untuk belajar ilmu yang bermanfaat bagi kita

- Jujur dan polos – sudah jelas


2. Sikap “Negatif”

- Suka pamer,

Lihat anak kita, ketika dia memiliki atau mengerjakan sesuatu, dia suka cerita/pamer kepada teman-temanya.

Pun demikian dengan kita, ketika kita shalat yang seharusnya lillahita’ala, kemudian kita merasa bahwa kekhusuan shalat kita karena ingin dilihat orang, itu suatu gambaran kekanak-kanakan kita dalam beribadah.

Ketika kita shaum, yang seharusnya hanya kita dengan Allah saja yang tahu, lantas kita “memamerkan” puasa kita dengan bermalas-malasan dengan alasan lapar dan haus, kita pun harus mempertanyakan kedewasaan kita dalam beribadah. Dalam hal zakat dan shodaqoh, ketika kita masih ingin dilihat dan dipuji orang lain, maka berhati-hatilah, jangan-jangan kita belum dewasa dalam beribadah.

- Harus disuruh, diiming-imigi sesuatu

Lihat anak kita, ketika sudah masuk waktunya untuk mandi, ia tidak segera beranjak untuk mandi, sebelum disuruh oleh orang tuanya atau dibujuk dengan sesuatu yang dia senangi, baru dia mau mandi.

Adakah gambaran ini tercermin dalam ibadah kita? Kita (baru) mau melaksanakan shalat tahajud, misalnya, ketika kita menginginkan sesuatu, harta atau jabatan, atau kalau tidak, kita mau tahajud ketika kita takut dipecat, takut digeser posisinya, takut miskin, dan ketakutan-ketakutan yang kadang tidak berasalan.

Seandainya kita sudah benar-benar dewasa dan menyadari bahwa shalat, zakat,puasa dan ibadah-ibadahnya bukan hanya sekedar kewajiban bagi kita, melainkan sebuah kebutuhan, maka kita akan melaksanakannya dengan senang hati. Shalat misalnya, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa shalat lima waktu adalah pembersih atas dosa-dosa kita, maka siapa orangnya yang menyadari pentingnya kebersihan diri dari dosa, dia akan dengan segera beranjak menuju tempat shalat tepat pada waktunya, bukan menunggu-nunggu hingga akhir waktu.
- Ceplas-ceplos,
Karena kepolosannya, seorang anak mengutarakan apa saja yang ia lihat dan ia rasakan, terlepas dari apakah apa yang diucapkan dan dilakukannya itu pantas atau tidak, menyinggung perasaan orang lain apa tidak.

Saling menasehati adalah sebuah kewajiban, tapi ketika itu disampaikan dengan cara-cara yang kurang bijak (ceplas-ceplos dan menyinggung perasaan), sangat boleh jadi tujuan mulia kita menjadi tersamar oleh kekurangan kita dalam mengemas makna dan tujuan kita. Perlu ketepatan waktu dan cara agar orang lain mau menerima apa yang kita sampaikan.

- Belum tahu malu,

Seorang anak kecil, sering kita lihat dengan tanpa merasa risih memperlihatkan bagian-bagian yang semestinya tertutup rapat. Pun dengan kita, dengan kedewasaan kita, semestinya kita bisa menutupi aurat, dalam pengertian sebenarnya, yaitu aurat yang terdapat dalam jasmani kita, atau dalam pengertian kiasan, untuk menutupi aib kita dan keluarga, sebagaimana Allah menutupi dan mengampuni sebagian besar aib dan dosa kita.

- Suka merengek,

Anak kecil, jika menginginkan sesuatu, suka merengek dan ngambek kalau tidak “dituruti”. Ini adalah “kesalahan” dari sebagian kita, bahwa seolah-olah setelah kita beribadah, kita berhak menuntut Allah dengan keinginan-keinginan kita.

Ibadah kita bukan lagi sebagai bentuk penghambaan, sebagaimana tujuan penciptaan kita, melainkan sebagai sarana “intimidasi” terhadap Allah. Benar Allah memerintahkan kita untuk memohon kepada-Nya, bukan untuk memaksakan kehendak kita terhadap-Nya. Dia-lah yang mempunyai sifat memaksa, bukan kita....

- Tingkat kepedulian yang rendah,

Perhatikan anak kecil yang sedang menikmati permennya, dia tidak akan peduli ketika ada teman atau orang disekitarnya juga ingin permen tersebut, dia tidak peduli dengan sekelilingnya.

Kedewasaan, seharusnya mengantarkan kita pada kesadaran bahwa pada apa yang kita miliki, juga ada hak orang lain yang harus dipenuhi, dengan zakat dan shodaqoh misalnya. Tingkat kepedulian kita terhadap orang lain dan lingkungan kita adalah cermin dari tingkat kedewasaan kita. Seorang ulama mengatakan, bahwa selain rukun Islam dan Rukun Iman yang wajib kita laksanakan dan kita imani, kita juga perlu, kalau tidak mau dikatakan wajib, untuk memiliki satu rukun lagi, yaitu rukun tetangga. Bukankan Nabi pernah berkata “tidak beriman dia, tidak beriman dia, tidak beriman dia” sampai tiga kali, hingga sahabat bertanya “siapa dia yang tidak beriman itu Ya Rosul?”. Nabi menjawab “Mereka orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan tanganya (dan lidahnya?). Demikian pentingnya kepedulian terhadap sesama sehingga tingkat kepedulian kita sangat mempengaruhi kualitas iman kita.

- Seenaknya sendiri,

Pantas atau tidak,benar atau salah, bukan urusan, yang penting “saya”. Itu sifat sebagian anak kecil.

Seseorang yang telah memiliki tingkat kematangan dan kedewasaan, akan selalu mengukur ucapan dan tindakannya dengan tiga barometer. Apakah apa yang akan saya katakan/lakukan sudah sesuai dengan “syariat”, apakah sudah dilakukan dengan “thareqat” yang benar dan apakah ucapan dan tindakan saya mampu mencapai “hakekat” sebagaimana adanya. Orang yang suka bicara dan berbuat seenaknya sendiri, harus kembali meninstropeksi tingkat kedewasaanya.

- Memaksakan kehendak.

”Pokoknya saya mau ini”, itulah ungkapan yang sering kita dengar ketika seorang anak menginginkan sesuatu. Tidak peduli apakah pilihannya tepat atau pantas bagi dirinya, tidak peduli dengan pendapat dan nasehat dari orang tuanya, yang mungkin lebih tahu kepatutan dan kebutuhannya. Itulah kita, yang terkadang memaksakan kehendak dan keinginan kita terhadap anak kita sekalipun...

- Belum tahu tanggung jawab;

Adalah maklum jika seorang anak yang belum dewasa belum memiliki tanggung jawab, baik secara pribadi maupun tanggung jawab kolektif. Tapi jika kita yang sudah memasuki usia hampir setengah abah masih belum memiliki tanggung jawab terhadap syahadat kita, maka kita harus kembali bercermin, benarkah kita sudah dewasa. Kalimat syahadat adalah kalimat yang sarat makna dan mengandung berbagai konsekuensi. Ketika kita berikrar bahwa “tiada ilah yang berhak diibadahi, artinya kita secara akidah dan moral harus bertanggung jawab untuk melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab dan meninggalkan ilah-ilah selainya. Ketika kita berikrar bahwa Muhamad adalah rosul-Nya yang, maka kita harus secara dewasa menjadikan beliau sebagai the only one teladan yang harus kita ikuti.

Itulah sekelumit gambaran dan hikmah yang dapat kita ambil untuk mengukur tingkat kedewassan kita melalui anak kita.

No comments:

Post a Comment