Bagai katak dalam tempurung, itulah sebuah ungkapan atau peribahasa untuk menggambarkan bagaimana kondisi seseorang yang terjebak dalam sebuah kondisi yang tidak memungkin dia untuk melihat dunia luar. Katak yang dalam tempurung hanya tahu tentang tempurungnya saja, tempat dimana dia tinggal, dia tidak tahu bahwa diluar sana dunia terbentang luas lagi ramai. Katak dalam tempurung merasa bahwa ia-lah yang “paling”, katak itu merasa paling pintar, paling tahu, paling berkuasa dan paling-paling lainnya.
Seorang teman pernah mengatakan “ Saya dipesantren 8 tahun, tapi setelah itu, saya seperti orang gagap menghadapi dunia dan kehidupan diluar pesantren, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan ilmu yang saya dapat dipesantren”.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya dikotomi dan kesalahan dalam pemahaman masalah “ilmu”, seolah-seolah ilmu yang harus dipelajari adalah ilmu syari’at saja, ilmu fiqh saja, atau bahasa arab saja, atau ilmu akhirat saja, sementara ilmu fisika, kimia, matematika, akuntansi dan cabang ilmu “duniawi” tidak diperlukan.
Ketika terjadi dikotomi semacam ini yang terjadi kemudian adalah adanya kesenjangan, dia pintar ngaji dan rajin shalat, sementara perutnya lapar, dapurnya tidak ngebul, sehingga pada titik tertentu akan terjadi sebuah ungkapan yang sungguh sangat-sangat salah “ Buat apa saya ngaji dan rajin shalat, toh saya tetap miskin?”
Bukan ngaji-nya yang salah, bukan shalatnya yang tidak benar, tapi ia yang tidak pandai memaknai ilmu, ia tidak pandai memaknai bahwa dunia adalah jembatan menuju akhirat, bahwa dunia adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan akhirat, bahwa kehidupan kita dikahirat kelak juga ditentukan kehidupan kita didunia sekarang, ia bagai katak dalam tempurung.
“Kalau kamu ingin akhirat, maka harus pakai ilmu, kalau kamu ingin dunia, harus pakai ilmu, kalau kamu ingin kedua-duanya, pakai ilmu.
Untuk mengejar negeri akhirat, tentu kita harus belajar ilmu tauhid, ilmu syari’at, ilmu fiqh dan ilmu agama lainnya.
Untuk mengejar dunia, kita tentu harus pandai berhitung dengan belajar matematika dan akuntansi, tentu kita harus pandai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mempelajari ilmunya.
Ketika ilmu agama kita punya, ilmu dunia kita mumpuni, maka itulah orang yang bahagia, didunia dan diakhirat kelak, insya Allah.
77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(al Qasash:77)
Kita, kata Allah, mempunyai bagian untuk menikmati dunia, jadi kenapa kita harus meninggalkanya?
Seorang ulama pernah berkata “ Pada saat kapan kamu beribadah”
“Pada saat saya hidup didunia” Jawab muridnya
“Pada saat hidup yang bagaimana kamu beribadah”
“Pada saat saya sehat” Jawab muridnya
“Bagaimana agar kamu sehat”
“Salah satunya dengan menjaga makanan yang bersih dan baik” Jawabnya lagi.
“Dengan apa kamu mendapatkan makanan yang baik”
“Dengan membelinya dengan uang” Jawabnya.
“Jadi kenapa kamu harus berhenti mencari uang, sementara dengan uang itu kamu bisa membeli makanan untuk menjaga kesehatanmu, dan dengan sehatmu kamu bisa beribadah dengan baik kepada Allah? Papar sang guru.
“Jadi kenapa kamu harus berhenti mencari ilmu dunia (Iptek), jika dengan ilmu itu kamu bisa menghasilkan uang? Tanya sang guru
Shalat, kita perlu pakaian yang layak lagi bersih, bahkan Allah menyuruh kita mengenakan pakaian terbaik yang kita miliki saat kita ke masjid;
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(Al A'raf:31)
Untuk bisa mengenakan pakaian yang indah setiap kemasjid, makan dan minum dengan layak dan memenuhi syarat kecukupan gizi, kita perlu ilmu untuk mendapatkan uang dan membeli keperluan hidup kita.
Zakat, juga memerlukan uang, sedekah juga merupakan aktivitas yang memerlukan uang, “Tangan diatas, lebih mulia dari pada tangan dibawah”
Pergi ketanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima, juga memerlukan uang yang tidak sedikit, sehingga secara simbolik Allah menggambarkan dalam surat Quraisy;
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602].
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah Ini (Ka'bah).
4. Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Ada isyarat bahwa Berpergian pada musim dingin dan panas (Berdagang) dulu, kemudian Menyembah Tuhan (Beribadah).
Yang tidak boleh adalah menempatkan uang, harta dan dunia sebagai tujuan, karena tujuan kita adalah ridha Allah dan kampung akhirat kelak. Seperti artikel terdahulu “Dunia, kelereng didepan mata” itu yang tidak boleh, tempatkan dunia pada proporsi yang benar.
Ada banyak kasus orang yang mempunyai potensi ilmu agama yang sangat bagus, harus banting stir atau terjebak pada kubangan yang menenggelamkan mereka, karena urusan perut.
Pun sebaliknya, ada banyak sarjana yang secara intelektual sangat pandai, tapi ketika kepandaian dan kepintarannya itu tidak diimbnagi dengan pengetahuan dan pemahaman ilmu syari’at dan pengetahuan agama yang benar, mereka terjebak seperti robot yang hanya mentuhankan akal.
Berapa banyak orang pinter keblinger, berapa banyak orang jenius secara intelektual menjadi bangkai berjalan, karena tidak diimbangi dengan pengetahuan syari’at yang memadai.
Sudah banyak kasus dan contoh bagaimana orang-orang yang timpang ilmu pengetahuannya, hanya pinter iptek saja, menjadi monster-monster penghancur umat dan kehidupan itu sendiri.
Mereka menciptakan bom atom, nuklir dan senjata pemusnah massal dengan ilmunya, mereka lupa tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemakmur bumi, bukan malah menghancurkannya.
Berapa banyak orang pinter yang “minteri” orang lain, “minteri” hukum dan undang-undang hanya untuk kepentingannya sendiri.
Sebagai muslim, kita harus kuat secara syari’at dan juga harus tangguh dengan ilmu dan teknologi yang memadai.
Bahkan seorang guru kimia penulis pernah mengatakan bahwa semakin kita tahu ilmu kimia (keduniaan), semakin kita menyadari ada “sesuatu” yang maha, yang tak terjangkau oleh kemampuan akal dan otak kita, yaitu Allah (Ilmu Tauhid).
Pun demikian dengan ilmu komputer, semakin kita mengetahui bagaimana tulisan ini sampai dihadapan anda dengan cara yang “ghaib”, karena penulis tak pernah mengantar tulisan ini kemeja anda, tapi toh anda bisa baca persis seperti yang ada dihadapan penulis sekarang, juga seharusnya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa memang ada sesuatu yang tidak terlihat oleh mata lahiriah kita, tapi demikian nyata, senyata tulisan ini.
Mari kita bekali diri dan keluarga ita dengan Iptek dan Ilmu Syari’at, agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Amiin.
Wassalam
February 28, 2007
Seorang teman pernah mengatakan “ Saya dipesantren 8 tahun, tapi setelah itu, saya seperti orang gagap menghadapi dunia dan kehidupan diluar pesantren, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan ilmu yang saya dapat dipesantren”.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya dikotomi dan kesalahan dalam pemahaman masalah “ilmu”, seolah-seolah ilmu yang harus dipelajari adalah ilmu syari’at saja, ilmu fiqh saja, atau bahasa arab saja, atau ilmu akhirat saja, sementara ilmu fisika, kimia, matematika, akuntansi dan cabang ilmu “duniawi” tidak diperlukan.
Ketika terjadi dikotomi semacam ini yang terjadi kemudian adalah adanya kesenjangan, dia pintar ngaji dan rajin shalat, sementara perutnya lapar, dapurnya tidak ngebul, sehingga pada titik tertentu akan terjadi sebuah ungkapan yang sungguh sangat-sangat salah “ Buat apa saya ngaji dan rajin shalat, toh saya tetap miskin?”
Bukan ngaji-nya yang salah, bukan shalatnya yang tidak benar, tapi ia yang tidak pandai memaknai ilmu, ia tidak pandai memaknai bahwa dunia adalah jembatan menuju akhirat, bahwa dunia adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan akhirat, bahwa kehidupan kita dikahirat kelak juga ditentukan kehidupan kita didunia sekarang, ia bagai katak dalam tempurung.
“Kalau kamu ingin akhirat, maka harus pakai ilmu, kalau kamu ingin dunia, harus pakai ilmu, kalau kamu ingin kedua-duanya, pakai ilmu.
Untuk mengejar negeri akhirat, tentu kita harus belajar ilmu tauhid, ilmu syari’at, ilmu fiqh dan ilmu agama lainnya.
Untuk mengejar dunia, kita tentu harus pandai berhitung dengan belajar matematika dan akuntansi, tentu kita harus pandai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mempelajari ilmunya.
Ketika ilmu agama kita punya, ilmu dunia kita mumpuni, maka itulah orang yang bahagia, didunia dan diakhirat kelak, insya Allah.
77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(al Qasash:77)
Kita, kata Allah, mempunyai bagian untuk menikmati dunia, jadi kenapa kita harus meninggalkanya?
Seorang ulama pernah berkata “ Pada saat kapan kamu beribadah”
“Pada saat saya hidup didunia” Jawab muridnya
“Pada saat hidup yang bagaimana kamu beribadah”
“Pada saat saya sehat” Jawab muridnya
“Bagaimana agar kamu sehat”
“Salah satunya dengan menjaga makanan yang bersih dan baik” Jawabnya lagi.
“Dengan apa kamu mendapatkan makanan yang baik”
“Dengan membelinya dengan uang” Jawabnya.
“Jadi kenapa kamu harus berhenti mencari uang, sementara dengan uang itu kamu bisa membeli makanan untuk menjaga kesehatanmu, dan dengan sehatmu kamu bisa beribadah dengan baik kepada Allah? Papar sang guru.
“Jadi kenapa kamu harus berhenti mencari ilmu dunia (Iptek), jika dengan ilmu itu kamu bisa menghasilkan uang? Tanya sang guru
Shalat, kita perlu pakaian yang layak lagi bersih, bahkan Allah menyuruh kita mengenakan pakaian terbaik yang kita miliki saat kita ke masjid;
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid[534], makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(Al A'raf:31)
Untuk bisa mengenakan pakaian yang indah setiap kemasjid, makan dan minum dengan layak dan memenuhi syarat kecukupan gizi, kita perlu ilmu untuk mendapatkan uang dan membeli keperluan hidup kita.
Zakat, juga memerlukan uang, sedekah juga merupakan aktivitas yang memerlukan uang, “Tangan diatas, lebih mulia dari pada tangan dibawah”
Pergi ketanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima, juga memerlukan uang yang tidak sedikit, sehingga secara simbolik Allah menggambarkan dalam surat Quraisy;
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602].
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah Ini (Ka'bah).
4. Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Ada isyarat bahwa Berpergian pada musim dingin dan panas (Berdagang) dulu, kemudian Menyembah Tuhan (Beribadah).
Yang tidak boleh adalah menempatkan uang, harta dan dunia sebagai tujuan, karena tujuan kita adalah ridha Allah dan kampung akhirat kelak. Seperti artikel terdahulu “Dunia, kelereng didepan mata” itu yang tidak boleh, tempatkan dunia pada proporsi yang benar.
Ada banyak kasus orang yang mempunyai potensi ilmu agama yang sangat bagus, harus banting stir atau terjebak pada kubangan yang menenggelamkan mereka, karena urusan perut.
Pun sebaliknya, ada banyak sarjana yang secara intelektual sangat pandai, tapi ketika kepandaian dan kepintarannya itu tidak diimbnagi dengan pengetahuan dan pemahaman ilmu syari’at dan pengetahuan agama yang benar, mereka terjebak seperti robot yang hanya mentuhankan akal.
Berapa banyak orang pinter keblinger, berapa banyak orang jenius secara intelektual menjadi bangkai berjalan, karena tidak diimbangi dengan pengetahuan syari’at yang memadai.
Sudah banyak kasus dan contoh bagaimana orang-orang yang timpang ilmu pengetahuannya, hanya pinter iptek saja, menjadi monster-monster penghancur umat dan kehidupan itu sendiri.
Mereka menciptakan bom atom, nuklir dan senjata pemusnah massal dengan ilmunya, mereka lupa tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemakmur bumi, bukan malah menghancurkannya.
Berapa banyak orang pinter yang “minteri” orang lain, “minteri” hukum dan undang-undang hanya untuk kepentingannya sendiri.
Sebagai muslim, kita harus kuat secara syari’at dan juga harus tangguh dengan ilmu dan teknologi yang memadai.
Bahkan seorang guru kimia penulis pernah mengatakan bahwa semakin kita tahu ilmu kimia (keduniaan), semakin kita menyadari ada “sesuatu” yang maha, yang tak terjangkau oleh kemampuan akal dan otak kita, yaitu Allah (Ilmu Tauhid).
Pun demikian dengan ilmu komputer, semakin kita mengetahui bagaimana tulisan ini sampai dihadapan anda dengan cara yang “ghaib”, karena penulis tak pernah mengantar tulisan ini kemeja anda, tapi toh anda bisa baca persis seperti yang ada dihadapan penulis sekarang, juga seharusnya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa memang ada sesuatu yang tidak terlihat oleh mata lahiriah kita, tapi demikian nyata, senyata tulisan ini.
Mari kita bekali diri dan keluarga ita dengan Iptek dan Ilmu Syari’at, agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Amiin.
Wassalam
February 28, 2007