Kuda Lumping atau sebagian masyarakat menyebutnya Kuda Kepang, merupakan sebuah kesenian tradisional yang dulu sempat populer dikalangan masyarakat kita, terutama didaerah pesisir pantai Jawa, seperti Cirebon, Indramayu dan sekitarnya.
Kesenian ini merupakan gabungan unsur seni, kekuatan sekaligus rada-rada berbau magis. Bagaimana tidak, seorang pemain kuda lumping menaiki sebuah kuda-kudaan yang terbuat dari Lumping (Kulit- dan karena itu disebut kuda lumping -pen), menari-nari mengikuti irama tetabuhan yang dimainkan oleh para Panjak (Penabuh Gendang tradisional), sambil memakan makanan yang tidak lazim dikonsumsi manusia.
Pemain kuda lumping memakan rumput layaknya kuda, dan bahkan kadang makan pecahan beling, dan hebatnya ia seperti memakan nasi saja layaknya. Bahkan dalam beberapa pertunjukan, pemain kuda lumping itu dicambuk bagian kakinya dengan cambuk yang cukup besar, dan lagi dia tidak merasa sakit atau terlupa.
Satu yang harus digaris bawahi adalah bahwa pemain kuda lumping melakukan semuanya ketika dia tidak sadar, ketika pemain itu tidak sedang menjadi dirinya.
Dua puluh tahun lebih memori tentang kuda lumping itu sedikit demi sedikit memudar, seiring menurunnya popularitas kesenian itu sendiri yang sekarang jarang lagi bisa ditemui.
Kuda Lumping dewasa ini mengalami metoforfosa menjadi sesuatu yang lebih “menyeramkan” dari sekedar makan rumput atau makan beling. Pemainnya pun mengalami pergeseran dari orang pinggiran menjadi orang “kota” yang berdasi. Bahkan mereka, para pemain kuda lumping modern ini memiliki posisi dan jabatan yang “terhormat” dan memiliki pengaruh yang besar dan menentukan.
Pejabat yang korup, adalah metaforfosa dari kuda lumping. Ketika kesadaran kemanusiaan seseorang hilang, maka ia bisa bertindak apa saja. Ketika pejabat “lupa” akan dirinya, maka ia tanpa sungkan mampu menyelewengkan wewenangnya untuk kepentingan dirinya, ia mampu membelokan dana untuk rakyat kedalam rekeningnya, ia mampu “memakan” darah dan keringat rakyat, sekali lagi itu terjadi ketika seseorang telah lupa siapa dirinya, seperti kuda lumping tadi.
Kontraktor yang korup, ketika seorang kontraktor “lupa diri” maka ia akan mampu “makan aspal dan beton jalan raya”, ia akan mampu “makan semen tiang jembatan” ia akan mampu memakan apapun yang mungkin dapat disantapnya. Ia ketika itu tidak lagi berpikir bahwa dengan mengurangi takaran aspal dan beton akan membahayakan pengguna jalan, ketika itu ia juga tidak mampu berpikir bagaimana akibatnya jika jembatan yang dibangunnya menjadi keropos kurang semen, ia ketika itu telah menjadi kuda lumping yang lupa diri.
Ulama yang korup, ketika seseorang yang berilmu “lupa diri”, bahwa ilmu dan pengetahuan yang ada padanya merupakan sebuah amanah untuk disampaikan kepada umat, maka ia akan menjual ayat-ayat al qur’an dengan “harga yang murah” dan menjadikannya sebagai barang dagangan yang dikomersilkan. Ketika seorang ulama telah lupa diri, maka ia akan menggunakan ilmunya untuk membodohi umat. Ayat-ayat al qur’an dan sunnah di modifikasi sedemikian rupa dengan penafsiran-penafsiran versinya, versi orang yang lupa diri. Katanya “manusia yang menciptakan tuhan”, katanya lagi shalat hanya sekedar ritual tanpa makna, dan masih banyak lagi “katanya-katanya” ala kuda lumping yang lupa diri. Sebagian kuda lumping dari jenis ini juga kadang bisa menyamarkan dirinya sebagai pengurus masjid atau sebagai panitia pembangunan masjid, tapi justru ia dengan kesadarannya yang hilang, akan menjadikan masjid tidak lebih sebagai alat dan kedok untuk kepentingannya semata.
Aparat yang korup, polisi, pegawai bea cukai, pegawai pajak, dan juga aparat lain diberbagai aspek dan bidang, juga tak sedikit yang menjadi kuda-kuda lumping versi baru. Kesadaraanya sebagai abdi negara menjadi samar atau bahkan hilang. Pakaian dan senjata yang ia miliki, status, jabatan dan wewenang yang melekat padanya, tidak lebih hanya sekedar sebagai balutan pakaian yang tak mencerminkan peran dan pribadinya sebagai abdi negara, mereka lebih mirip kuda lumping, mirip orang yang lupa ingatan, lupa siapa dirinya.
Kita, mungkin sebagian dari kita telah menjadi kuda lumping jenis baru. Cirinya?
Kita telah lupa dan tidak lagi menyadari kewajiban kita sebagai “hamba” dihadapan Allah. Kita lupa tugas kita untuk hanya untuk beribadah dan mengabdi kepada Sang Pencipta.
Ketika kita berdo’a kepada Allah, kita lebih cenderung menuntut kepada Allah, bukan sebagai pengabdian. Seolah-olah setelah kita melaksanakan perintahnya kita bisa “mengintimidasi” Allah; “Ya Allah, saya sudah tahajud, sudah dhuha, sudah puasa senin kamis, kok masih susah, kok masih kena banjir, kok tidak segera dikabulkan, dan lain sebagainya, sekali lagi kita lupa, bahwa ibadah kita adalah sebuah bentuk pengabdian, bukan alat intimidasi.
Ketika kita beribadah, ibadah kita bukan lagi sebagai pengabdian, tapi penuh dengan pamrih yang dilandasi nafsu. Ibadah kita juga ada yang sekedar ikut-ikutan, karena malu pada atasan, karena risih pada bawahan, bukan lahir dari kesadaran bahwa ibadah adalah sebuah kebutuhan bagi fitrah kemanusian kita, bukan lahir dari adanya sebuah “rasa” yang terbangun lewat hubungan antara mahluk dan khaliqnya.
Allah Maha Tahu dan Maha Mendengar, Allah pasti mendengar dan menjawab do’a kita, Allah akan memberikan apa yang Dia kehendaki kepada siapa yang Allah kehendaki.
Allah yang mengatur kita, bukan kita yang mendikte Allah, laksanakan saja segala perintah-Nya, jauhi segala larangannya, dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan perbuatan baik hamba-Nya, Allah pasti akan membalasnya dengan setimpal menurut Allah, bukan menurut itung-itungan kita.
Kita juga kadang berperilaku seperti kuda lumping yang tidak menyadari siapa diri kita, siapa yang menghidupkan kita, siapa yang memberi nafas kita, siapa yang menggerakan hati dan pikiran kita, siapa yang menggerakan anggota tubuh kita, sehingga kita bertindak seenaknya, berlaku tak sesuai dengan amanah-Nya, kita tidak menyadari bahwa kita tidak memiliki daya upaya apapun.
Kita juga kadang seperti kuda lumping, seperti orang mabuk, mabuk harta, sehingga kita lupa dari siapa harta itu dan kemana mestinya harta dibelanjakan, mabuk tahta, mabuk wanita, mabuk popularitas, ingin dipuji, ingin disanjung, ingin dihargai, ingin dihormati, kita kerap lupa diri dan mabuk dengan kehidupan dunia, kita kehilangan kendali terhadap nafsu kita, kita kehilangan kontrol terhadap keinginan-keinginan kita, kita kadang tidak menyadari keterbatasan dan kelemahan kita, sehingga kita kerap memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang diluar batas kemampuan kita, persis seperti kuda lumping.
4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
“Kita bukan kuda lumping”, itu yang harus kita camkan, kita adalah manusia, yang diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya, baik secara lahir, bathin dan kita dikarunia akal.
Jangan sampai kita seperti kuda lumping, yang akan dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya, jadi intip neraka, Naudzubilah.
Kenali diri kita dengan baik, “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya”. Kuda Lumping adalah gambaran orang yang tidak lagi mengenal siapa dirinya.
Wassalam
Januari 09, 2007
Monday, February 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment