Tahun 2007 baru berjalan seumur jagung, belum genap 2 bulan kita memasuki tahun baru ini. Dalam rentang waktu yang masih bisa dihitung dengan jari tersebut, justru kita memiliki catatan “suram” yang menyertai perjalanan waktu sepanjang satu bulan setengah ini.
Kapal karam, Senopati tenggelam, ditelan lautan yang demikian luas membentang, yang masih menyisakan kepedihan bagi keluarga korban dan meninggal, yang jumlah sungguh sangat menakjubkan, disusul kemudian hilangnya pesawat Adam Air yang sampai sekarang belum diketahui dimana rimbanya, bak hilang ditelan bumi, juga menelan ratusan korban dan menguras air mata para keluarga yang ditinggalkan.
Kini, dua atau tiga hari yang lalu, banjir melanda ibu kota, menghanyutkan harta benda dan meluluhlantakan jiwa, memporak-porandakan rumah, sekolah, jalan dan sebagainya, bahkan disebagian wilayah,air masih menggenang hingga sekarang.
Mari belajar menjadi manusia bijak dalam menyikapi apa yang telah dan tengah terjadi dalam dua bulan terakhir ini;
Pertama; ketika rumah kita yang bertingkat dua, tidak lagi mampu melindungi kita dari genangan air, lalu mobil mewah yang kita banggakan tak mampu menghindarkan kita dari banjir, ketika uang kita tak lagi berbuat banyak untuk meluputkan kita dari banjir, ketika pangkat dan jabatan kita tak bisa lagi kita banggakan dihadapan banjir, ketika orang yang selama ini kita anggap sebagai pelindung kitapun tak berdaya apapun untuk menolong kita, bahkan untuk menolong dirinya sendiripun tak mampu, ketika pemimpin kitapun tak lagi dapat berbuat “apa-apa”untuk kita, ketika sanak saudara, handai taulan masing-masing tak lagi berbuat sesuatupun untuk menghindarkan kita dari banjir, ketika semua persiapan dan latihan yang telah dilakukan pun tak banyak berguna, ketika semuanya tak berdaya, ketika itulah “seharusnya” keimanan kita makin bertambah, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya tempat kita bergantung – Allahushomad, ketika itulah seharusnya kita segera menyadari kekeliruan kita selama ini, yang lebih banyak bergantung pada mahluk dan benda, bukan pada yang menciptakan mahluk dan benda-benda itu.
Kedua, Allah adalah Dzat yang “ingin selalu diingat” oleh mahluk-Nya, hingga demikian banyak ayat-ayat al qur’an yang memerintahkan kita untuk selalu mengingatnya;
205. Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.(Al Ar'af:205)
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.(Ali Imran:191)
Dzikir, ingat kepada Allah, baik dengan lisan, dengan hati dan dengan perbuatan, adalah sebuah perintah, tapi kita kerap lalai, kita ini pelupa, kita “hanya ingat kepada Allah” ketika kita ditimpa oleh kemalangan, setelah itu kita lupa. Karena kita ingat Allah hanya saat ditimpa kemalangan, maka Allah selalu datangkan “kemalangan” silih berganti agar kita selalu ingat kepada-Nya.
Ketika Tsunami melanda Aceh di akhir Desember, ramai kita memohon dan berdo’a kepadanya, meratap, merintih, memohon dan menghiba, tapi kemudian kita lupakan semuanya, ketika tahun baru menjelang. Seolah kita sudah tidak perlu lagi dengan Allah.
Ketika Gempa melulunlantakan Jogja, kembali kita menangis dan meratap, setelah itu kita juga lupa ketika Piala Dunia berlangsung.
Kita selalu lupa, dan Allah selalu mengingatkan kita dengan bencana, betapa Rahman-nya Allah, betapa Lembut-nya Allah, selalu saja mengingatkan kita, selalu saja memberi jalan kepada kita untuk kembali menundukan kesombongan kita dibawah ke-Agungan-Nya.
Seandainya kita selalu ingat pada Allah pada saat kita senang, mungkin Allah juga akan senantiasa memayungi kita dengan nikma-nikmat-Nya, karena dengan itu kita akan selalu ingat pada-Nya.
Pilihan kita sekarang adalah kita harus selalu ingat kepada Allah, agar Allah-pun tak “perlu lagi” mengingatkan kita dengan bencana dan kemalangan.
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(Al Baqarah:152)
[98] Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.
Semoga Allah menjadikan kita orang yang senantiasa ingat pada-Nya, dan semoga pula Allah memberikan kesadaran pada kita “betapa kecilnya kita”, betapa lemahnya kita, betapa tidak berdayanya kita, betapa kita bukanlah “apa-apa”, dan betapa kita harus bergantung kepada-Nya semata.
Wassalam
Januari 09, 2007
Friday, February 16, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment