Pernahkah kita merenung apa yang akan orang katakan tentang kita, jika mereka mendapati kita senyum – senyum sendirian?
Pasti mereka berpikir dan berkomentar yang kurang baik tentang kita, mungkin mereka berpikir kita sedang stres, sehingga tersenyum sendirian, mungkin juga orang lain berpikir kita kurang kerjaan, hingga justru benda – benda yang tak bernyawa diajakin senyum, dan pasti masih banyak lagi komentar yang cenderung tidak baik, ketika orang lain mendapati kita tersenyum seorang diri.
Senyum adalah hal yang mudah, bahkan mungkin sangat mudah, dapat dilakukan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun, dengan syarat itu tadi, ada orang lain yang kita ajak senyum, ada orang lain disekitar kita.
Penulis sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana kita, manusia, memang diciptakan oleh Allah sebagai mahluk sosial, mahluk yang sangat bergantung dan membutuhkan orang lain untuk dapat hidup dengan layak.
Jika senyum saja kita membutuhkan orang lain, insya Allah, hal-hal lain pun kita akan lebih banyak membutuhkan orang lain. Sebuah contoh kecil, Nasi yang kita makan, yang kadang kita hambur-hamburkan, kita sepelekan, pahadal untuk menjadi nasi yang siap hidang, ada banyak pihak yang telah bersusah payah untuk itu.
Pertama kita perlu beras, yang artinya kita perlu pak tani yang dengan susah payah mencangkul atau membajak sawah, menyemai benih padi, kemudian ketika benih itu mulai tumbuh, siang malam pak tani menjaganya, mengairinya, memupuknya, hingga akhirnya padi menguning dan dituai. Setelah itu padi dikering dan digiling untuk menjadi beras, yang juga memerlukan orang lain, dibawa kepasar oleh pedagang beras, kemudian istri kita membelinya, menanaknya, dan akhirnya sampai jadi nasi yang siap kita makan. Berapa orang yang terlibat untuk menghasilkan sepiring nasi, berapa lama waktu yang diperlukan mulai dari pak tani membajak sawah sampai padi dituai, dikeringkan, dibawa kepasar kemudian ditanak? Banyak orang dan memakan waktu yang cukup lama, lagi sebuah bukti bahwa kita butuh orang lain.
Pakaian yang kita kenakan, berapa lama tanaman kapas menghasilkan buahnya, diproses jadi kapas, dijemur, ditenun, dijahit sebelum akhirnya jadi pakaian seperti yang kita kenakan, juga membutuhkan banyak orang dan waktu yang lama.
Begitupun setiap hal yang ada disekitar kita, kita butuh orang lain, kita butuh tetangga, kita butuh sahabat, kita butuh orang-orang yang mencintai dan kita cintai, karena dengan itulah hidup kita bisa mengalir dan berjalan.
Untuk itulah, Allah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus berperilaku diatas muka bumi ini, lewat hikmah yang tercantum dalam nasehat Luqman kepada anaknya;
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(Al Kahfi:18)
Ada gitu orang sombong, yang memalingkan mukanya dari orang lain? Atau jangan – jangan kita termasuk didalamnya, naudzubillah, tidak ada satupun manfaat yang akan kita peroleh dari sikap dan sifat sombong, kecuali murka Allah.
Agar kita dapat lebih berhati-hati dari jebakan setan, si mahluk durhaka lagi sombong itu, mari kita kembali tengok hal apa saja yang bisa menyebabkan kita terjerembah kedalam jurang kesombongan, sifat takabur dan besar kepala:
- Ilmu, berhati-hatilah wahai saudaraku, ilmu yang Allah titipkan pada kita, bisa dijadikan setan sebagai senjata makan tuan. Ilmu yang tidak berkah, dapat menjerumuskan kita kedalam kesombongan, kita, dibujuk oleh setan untuk merasa paling pintar, paling benar dan cenderung meremehkan orang lain, yang dengan itu berarti kita telah terperangkap oleh tipu daya setan. maka sebuah do’a mengajarkan kepada kita untuk memohon kepada Allah Ilmu yang bermanfaat, bukan ilmu yang mudharat yang akan mencelakakan kita.
- Ibadah – setan sekarang ini, konon jauh lebih pandai dalam melakukan tipu dayanya. Dalam kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk berkurban dengan “menyembelih” putranya Nabi Ismail, setan sekuat tenaga menghalangi niat kedua hamba Allah tersebut agar tidak meneruskan niatnya, tapi sekarang justru setan akan mendorong kita untuk berlomba-lomba menghabiskan uang kita untuk ibadah, seperti naik haji yang menghabiskan biaya besar, menyembelih hewan kurban, sedekah dan lainnya, tapi dasar setan, kalau kita tidak berhati-hati, ibadah yang kita lakukan dengan susah payah dan biaya yang tidak sedikit, akan dijadikan setan untuk menjadikan kita sebagai temannya dengan sikap ujub kita, ibadah haji kita dijadikan setan untuk menjadikan kita “asa aing”, “nih saya dong udah haji”, atau “nih saya dong kurban”, atau “nih saya dong dermawan” dan lain sebagainya, harta kita habis, pahala kita nihil. Untuk itu berhati-hatilah dengan tipu daya sang durjana, mereka, setan adalah musuh yang nyata lagi licik!
- Harta, pangkat dan Jabatan, adalah tiga hal yang “duniawi banget”, yang akan menjadi senjata ampuh bagi setan untuk menjerumuskan kita kedalam kesombongan dan kehancuran, jika kita tidak berhati-hati dengan amanah harta, pangkat dan jabatan yang Allah titipkan kepada kita. “Kemulian, pangkat dan jabatan”, sekali lagi hanya sebuah amanah, yang seharusnya kita gunakan sesuai kehendak yang memberikannya, bukan sebaliknya, untuk memenuhi ambisi dan nafsu kita.
- Rupa dan fisik, banyak orang yang memiliki fisik dan rupa yang cantik dan tampan tapi justru berperilaku seperti hewan. Mereka memamerkan keelokan rupanya untuk kemaksiatan, maka berbahagialah saudaraku yang cantik dan tampan, tapi juga berhati-hatilah menjaga dan memanfaatkannya, setan tak akan segan untuk menikam kita ketika kita lengah dan terperdaya oleh rupa yang cantik dan rupawan.
Kembali kepada pokok tulisan ini, bahwa kita adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain, sampai-sampai ada seorang ulama, secara guyon mengatakan bahwa Rukun Iman yang enam, yang wajib kita yakini, yakni Iman Kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Kepada Kitab, kepada Rasul, kepada Hari Kiamat dan Qadha dan Qadar-Nya, harus dilengkapi dengan Rukun Tetangga, yakni bergaul dengan tetangga, orang-orang terdekat disekitar kita,orang yang hampir setiap hari berinteraksi dengan kita, yang akan membantu kita untuk bisa “tersenyum”, untuk memenuhi hak-hak tetangga kita, untuk menengoknya ketika sakit, memberinya nasehat ketika diminta, dan jangan menyakiti tetangga kita dengan lisan dan perbuatan kita, sebagai pelengkap keimanan kita.
“Tidak beriman dia, tidak beriman dia, tidak beriman dia” kata Nabi pada suatu ketika. Siapa “dia” itu?
“Dia yang tidak beriman adalah “dia” yang suka menyakiti tetangganya dengan lisan dan perbuatannya!!
Tersenyumlah, semoga Allah membalas senyum tulus kita dengan “senyum ridha-Nya”
Wassalam
Desember 30, 2006
Friday, February 16, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment