Friday, February 16, 2007

Anak Tangga

Hampir setiap hari kita makan dikantin atas, dan hampir tiap hari pula kita harus melalui satu demi satu anak tangga yang menuju kesana, adakah kita dapat mengambil sesuatu hikmah dari anak tangga yang setiap hari kita lalui?

Anak tangga mengajarkan kita sebuah proses, bahwa untuk mencapi hasil atau tiba disuatu tempat, kita harus melalui satu demi satu tahapan agar kita bisa sampai kesana. Ada memang seseorang bisa mencapai sesuatu atau menduduki suatu posisi tanpa harus melalui tahapan-tahapan sebagaimana kita, anak pejabat misalnya, anak orang kaya atau pengusaha yang diwarisi perusahaan oleh orang tuanya, seperti ada orang yang menggunakan lift, tapi kita tidak bisa menjadikan itu sebagai acuan bahwa kita juga akan bisa begitu, karena memang takdir kita berbeda, Perlu syarat dan kondisi tertentu untuk bisa demikian, dan kita hanya akan membicarakan kondisi umumnya saja.

Dari kecil sebenarnya kita telah belajar untuk melalui tahap demi tahap, proses demi proses, tangga demi tangga sebelum akhirnya kita bisa sampai pada titik ini. Semua kita, tidak bisa langsung bicara ketika kita lahir, semua kita tidak bisa langsung berjalan ketika turun dari buaian ibu, semua kita tidak bisa langsung berlari ketika usia kita belum memadai, semua kita mengalami proses, lahir dalam kondisi lemah, tak dapat berbicara, tak dapat melihat, tak dapat berjalan tak dapat berlari, baru setelah tahapan-tahapannya kita lalui, mulai dari menanggis, merangkak, berjalan, baru kemudian kita bisa berlari.

Pun ketika kita bersekolah, kita tidak langsung duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, tetapi dari taman kanak-kanak, kelas satu, dua, tiga dan seterusnya. Kemudian kita masuk sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas hingga kita kuliah, semuanya berproses.....seperti undakan anak tangga.

Lalu kenapa kemudian sebagian dari kita ada yang lupa dengan pelajaran yang telah kita dapat dulu? Ada yang ingin naik gaji, “katanya” pakai jasa “orang pintar, ada yang katanya mau naik jabatan pakai suap-suapan, ada yang ingin kaya, pakai kemenyan, aneh dan sungguh mengerikan!

Kadang kita mengorbankan akidah kita, baik secara sadar atau tidak untuk mencapai sesuatu secara instan, kita lupa dengan falsafah anak tangga tadi. Bahkan apda suatu ketika saya dibuat menjadi sangat “marah” dan tak habis pikir ketika seorang teman lama datang kerumah dan minta diantar ketempat tertentu yang katanya agar bisa cepat kaya, karena ia bosan dengan kemiskinannya, naudzubillah...

Jika kita ingin naik gaji, maka ada proses yang harus kita lalui, misalnya dengan bekerja dengan baik dan benar, kemudian bersandar dan bertawakal kepada sang pemberi rezeki, bukan berharap pada atasan atau manajer kita...mereka, atasan atau manager kita juga manusia yang tidak bisa berbuat apa – apa untuk menaikan gaji kita, jika Allah tidak menghendaki gaji kita naik. Benar, secara syari’at gaji atau penghasilan kita berasal dari perusahaan tempat kita bekerja, benar, manager atau atasan kita yang menilai kinerja kita, tapi tidak benar jika kita berkeyakinan bahwa perusahaanlah yang menentukan hidup kita, salah besar kalau kita beranggapan perusahaan tempat kita bekerja yang menjamin rezeki kita, karena Dia-lah sesungguhnya yang mengatur semuanya, semua kehidupan kita.

Allah yang menggerakan hati para atasan kita untuk menilai baik buruknya kinerja kita, Allah-lah yang kemudian menggerakan para pemimpin perusahaan untuk memberi gaji kita, semuanya, tak ada yang lepas dari qudrat irodat Allah, dari itu bekerjalah dengan niat tulus untuk mencari ridho-Nya semata, gaji hanya sekedar imbalan “jang-ka Imah (Bhs sunda - hanya untuk ke rumah-red), sementara kita juga memerlukan “jang-ka akherat” , yaitu buah amal, dan ini yang jauh lebih penting.

Ada sebuah pengalaman menarik ketika penulis “mengamati” orang-orang yang bekerja “jang-ka imah” saja, sehingga mereka bekerja melulu ketika ada atasan atau dijanjikan imbalan,kemudian berlaku “sedikit” curang dengan memanipulasi jam kerja dan lemburan, kemudian orang-orang yang bekerja dengan”benar”, diakhir tahun, ketika evaluasi karyawan dan kenaikan gaji, justru orang-orang yang bekerja “jang-ka imah” saja mendapat apresiasi yang jauh lebih rendah dari orang yang bekerja dengan benar tadi. Tidak ada yang mengadukan kecurangan mereka, pun tidak ada yang melapor kebaikan kerja yang dilakukan orang yang bekerja “jang-ka akherat”, tapi Allah yang kemudian menuntun hati dan tangan para pembuat kebijakan diperusaahaan tersebut untuk memberi nilai yang benar, yang pada gilirannya berimbas pada besarnya kenaikan gaji karyawan tersebut. Rugi besar ketika kita bekerja hanya mengharapkan gaji, harapkanlah ridho-Nya.

Jabatan, posisi, kekayaan pun demikian adanya, ada proses dan anak tangga yang harus dilalui, tidak bisa bim salabim, abra kedabra....lalu kemudian kita jadi atau tiba ditempat yang kita tuju. Itu dongeng, bukankah kita sekarang berada dialam nyata, bukan dialam mimpi atau dongeng dari negeri antah barantah....ingin sesuatu, maka lakukankan ikhtiar dengan sempurna, kemudian serahkanlah hasilnya kepada sang Maha Pemberi Keputusan.

Desember 11, 2006.

No comments:

Post a Comment