Pesantren atau pe-santri-an, adalah tempat para santri menimba ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya. Peran dan fungsi pesantren dalam peri kehidupan kebangsaan dan keberagamaan di Indonesia sudah sangat dikenal luas dan diakui. Mulai dari peran merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, peran pesantren dalam membina dan melahirkan kader-kader politisi Islam, kader-kader pemerintahan serta masih banyak peran serta pesantren dan santrinya dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Santri, konon terambil dari asal kata inSan (manusia, dalam bahasa arab), dan Tri, yang berarti Tiga, yang secara bebas kemudian diterjemahkan bahwa pesantren adalah tempat mendidik manusia/insan atau santri untuk dapat berinteraksi dengan tiga hal; pertama berinteraksi dengan Allah (Habluminallah), hubungannya dengan sesama manusia (Habluminannas) serta hubungannya dengan Lingkungannya, sehingga pesantren secara umum berfungsi untuk mencetak manusia-manusia yang mampu ber-habluminnallah, ber-habluminnannas dan ber-hablu dengan lingkungannya.
Ditengah peng-diskreditan peran dan fungsi pesantren yang disponsori para kafir Barat, peran pesantren “agak sedikit melambat” belakangan ini. Bahkan dalam beberapa kondisi, pesantren seakan-akan menjadi sindrom, bahwa dipesantren-lah dididik para teroris untuk menebar kekacauan dan teror, sehingga yang muncul kepermukaan adalah sebuah bentuk “ketakutan” bagi sebagian orang terhadap pesantren, sehingga mereka beramai-ramai memproteksi diri dan anak-anaknya untuk tidak berhubungan dengan yang berbau-bau pesantren.
Sebuah ironi, sebuah keberhasilan tipu daya setan, sebuah propaganda jahat yang harus segera dicounter untuk mengembalikan citra pesantren sebagai lembaga atau wadah yang justru akan menghasilkan santri-santri yang akan menebarkan keharmonisan ditengah umat dan lingkungan.
Kita tak perlu terlalu merasa cemas ketika seorang lurah pensiun, karena pasti sudah banyak yang antri untuk menggantikannya. Kalau camat mengundurkan diri dari jabatannya, kitapun tak perlu ragu, karena dalam hitungan hari posisinya akan segera terisi. Kitapun tak perlu khawatir jika ada bupati, gubernur atau bahkan seorang presiden sekalipun yang berhenti dari jabatan publiknya, karena serentetan penggantinya siap menduduki posisi yang mereka tinggalkan.
Pun kita tak akan pernah kehabisan stock sarjana dalam berbagai disiplin ilmu. Setiap tahun ratusan bahkan mungkin ribuan sarjana baru diwisuda.
Tapi rasanya kita perlu khawatir jika ada seorang kyai atau ulama meninggal, atau berhenti berdakwah, karena belum tentu akan lahir kyai atau ulama dengan kualitas yang setara ilmunya dalam kurun waktu 10 tahun atau 20 tahun yang akan datang.
Kita rasanya perlu cemas, jika ada ulama dan kyai yang mengundurkan diri dari panggung dakwah, karena kita masih dan akan senantiasa membutuhkan mereka.
Lalu apakah kita akan membiarkan terjadi status quo, kekosongan teladan umat? Apakah kita akan membiarkan umat kebingungan tanpa ada ulama ditengah-tengah mereka? Apa yang akan terjadi? Kalau dengan ulama ditengah-tengah mereka saja, masih banyak umat yang merasa bingung, konon lagi jika mereka dibiarkan sendirian tanpa suluh dan ilmunya ulama.
Jika ditengah gencarnya propaganda barat yang mendiskreditkan pesantren dan aktivitasnya kita diam saja, jangan heran jika dalam 10 atau 20 tahun yang akan datang, pesantren hanya akan tinggal cerita dan kenangan, bahwa dulu disini, dipesantren ini Kyai A pernah menuntut ilmu, bahwa ustadz B pernah belajar, jangan, jangan sampai terjadi, Naudzubillah.
Lalu apa upaya kita untuk mengembalikan citra positif pesantren sebagai Kawah candradimuka ulama dan kyai yang akan menjadi teladan umat?
Kalau kita tidak bisa secara langsung terjun kedalam pesantren, minimal kita jangan ikut terprovokasi untuk ikut-ikutan menjauhi pesantren, atau jangan ikut-ikutan menyebarkan cerita seram tentang pesantren.
Justru sebaliknya, kita harus membantu membangun citra pesantren dengan segenap kemampuan kita. Berkaca pada definisi pesantren diatas, kita mungkin bisa membangun “pesantren” pada lingkungan keluarga kita. Bagaimana kita mendidik anak kita untuk bisa menjadi santri, manusia yang mampu berhubungan dengan Khaliqnya, anak yang mampu membangun hubungan horizontal dengan sesamanya, dan membina anak untuk mampu berinteraksi dengan lingkungannya dengan harmonis.
Umat masih sangat membutuhkan banyak kader ulama dan kyai yang mampu menjadi penerang jalan bagi orang-orang yang tengah dilanda kegelapan, umat masih membutuhkan banyak ustadz yang mampu memberi nasehat dan teladan ditengah-tengah kebingungan, umat masih memerlukan anda, memerlukan kita sebagai bagian dari umat itu sendiri untuk bersama-sama menjadi umat yang terbaik, umat yang diridhai Allah swt.
Tanggung jawab memberikan pengajaran, pendidikan, penerangan dan teladan kepada umat bukan hanya dipundak para kyai, para ulama dan para ustadz saja, tapi kita juga memikul tanggung jawab yang sama sesuai dengan kadar kemampuan kita untuk menjadikan umat ini kembali kepada jalur kemuliaanya.
Mari kita belajar menjadi Santri, menjadi manusia yang mampu berhabluminallah, berhabluminannass, dan berinteraksi dengan lingkungan secara harmonis. Kalau kita tidak punya waktu untuk belajar dipesantren-pesantren, kenapa kita tidak menjadikan tempat kerja dan kantor kita sebagai pesantren?
Bukankah dikantor juga kita bisa tetap berhubungan dengan Allah melalui dzikir, baik itu dzikir qalbu, dzikir lisan, dzikir fikri dan dzikir amal? Ada Pesantren Virtual, ada IslamdotNet, ada Pesantren Sidogiri Online dan masih banyak fasilitas yang bisa kita gunakan untuk belajar, tinggal kemauan kita saja yang harus senantiasa ditingkatkan.
Bukankah dikantor juga kita bisa berlatih untuk membina hubungan yang harmonis dengan teman, rekan atasan, bawahan dan relasi kita? Bukankah kita bisa berlatih untuk saling mengerti dan menghargai satu sama lain? Bukankah kita bisa melatih sikap sabar kita manakala ada perbedaan antara kita? Bukankah kita bisa saling menasehati dalam kesabaran dan kebenaran? Dan masih banyak lagi yang bisa kita pelajari untuk menjadi Santri yang mumpuni dari lingkungan disekitar kita.
Bukankan ditempat kerja kita juga bisa belajar untuk saling berbagi dengan lingkungan kita? Bagaimana kita menjaga kualitas udara kita untuk tidak tercemar, bagaimana kita menggunakan sumber daya air, energi dan sebagainya.
Jika setiap kita “Nyantri” tiap hari dilingkungan kita, insya Allah kita tidak akan kekurangan manusia berkualitas yang akan mampu membawa diri, keluarga dan lingkungannya tetap dalam trek yang benar untuk menjadi Khoiru-umat, Amiin.
Wassalam
Februari 27, 2007
Tuesday, February 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment