Siapa saya?
Dari mana saya?
Dimana saya?
Akan kemana saya?
Beberapa pertanyaan sederhana tentang siapa kita, yang memerlukan perenungan yang relatif lama untuk dapat menjawabnya.
“Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”
Sebuah konsep yang banyak dikenal dikalangan ahli hikmah untuk menggambarkan betapa pentingnya kita mengenal siapa kita, siapa diri kita, sehingga digandengkan sebagai sebuah syarat atau cara kita untuk mengenal tuhan kita.
“Tak tahu diri” sebuah ungkapan yang sering kita dengar untuk menggambarkan sikap atau perilaku seseorang yang tidak atau kurang patut, seperti tidak tahu malu, tidak tahu berterima kasih, tidak tahu sopan santun, dan tidak tahu siapa dirinya, sehingga ia berbuat dan perilaku layaknya bukan sebagai dirinya, bisa berperilaku seperti orang lain, berperilaku seperti binatang, atau bahkan berperilaku seperti setan, semua itu salah satunya diakibatkan oleh kekurang tahuan kita atau seseorang itu terhadap “siapa dirinya”.
Allah berfirman dalam Surat Al Mu’min:67:
67. Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, Kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), Kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).(al Mukmin:67)
Mudah – mudahan ayat diatas bisa menjadi titik pijak kita untuk mengenal siapa diri kita, disamping masih banyak lagi ayat-ayat al qur’an yang memberikan gambaran kepada kita dari mana kita berasal dan dari apa kita diciptakan.
Kita, manusia, kata Allah diciptakan dari setetes “Nutfah” yang terpancar dari tulang sulbi, yang kalau kita mendapatinya dimanapun, niscaya kitapun akan merasa sedikit risih atau bahkan jijik dengan nutfah, bahkan mungkin terhadap nutfah kita sendiri. Padahal itu adalah “bibit” untuk penciptaan kita.
Kemudian setelah itu kita menjadi segumpal “darah”, juga sesuatu yang bagi sebagian orang membuat alergi dan takut dengan darah. Sekali lagi padahal itu adalah awal mula kita, sebelum kemudian dalam proses selanjutnya kita menjadi janin dirahim ibu, kemudian kita dilahirkan sebagai sesosok bayi yang tiada berdaya, terus kehidupan berlanjut, kita menjadi anak, remaja dan dewasa. Ada yang mati muda ada pula yang diberikan jatah usia yang lebih hingga kita menjadi tua, yang pada gilirannya juga akan mati, kita akan kembali kepada asal kita.
Ketika kita menyadari dan mengetahui dari mana kita berasal, mestinya, kitapun “tahu diri” kita, bahwa kita tidak layak untuk merasa orang yang paling mulia, kemudian menjadi sombong dengan ketampanan dan kecantikan kita, atau kemudian kita menjadi sombong dengan harta dan kekayaan kita, atau kita menjadi sombong karena pangkat dan jabatan kita, menjadi sombong dengan ilmu dan pengetahuan kita, end toh semua kita berasal dari bahan yang sama, lalu kenapa kita harus memalingkan muka dan berjalan dimuka bumi dengan angkuh karena sedikit “kelebihan” yang kita miliki.
Kelebihan rupa kita yang tampan dan cantik, tidak merupakan jaminan maqom kita disisi Allah. Berapa lama keelokan lahiriah itu bertahan? Tak lebih dari 40 tahun usia kita, setelah itu, keelokan wajah yang kita banggakan berangsur menyusut dan kemudian menghilang, wajah nan ayu rupawan kini menjadi keriput tak karuan, setelah itu, apalagi yang kita banggakan? Nothing....
Kelebihan harta dan kekayaan yang kita milikipun sama sekali tidak akan menolong kita untuk luput dari sunatullah, harta dan kekayaan kita sama sekali tidak akan mampu mempertahankan usia kita untuk tetap muda, harta dan kekayaan kita sama sekali tidak akan bisa mengembalikan kita kepada saat dimana kita suka, harta kekayaan kita sama sekali bukan sesuatu yang patut kita banggakan dihadapan Allah, ketika kita tidak tahu bagaimana memanfaatkan harta dan kekayaan itu sesuai dengan kehendak yang memberikan harta dan kekayaan itu.
Kita hanya memiliki “catatan” jumlah yang kita dibank, sementara orang lain/pihak bank itu yang memanfaatkan uang kita, bukan kita.
Ketika mobil kita banyak, kitapun tidak bisa berada dimobil yang berbeda pada saat yang sama, tetap saja kita hanya perlu satu tempat duduk saja, berapapun jumlah mobil kita.
Ketika rumah kita seluas lapangan bola sekalipun, sebenarnya kita hanya perlu tempat yang seukuran badan kita saja, tidak lebih. Ruangan dan rumah yang luas pun hanya jadi bahan cerita dan kebanggaan semu, yang sekali lagi bukan merupakan sesuatu yang patut dibanggakan dihadapan Allah.
Harta dan kekayaan kita sebenarnya adalah apa yang telah kita makan dan apa yang telah kita nafkahkan dijalan Allah dengan penuh keikhlasan, selebihnya adalah bukan harta kita.
Bahkan tak jarang harta dan kekayaan yang berlimpah malah menjadikan kita sebagai sasaran kejahata, tak jarang harta dan kekayaan kita menjadi sumber fitnah, tak jarang harta dan kekayaan yang kita miliki malah menjadikan kita seperti qorun yang ditelan bumi dengan seluruh harta yang dibanggakannya.
Pangkat dan jabatan, berapa lama kita akan menjabat? Lima tahun? Sepuluh tahun? Setelah itu? Kita akan dikembalikan pada posisi kita yang sebenarnya, yaitu manusia yang diciptakan Allah dari setetes mani, kemudian segumpal darah, seonggok jasad bayi, kemudian beranjak menjadi anak-anak, dewasa, tua dan kemudian mati.
Sama sekali tidak akan menolong kita dari kematian atau menyelamatkan kita dari ketuaan sehebat apapun jabatan kita, presiden, sekjen PBB atau bahkan seorang Rasul pun akan kembali setelah masa pengembaraannya didunia fana ini habis.
Ilmu dan pengetahuan yang kita miliki adalah sebuah amanah dari Allah yang telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya dengan perantaraan kalam, tanpa ilmu dari Allah, sungguh manusia tak lebih dari mahluk bodoh tanpa guna. Bukankah demikian banyak orang yang merasa berilmu, tiba-tiba menjadi pikun, justru karena banyaknya ilmu yang tidak berkah yang ia miliki. Ilmu yang bermanfaat hanyalah ilmu yang diamalkan dan kemudian diajarkan kepada orang lain. Itulah nilai ilmu, ia tidak akan menjadi berkurang ketika kita bagikan kepada orang lain, justru malah sangat mungkin ilmu kita bertambah. “Sampaikan dariku walau satu ayat”.
Sebagian dari kita kadang terjebak untuk mempelajari suatu ilmu, tentang ilmu hadits misalnya. Ada sebagian kita yang sangat paham dan hafal kandungan yang terdapat dalam hadits tersebut, perawinya, bahkan sampai sanad dan tingkat keshahihan hadits tersebut. Tapi setelah “hafal”, sebagian kita justru tidak bisa mengamalkan apa yang diterangkan dalam hadits tersebut atau bahkan dalam tingkatan yang ekstrim justru mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dipahaminya. Kemampuan dan pengetahuannya tentang suatu ilmu hanya dijadikannya sebagai bahan debat kusir agar ia dikatakan orang pandai dan banyak ilmu haditsnya.
Mengamalkan apa yang ada pada kita meskipun sedikit, jauh lebih bernilai daripada mengumpulkan ilmu hanya untuk bahan debat dan membanggakan diri.
Tapi ingat, tetap ada kewajiban pada kita untuk menambah perbendaharaan ilmu kita, sekali lagi bukan hanya untuk bahan debat, tapi untuk kita amalkan agar mendapat ridha-Nya.
Nikmatilah ketampanan dan kecantikan wajah, tapi jangan pernah lupakan bahwa semua itu akan ada akhirnya. Bersyukurlah anda yang berwajah tampan dan rupawan, bersyukurlah anda yang berwajah cantik jelita, agar semua yang ada pada anda tidak menjadi sia-sia tanpa guna.
Nikmatilah harta dan kekayaan yang anda miliki, tapi ingat ada sebuah mahkamah keadilan yang akan menanyakan kepada anda “dari mana harta anda peroleh” dan “kemana harta anda belanjakan”. Yang kaya jangan berbangga, yang miskin jangan bersedih, derajat manusia disisi tuhannya, adalah siapa yang paling banyak amalnya dan paling tinggi nilai taqwanya.
Nikmatilah pangkat dan jabatan yang anda pegang sekarang, tapi ingat bahwa anda masih tetap seorang “hamba” seorang abdi dihadapan tuhan. Pangkat dan jabatan yang anda miliki sama sekali bukan ukuran tingkat kemuliaan di sisi tuhan.
Nikmatilah dan manfaatkanlah ilmu dan pengetahuan yang anda miliki sekarang, tapi ingat, kita akan kembali menjadi lemah dan kurang akal, sebagaimana firman Allah dalam surat Yaa siin:68 berikut;
68. Dan barangsiapa yang kami panjangkan umurnya niscaya kami kembalikan dia kepada kejadian(nya)[1271]. Maka apakah mereka tidak memikirkan?
[1271] Maksudnya: kembali menjadi lemah dan kurang akal.
Ada banyak contoh disekitar kita yang menggambarkan bagaimana “circle of life ini bekerja. Perputaran roda kehidupan, yang membuat segala sesuatunya berputar dan bergantian menduduki posisi diatas pada saat tertentu, namun dikali lain harus menduduki posisi terbawah dari poros roda kehidupan.
Kita masih ingat dengan jelas bagaimana kekuasaan orde-orde di negeri ini mencapai puncak kejayaannya, hingga seolah-olah tak akan tersentuh oleh putaran roda kehidupan. Orde Lama yang sangat diagungkan pada masanya, harus hancur lebur dan bahkan sampai titik kulminasi terendah menjadi orde yang paling dibenci dan dicaci.
Setelah itu penggantinya, orde Baru yang juga bak cerita yang tak pernah habis, dalam hitungan bulan, harus tumbang pada saatnya.
Banyak orang yang minggu lalu, kemarin atau beberapa jam yang lalu masih berpredikat orang yang berharta dan berpangkat kedudukan, tiba-tiba menjadi orang yang tak berpunya layaknya gelandangan, buka sedikit ruang hati kita untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah keberhasilan dan kehancuran yang menimpa siapapun, karena memang demikianlah roda kehidupan berputar.
Sekarang kita tahu dari mana kita berasal, kemudian kita juga tahu dimana kita sekarang, yaitu didunia, tempat persinggahan, bukan tempat keabadian, kemudian kita pun tahu akan kemana nantinya kita dikembalikan, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun...... semua kita berasal dari Allah dan akan kembali padanya”
Semoga Allah menuntun kita untuk menjadi manusia yang “tahu diri” dan berkenan memberikan ridha-Nya kepada kita untuk “mengenal-Nya” dengan baik dan benar.
Wassalam
January 15, 2007
Monday, February 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment