Menjelang pergantian tahun 2006-2007 baru ini, kembali pertanyaan-pertanyaan yang sama muncul dibenak penulis, “wong kampoeng” yang tidak pernah mengerti dengan makna dan arti pergantian tahun. Setiap pergantian tahun, hampir semua orang berlomba-lomba mempersiapkan diri, uang dan waktunya untuk menyambut tahun baru dengan berbagai aktivitas dan kegiatan yang memerlukan banyak waktu, tenaga dan uang.
Kenapa kita harus merayakan tahun baru yang identik dengan kesenangan atau bahkan hura-hura, menghamburkan uang, menghabiskan waktu semalam suntuk, menguras tenaga dan bahkan ada yang harus berkorban jiwa?
Bukankah pertambahan tahun berarti pertambahan umur kita, yang juga berarti “berkurangnya jatah hidup kita? Bukankah sebuah kerugian besar jika umur kita bertambah, sementara amal kita tidak ikut bertambah? Bukankah sebuah kerugian besar jika bertambahnya tahun tidak menambah kedewasaan dan kematangan kita dalam berpikir dan bertindak apalagi dalam beribadah?
Adakah lebih bermanfaat jika malam tahun baru kita jadikan moment untuk bermuhasabah, menghisab diri dengan menghitung dan mengkaji ulang apa yang telah kita lakukan ditahun sebelumnya, untuk kemudian mengoreksi sesuatu yang salah, menjaga dan menambah sesuatu yang sudah benar dan memulai hal-hal positif yang baru?
Sementara apa yang kita dapat dengan berpesta? Kesenangan-kesenangan semu yang dibuat sedemikian rupa hanya akan melalaikan kita dari mengingat Allah, apalagi dengan menghamburkan uang tanpa arti yang jelas. Bukankah masih banyak saudara kita yang menjerit kelapan ditengah obrolan kita dimeja makan, bukankah masih banyak saudara kita yang kedinginan dibalik keangkuhan kita dalam menghabiskan uang, bukankah berfoya-foya dan melakukan perbuatan mubajir adalah “teman syaitan” –
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Jika kita senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang subhat dan bid’ad, lalu kenapa kita dengan senang hati mengerjakan sebagian amaliah syaitan?
Bayangkan, dalam sebuah perayaan tahun baru, yang biasanya ada pesta kembang api, berapa puluh juta habis untuk beli kembang apinya saja, katakan seratus juta rupiah, jika uang sebanyak itu dibuatkan sekolah sederhana, mungkin bisa jadi dua buah sekolah dasar yang mampu menampung 100 siswa.
Renungkan jika bensin yang dihabiskan untuk berkeliling kota dengan berteriak- teriak tanpa makna, dibelikan sembako yang dibagikan kepada fakir miskin, berapa perut akan merasa kenyang dengan uang yang dihamburkan itu.
Andaikan pesta dangdut dan sejenisnya itu diganti dengan pengajian, berapa banyak ilmu yang didapat
Pikirkan seandainya uang yang kita belanjakan untuk membeli aksesoris tahun baru, makanan yang kadang terbuang percuma, kita gunakan untuk menyantuni para yatim piatu, berapa anak yatim akan tertolong,
Aaah, betapa indah jika hal-hal diatas dapat kita lakukan, jika kita belum mampu mengubah sebuah masyarakat atau bangsa, kenapa kita tidak berusaha merubah sesuatu yang kecil dalam perilaku kita yang sangat mungkin kita lakukan.
Lalu tahun yang kita rayakan adalah tahun Masehi, kenapa justru kita yang ikut menyiarkan ajaran mereka? Mengapa justru ketika pergantian tahun Hijriah justru sebagian dari kita bahkan tidak mengetahuinya?
“Barang siapa mengikuti cara-cara mereka, maka dia adalah golongan mereka”, Naudzubillah, jangan-jangan ini sebuah perangkap agar kita terjebak dalam “milah” atau tatacara hidup mereka, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam Al qur’an;
120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(Al baqarah:120)
Bahwa memang ada upaya-upaya sistematis untuk membawa kita kedalam perangkap mereka. Mungkin identitas kita masih sebagai muslim, tapi ketika tata cara hidup dan kehidupan kita mengikuti milah (yang sebagian mufasirin menafsirkankanya dengan agama, sementara sebagian lagi mengartikan tatacara, gaya hidup atau kemauan)mereka, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagi kita, saya ulangi ujung ayat diatas “Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Sungguh mahal harga yang harus kita bayar untuk sebuah pesta, jika harus kehilangan perlindungan dan pertolongan dari Allah.
Mungkin akan lebih bermafaat jika kita “merayakan” tahun baru ini dengan bermuhasabah atau dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat membantu sesama sebagai perwujudan rasa syukur kita atas karunia usia dan rezeki yang diberikan-Nya.
Mohon maklum dengan pertanyaan-pertanyaan “wong kampoeng”, yang memang tak pernah merayakan tahun baruan.
Desember 13, 2006
Friday, February 16, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment