Pengalaman adalah guru sejati, demikian sebagian orang berpendapat, karena memang pengalamanlah yang mengajarkan banyak hal bagi kita untuk bagaimana kita menyikapi suatu kondisi.
Ada pengalaman yang menyenangkan, tapi tak jarang pula pengalaman pahit yang harus kita rasakan, tinggal bagaimana kita menyikapi apa yang telah terjadi pada kita untuk dijadikan bekal menapaki kehidupan hari ini dan insya allah kehidupan kita esok.
Jauh diakhir tahun 1990-an, sebuah pengalaman yang "secara tidak sengaja" melintas dalam ruang kehidupan penulis, yakni ketika penulis bertemu orang tuan salah seorang teman sekelas, beliau adalah seorang yang cukup terpandang dilingkungannya, keluarga besarnya merupakan keluarga yang juga merupakan keluarga yang mendapat porsi tersendiri didesa itu, ia kaya, baik hati dan juga ramah. Kenalan beliau pun bukan hanya dari kalangan setempat, bahkan pernah suatu ketika anaknya bercerita, bahwa bapaknya adalah teman yang sangat dekat dengan salah seorang menteri dalam negeri yang pernah juga menjabat sebagai gubernur Dearah Istimewa Jakarta.
Singkatnya, tak ada yang kurang dalam kehidupan keluarga ini, kaya, terhormat dan memiliki lingkungan dan teman yang semuanya dari kalangan yang cukup terhormat.
Sebagai pembanding bagaimana kondisi perekonomian keluarga ini adalah jumlah uang jajan sang teman sekelas tadi yang jumlahnya 30 kali lipat dari uang jajan penulis, belum termasuk uang lain-lain, sungguh sangat kontras.
Pada suatu ketika, dalam kunjungan penulis kerumahnya, beliau menawarkan jasa baiknya kepada penulis untuk ikut berdagang dengan membawakan kain dan pakaian, yang selama ini digelutinya, beliau mengatakan kepada penulis untuk tidak usah meneruskan sekolah end toh pada akhirnya ijazah sekolah pun digunakan untuk mendapatkan pekerjaan dan uang, sementara dengan berdagang, berarti penulis sudah mendapat pekerjaan dan uang. Namun atas pertimbangan bahwa penulis sudah bersusah payah untuk mengikuti seleksi masuk sekolah yang lumayan ketat, akhirnya penulis memutuskan untuk menunda tawaran tersebut, dan memilih meneruskan sekolah dulu.
Waktu terus berjalan, menjelang penulis naik kekelas dua sekolah menengah atas, penulis sekali lagi berkesempatan untuk berkunjung kerumah teman tadi. Tapi kini kondisinya 180 derajat berubah. Tidak ada lagi tumpukan dagangan yang dulu menumpuk dikamar dan gudang yang pernah ditawarkan kepada penulis, mobil yang ketika pertama kali penulis kerumah ini, tidak kurang dari tiga buah, kini tak tersisa satupun, bahkan yang lebih tragis, hampir semua perabotan mewah yang dulu menghiasi rumah yang lumayan mewah ini juga habis entah kemana. Penulis tak berani bertanya apa yang terjadi dan kemana semua harta yang dulu sedemikian banyak, kini nyaris tak tersisa.
Keluarga ini sedemikian terpuruk, bukan hanya hartanya yang habis entah kemana, relasi, keluarga besar dan koleganya yang dulu banyak kini juga turut menghilang berbarengan dengan lenyapnya harta mereka. Sang menteri yang dulu jadi temannya pun, tak peduli lagi hingga bapak ini meninggal dunia, dalam keadaan yang sungguh memprihatinkan, ia menghembuskan nafas terakhirnya ketika anaknya, yang teman sekelas penulis, sedang berada di lembaga pemasyarakatan karena sebuah kasus perkelahian, istrinya tengah berada jauh ditimur tengah sana sebagai TKI, anak-anaknya yang lain tercerai berai entah berada dimana hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing. Sungguh sebuah drama kehidupan yang demikian memilukan, tapi ini kenyataan, yang benar-benar terjadi dalam lembar perjalanan penulis.
Pada kali lain penulis juga dipertemukan Allah dengan seorang mantan direktur sebuah CV, yang ketika masa jayanya dulu merupakan orang paling kaya didesanya, tapi saat penulis bertemu dengannya, ia hanya tinggal disebuah gubuk yang lebih mirip kandang ayam dari pada sebuah rumah tinggal,......ia tinggal seorang diri tanpa istri dan anak, tanpa uang yang berkecukupan dalam kondisi tubuh yang sudah renta. Tiap hari ia harus mengayuh sepeda bututnya untuk menjual penghapus pensil dan mainan anak-anak disekolah-sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Hampir setengah harian ia berkeliling dari sekolah-sekolah dengan penghasilan yang hanya cukup untuk makan hari itu. Entah apa yang terjadi sehingga seorang direktur yang tiap hari turun naik mobil dan berkecukupan, kini harus tertatih-tatih untuk sekedar menyambung hidupnya.
Aaaah, lagi sebuah ironi kehidupan yang terpampang dengan jelas, bahwa harta hanyalah sebuah amanah, sebuah titipan yang pada saatnya akan diambil lagi oleh pemiliknya.
Adakah kita bisa belajar dari apa yang penulis paparkan diatas?
Bahwa apa yang ada pada kita saat ini adalah sebuah amanah, sebuah titipan yang kapanpun, ketika pemiliknya hendak mengambilnya, kita tak punya suatu daya upayapun untuk mencegahnya, karena memang Dia-lah pemilik mutlak hakiki dari apa yang kita sebut milik kita.
Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menakut-nakuti dan menjadikan kita semakin possesif dan over protektif terhadap apa yang kita miliki, bukan itu, tapi justru penulis ingin mengingatkan diri penulis pribadi khususnya, bahwa kita harus senantiasa bersiap diri dengan segala ketentuan yang telah digariskan untuk kita. Kita tidak boleh menjadi kalap dan kemudian tenggelam kedalam jurang kedukaan yang dalam tak berujung, ketika saat harta dan apa yang kita miliki diambil lagi oleh pemiliknya, kemudian kita menjadi seperti orang kalap yang menyalahkan Tuhan, menyalahkan takdir, mencari kambing hitam dan menempuh segala cara untuk mempertahankan atau mengembalikan semua harta kita. Dukun menjadi tumpuan, berhala menjadi sandaran, dan berbagai kemusyrikan yang tak berdasar lainnya, hanya karena sesuatu yang memang bukan milik kita secara mutlak. Percayalah, jika saat itu tiba tak ada sesuatupun yang akan menghalanginya.......kita hanya perlu meyakinkan diri kita bahwa apa yang terjadi adalah sebuah skenaria besar, yang juga pasti mengandung hikmah yang besar pula bagi orang-orang yang mampu memaknainya secara bijak.
Dilain sisi, sebuah pelajaran juga dapat kita ambil dari sebuah kisah nyata seorang mantan sopir (Maaf), yang sekarang menjadi juragan yang memiliki tidak kurang dari 15 buah Elf, 10 truk, tiga sedan dan tiga buah Fuso, sebuah kondisi yang juga sangat kontras dari keadaan beliau sebelumnya.
Ada juga kisah seorang teman yang tadinya bukan “siapa-siapa’, kini menjelma menjadi seorang yang sangat sukses dengan bisnisnya, karena memang demikianlah kehidupan, selalu berganti dan berputar.
Matahari harus bergantian dengan bulan, siang harus berganti malam, gelombang pasang pun suatu ketika pasti surut, itu adalah sunatullah, tak ada yang salah, kecuali orang yang kemudian berpaling dari kebenaran dan keyakinan yang benar.
Tuesday, February 20, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment