An-naml, surat ke 27 dalam susunan mushaf Al qur’an Ustmani yang sekarang banyak kita pakai, adalah satu dari beberapa nama surat dalam al qur’an yang terambil dari jenis hewan selain An Nahl (Surat 16), Al Ankabut (29) dan Al Fiil (105). Salah satu hikmah yang terkandung dalam pencatuman nama-nama hewan ini dalam al qur’an adalah sebagai tamsil bagi sebagian perilaku dan kehidupan manusia.
An Naml (Semut) adalah satu jenis hewan kecil yang hampir setiap hari kita bisa jumpai dimanapun, baik dikantor, dirumah, dikebun atau ditempat-tempat lainnya. Satu dari sekian banyak perilaku semut yang sudah dikenal secara umum adalah bahwa semut menunjukan perilaku “santun dan ramah” yang terlihat dari bagaimana mereka seolah-olah saling “tegur” dalam setiap kesempatan bertemu. Entah apa yang sebenarnya maksud dan tujuan dari perilaku semut-semut tersebut, yang oleh sebagian orang kemudian diartikan mereka, semut-semut itu saling menyapa dan menebar salam antar sesamanya.
Sebuah perilaku positif yang kemudian banyak dianjurkan oleh berbagai kalangan agar kita, manusia meniru perilaku positif semut ini dengan saling mengucapkan salam dan bertegur sapa antara sesama muslim. Bahkan dalam sebuah hadits, mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh adalah sunnah bagi yang mengucapkannya, dan menjadi wajib bagi orang yang menjawabnya.
Perhatikan sekali lagi semut-semut yang hilir mudik sambil salam-salaman tersebut, perhatikan apa yang mereka bawa, mereka membawa sisa-sisa makanan, nasi, jagung, roti dan lainnya untuk dibawa kesarangnya, ditumpuk dan dikumpulkan sehingga memenuhi sebagian luas sarangnya.
Fokuskan perhatian kita pada “jumlah” yang mereka bawa, mereka kadang membawa sisa roti yang besar dan beratnya mungking tiga, empat atau bahkan lima kali dari berat dan ukuran tubuhnya. Mereka kadang membawa sisa-sisa nasi yang juga berat dan ukurannya melebihi ukuran dan berat tubuhnya. Setelah membawa makanan yang demikian banyak, mereka tetap kembali lagi mencari sisa makanan, membawa makanan itu kedalam sarangnya dan menumpuknya, terus kondisi ini berlangsung, mencari makanan, membawa dan menumpuknya.
Makanan yang mereka cari dan kemudian ditumpuk didalam sarang itu, dipastikan tidak akan habis dimakan sampai daur hidupnya. Bayangkan, kalau sekali bawa butiran jagung yang besarnya tiga kali lipat ukuran tubuhnya saja, entah berapa lama semut itu dapat menghabiskan makanannya, belum lagi makanan yang terus-menerus dibawa dan ditumpuk, jadi untuk apa mereka melakukan semua itu? Mengumpulkan makanan sedemikian banyak dengan susah payah, dengan “ngoyo”, dengan melewati batas ukuran tubuhnya dan dengan resiko kelelahan dan bahkan mungkin kematian, padahal mereka tidak bisa menikmati semuanya, bahkan mungkin hanya sebagian kecil saja yang dapat mereka makan selama masa hidupnya.
Adakah kita seperti semut-semut itu?
Kita pergi kekantor, pergi berdagang, pergi mencari nafkah setiap hari tidak kurang dari delapan jam sehari. Artinya setiap hari kita menghabiskan 1/3 waktu kita ( 8 Jam/24Jam)/Perhari. Artinya lagi, kalau usia kita sampai 60 tahun, kita menghabiskan 20 tahun hidup kita didunia ini untuk bekerja dan mencari makanan/nafkah, padahal serakus-rakusnya kita, paling banter kita menghabiskan empat porsi nasi padang, jauh lebih sedikit yang kita butuhkan dan kita makan dari pada usaha kita untuk mendapatkannya. Kadang kita lupa waktu untuk shalat demi mengejar setoran, kadang kita lupa pulang demi lemburan, kadang kita merelakan puasa kita batal demi pekerjaan, kadang kita memporsir tenaga dan pikiran kita demi uang.
Uang, uang, uang, harta dan kekayaan terus yang ada dalam pikiran kita, bagaimana kita bisa mendapatkan uang yang banyak, dimana menyimpannya agar aman dan berbunga, menghitung-hitungnya, membangga-banggakannya, hingga kadang kita lupa kewajiban kita sebagai hamba.
Berapa sih sebenarnya tingkat kebutuhan kita terhadap makanan, terhadap uang? Pasti jauh lebih sedikit dari upaya yang kita lakukan. Kalau kita mati-matian lembur, mati-matian peras keringat dan banting tulang, mengumpulkan uang dan harta, itu bukan semata untuk memenuhi kebutuhan kita, tapi lebih pada upaya kita untuk memenuhi nafsu kita.
Kita cukup makan tiga kali sehari, kita cukup punya satu mobil, kita cukup punya rumah layak huni, tapi sebagian kita ingin punya mobil lebih satu, punya rumah lebih dari satu, punya tabungan untuk tujuh turunan, itu bukan kebutuhan, tapi lebih nafsu dan ketamakan kita.
Benar, kita harus mewariskan kepada anak-anak kita sesuatu yang bisa menjadikan mereka “kuat”, kuat dalam arti ekonomi maupun kuat secara ilmu, tapi sebenarnya ada yang jauh lebih berharga yang harus dan bahkan wajib kita wariskan kepada anak-anak kita agar mereka menjadi orang-orang kuat dan agar mereka dapat bermanfaat bagi kita sekarang atau bahkan Insya Allah hingga kita meninggal nanti.
133. Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".(Al Baqarah:133)
Kalau kita khawatir anak keturunan kita menjadi orang miskin sepeninggal kita, kalau kita khawatir anak keturunan kita menjadi orang “bodoh” ilmu matematika sepeninggal kita, seharusnya kita lebih khawatir tentang apa yang akan mereka sembah sepeninggal kita.
Anak adalah sebentuk amanat yang diberikan Allah kepada kita dan untuk dimintai pertanggung jawaban kelak dihadapan Allah. Anak-anak shaleh akan menjadi benteng kita dari api neraka dengan do’a-do’anya, sebaliknya, anak-anak yang murtad karena kelalaian kita dalam mendidiknya semasa kita hidup karena kesibukan kita mengumpulkan harta dan kekayaan, akan menyeret kita dalam jurang neraka yang terdalam, Naudzubillah.
Inilah yang sepatutnya kita pikirkan dan kita pertimbangkan mulai detik ini, "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?
Sepeninggal kita nanti, anak-anak kita akan menghadapi sebuah era, sebuah jaman yang mungkin sangat jauh berbeda dengan bekal yang kita berikan sekarang. Milyaran uang dan harta yang kita wariskan, boleh sangat jadi menjadi tidak berguna suatu saat kelak, bahkan tak jarang warisan uang dan harta ini menjadi ladang pertumpahan darah anak dan keturunan kita sepeninggal kita.
Mutiara dan harta yang paling berharga yang harus kita wariskan dan harus tetap berada dalam dada anak keturunan kita adalah kalimat “Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah”.
Ini yang justru kita harus perjuangkan dari sekaran, inilah yang justru kita harus bertaruh jiwa dan raga agar kalimat thayibah ini senantiasa tetap ada pada kita, untuk kemudian kita wariskan pada anak keturunan kita kelak.
Kalau 1/3 waktu kita habis untuk mencari nafkah, lalu 1/3 yang lain untuk tidur - rata-rata kita tidur 8 jam per hari, atau 1/3 dari 24 jam atau 20 tahun kita numpang tidur doank didunia ini kalau usia kita sampai 60 tahun (Did we ever thing that we spent 20 years for sleep only for 60 year our live time?), lalu kapan kita bisa mengumpulkan bekal kita dan warisan hakiki yang akan kita berikan untuk anak cucu kita?
Bandingkan dengan waktu shalat kita, katakan setiap waktu shalat wajib kita memerlukan waktu 10 menit. Dalam sehari semalam kita melakukan shalat 5 waktu, atau setara dengan 50 menit/hari. Dalam satu bulan artinya kita shalat 50 menit x 30 hari = 1,500 menit. Dalam satu tahun artinya kita shalat 1,500 menit x 12 = 18,000 menit atau setara dengan 300 jam atau sama dengan 12.5 hari/tahun. Kalau usia kita sampai 60 tahun, artinya 12.5 hari x 60 tahun = 750 hari. Kalau rata-rata setahun 365 hari, maka waktu shalat kita adalah 750/365 = 2.05 tahun saja!!!! (Did we aware with this ? We just spent 2.05 year for Shalat for 60 year our live time!!)
Kita harus belajar bijak dari mulai sekarang, carilah harta dan kekayaan, tapi jangan lupakan waktu kita untuk mendidik anak-anak kita untuk tetap berada pada jalur yang benar, yang akan mengantar kita dan Insya Allah juga menyelamatkan mereka dari fitnah dunia dan fitnah akherat kelak. Artinya harus ada upaya-upaya khusus dan sistematis yang harus kita lakukan untuk menutupi defisit waktu kita dalam mendidik anak-anak kita, dengan meluangkan sedikit lebih banyak waktu untuk bersama mereka, dengan memberi contoh dan teladan dalam kehidupan keseharian kita, dan dengan apapun yang dapat kita investasikan demi terjaminnya warisan hakiki ““Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah”, ini sampai pada anak keturunan kita.
Semoga Allah membimbing dan membuka jalan bagi kita, untuk dapat berinvestasi dari sekarang dan dapat mewariskannya kepada anak-anak kita kelak, amin ya rabbal’alamin.
Januari 13, 2007
Friday, February 16, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment