Dalang adalah aktor dibalik semua gerak dan kata dari seluruh wayang yang dipentaskan dalam sebuah lakon. Dalang berkuasa mutlak atas apa yang telah dan akan terjadi dengan wayang-wayang dalam pementasannya. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, dalang memerankan tokoh dan karakter berbeda, dalam hitungan detik, dalang mampu mengatakan hal yang bertolak belakang dari para tokoh wayang yang dimainkannya, singkatnya dalang adalah sosok dibalik pementasan sebuah pagelaran wayang, baik itu wayang golek maupun wayang kulit.
Dengan kekuasaanya yang tidak terbatas atas wayang-wayangnya, dalang berhak menentukan apapun nasib para wayang itu. Suatu ketika, dalam pementasan wayang yang berjudul “Petruk dari Raja”, sang dalang mampu menjadikan tokoh Petruk atau Dawala dalam pementasan wayang golek, dari seorang punakawan yang menjadi teman setia para ksatria Pandawa, tiba-tiba muncul menjadi sosok Raja di negeri Astinapura, sebuah negeri yang semestinya dipimpin oleh para Ksatria Pandawa.
Dalam lakon itu dikisahkan bahwa ketika Petruk dari Kampung Tumaritis, yang seorang punakawan yang lugu, lucu dan sedikit “o’on” jadi Raja, maka yang terjadi adalah semua peraturan pemerintahan, tata aturan masyarakat dan agama dibuat sedemikian rupa agar “sesuai” dengan karekter sang Raja Petruk.
Semuanya dibuat “ala Petruk”, perundang-undangan yang selalu bergonta ganti sesuai dengan selera masing-masing pejabatnya yang konyol, asal ngomong, suka cari kambing hitam, dan anggota dewan /parlemennya pun pada berantem sendiri, persis Petruk dan Gareng yang rebutan Intip (Kerak Nasi - penulis), bahkan yang lebih parah, akibat “kebijaksinian” yang ala Petruk itu, para pejabat dan dewan digaji sedemikian tinggi, (katanya agar para pejabat dan anggota dewan itu tidak perlu menjadi “calo-calo” anggaran dan menjadi beking untuk mendapat tambahan penghasilan), sehingga menjadikan mereka juragan-juragan yang kaya lagi berkuasa, yang dengan uang dan kekuasaannya, mereka mampu membeli apapun, membeli kebijakan, membeli hukum, dan bahkan mampu “membeli” artis-artis karbitan untuk dijadikan piaraanya. Saking banyaknya uang, bukan lagi kambing atau kuda yang dijadikan hewan piaraan, tapi wanita-wanita yang haus uang dan popularitas yang mereka piara, untuk dijadikan objek pemuas nafsu kebinatangan mereka.
Kebijakan yang korup, undang-undang yang dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan adanya berbagai penafsiran yang menguntungkan beberapa pihak saja, dan masih banyak lagi dagelan-dagelan yang dilakonkan pada masa pemerintahan Raja Petruk.
Bahkan dalam urusan keberagamaan pun masih bisa-bisanya dibuat dagelan. Ada dana Abadi Umat katanya, yang entah untuk umat yang mana, ada kisah jemaah haji yang kelaparan, kisah kecelakaan yang seperti tak pernah ketemu penyebabnya, kisah keterlambatan bantuan kemanusian, kisah keterlambatan pertolongan, kisah pencurian harta kekayaan negara yang semakin hari semakin menjadi, kisah hukum yang diperjual belikan, yang benar jadi salah, yang salah bisa jadi benar, terus terjadi bayolan-bayolan ironi yang terjadi dipanggung negeri Petruk ini. Kenapa ? lha wong peraturannya juga demikian, penuh dagelan, penuh warna abu-abu, sarat dengan kepentingan pribadi dan lainnya, sehingga tingkat pelaksanaan pun pasti penuh dengan trik-trik humor yang asal menyenangkan sang raja petruk, yang penting bapak senang, yang penting kepentingannya tidak terganggu, dan lainnya, bukan bekerja secara benar dan prosional, tapi hanya berupa laporan yang menyenangkan hati sang raja.
Kalau ada kecelakaan, musibah dan bencana, mereka pada sibuk mencari dalih dan kambing hitam, sibuk menggelar seminar, simposium dan debat yang tak berujung, berargumen, merancang kebijaksanaan yang pernah tuntas, setelah itu selesai. Sementara korban bencana dan kecelakaan terabaikan tanpa kepastian, sumbangan dan bantuan yang datang dari pelosok negeri pun entah kemana raibnya, aah dasar Petruk.
Setiap kejadian luar biasa seperti berjangkitnya flu burung, demam berdarah, mereka sibuk mencari teori-teorinya, untuk sekedar bisa menjawab pertanyaan wartawan, “biasanya penyakit ini diakibatkan oleh............” atau justru menyalahkan masyarakat yang katanya kurang bersih, katanya tidak bisa hidup sehat, katanya lagi kurang pendidikan, lha yang mestinya mendidik masyarakat untuk hidup bersih, hidup sehat dan meningkatkan tarap hidup masyarakat dan kualitas pendidikan yang memadai kan seharusnya tanggung jawab mereka..........lalu kenapa masyarakat yang jelas-jelas tidak mempunyai kemampuan dan kekuasaan disalahkan? Aaah dasar Petruk.
Lalu, dalam masa pemerintahan Raja Petruk, juga banyak sekali punakawan-punawakan yang diangkat menjadi pejabat dan orang-orang penting, tanpa memperhatikan kelayakannya, ada preman tumaritis yang jadi anggota dewan, wayang yang ijazahnya dapat nembak jadi pejabat, dan banyak lagi punakawan-punakawan yang kocak lagi lucu tiba-tiba jadi orang penting. Sehingga yang terjadi kemudian, ketika preman tumaritis, ketika punakawan yang ijazahnya dapat nembak, mereka cenderung untuk menggunakan “Aji Mumpung”, mumpung dipercaya, mumpung berkuasa, mumpung dekat Raja Petruk, mereka kemudian beramai-ramai menggunakan posisi dan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya, kadang tanpa memperdulikan norma dan tata nilai serta hukum yang berlaku, “pokok e mumpung”.
Satu lagi, karena mereka berasal dari kalangan antah barantah, begitu menjadi pejabat dan mempunyai posisi, mereka jadi kena sindrom takut jadi punakawan lagi, takut miskin lagi, takut tidak dipercaya lagi, sehingga untuk menutupi ketakutan-ketakutannya yang irrasional itu, mereka, konon menghalalkan segala cara untuk melanggengkan posisi, jabatan dan kekayaannya sekarang, maka jadilah Dukun jadi Dewa yang dianggap mampu melanggengkan kekuasaanya dengan jampi dan mantra, maka jadilah berhala sesembahan yang disepadankan dengan Tuhan, duuuh kaciaaaan.
Apakah ini semua kehendak Sang Dalang? Wallahu ‘Alam
Justru karena ketidak tahuan itulah, para wayang lain memiliki kewajiban untuk mengingatkan Raja Petruk dan para pejabatnya bahwa kekuasaan yang mereka pegang itu adalah Amanah, yang harus dipertanggung jawabkan kepada para wayang, kepada hukum dan Sang Dalang.
Ketika wayang lain mendiamkan keangkara murkaan terjadi didepan matanya, yang akan terjadi adalah sebuah negara tanpa hukum. Para penguasa akan menjadi singa-singa yang lapar, sementara rakyat ibarat kambing-kambing santapan mereka. Raja Petruk yang memang tengah dilanda eforia kebahagiaan karena ketiban durian runtuh hingga menjadi raja tak terduga, dinina bobokan dengan laporan-laporan diatas kertas saja, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi diseantero panggung kekuasaanya.
Kalau wayang lain diam saja didalam kotaknya, maka boleh jadi ia juga ikut bersalah karena tidak berbuat apa-apa.
Negeri wayang ini memerlukan Ksatria-ksatria untuk mengembalikan tata kenegaraan pada jalur yang benar, kehidupan keberagamaan yang semestinya, dan tata nilai dan norma yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan......negeri perlu Ksatria Piningit untuk menyelamatkannya dari jurang kehancuran.
Ini kisah dinegeri Wayang saja, yang sangat mungkin juga terjadi pada panggung yang lebih kecil, diprovinsi, kabupate, kecamatan, atau bahkan mungkin dalam sebuah perusahaan dikerajaan Astinapura, Bagaimana dinegeri lain? Insya Allah di negeri lain juga ya...sama!!
Wassalam
Januari 11, 2007
Monday, February 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment