Hijrah adalah sebuah peristiwa pindahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah atas perintah Allah, untuk memperluas wilayah penyebaran Islam dan demi kemajuan Islam itu sendiri. (bukan karena takut terhadap kaum musyrikin Mekkah ketika itu seperti pendapat beberapa kalangan).
Sebuah fakta sejarah kemudian membuktikan bahwa proses penyebaran Islam jauh lebih cepat dan berkembang pada periode Madinah ini. Selain itu juga, di Madinah, Nabi dan Umat Islam berhasil membangun tata peradaban baru, tata pemerintahan, tata ekonomi dan sosial yang demikian pesat perkembangannya. Sebuah bukti bahwa skenario Allah untuk meng-Hijrah-kan Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan sebuah skenari yang Maha Sempurna karena memang itu adalah karya dari Yang Maha Sempurna itu sendiri.
Kalau ada kemudian cerita-cerita yang menjadi bumbu proses Hijrah ini adalah ketika kaum quraisy kafir berkumpul disebuah tempat untuk menghentikan dakwah Rasul, yang pada kesempatan itu diputuskan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan dakwah Rasul adalah dengan membunuh Rasul itu sendiri.
Kemudian mereka menyusun tipu muslihat dengan mengadakan sayembara yang menyatakan barang siapa yang berhasil membunuh nabi, maka ia berhak atas seratus ekor unta. Kemudian kisah selanjutnya para pemuda quraisy mengepung rumah Nabi yang ketika itu hanya berdua bersama Ali bin Abi Thalib ra.
Sekali lagi proses keluarnya Nabi dari rumah beliau tanpa terlihat oleh pemuda kafir quraisy yang tengah mengepung rumahnya, merupakan bukti skenario Allah yang Maha sempurna untuk meng-Hijrah-kan Rasul dari Mekkah ke Madinah.
Terlepas dari berbagai versi yang kemudian berkembang mengenai peristiwa ini, ada beberapa nilai yang sangat mungkin kita petik dalam peristiwa yang mengandung makna yang demikian besar itu; diantaranya;
Nilai-nilai yang terkandung dalam proses Hijrah
- Pengorbanan
o Nilai ini ditunjukan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika beliau tanpa ragu menyanggupi untuk menggantikan Nabi untuk tetap berada didalam ruma, bahkan beliau kemudian tidur dan mengenakan sorban Nabi. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat heroik dimana Ali yang ketika itu masih seorang pemuda, rela untuk menjadi tameng bagi kelangsungan hidup Rasulnya, yang berarti pula kelangsungan dakwah Islam
o Nilai ini juga ditunjukan oleh Abu Bakar as Shidiq, yakni ketika beliau berkata “ Biar saya yang masuk kedalam gua (Tsur) dulu, kalau ada binatang buas atau binatang berbisa didalam sana, saya rela mati, biar anda meneruskan perjuangan dan dakwah anda”. Lagi sebuah epik kepahlawanan dan pengorbanan yang luar biasa. Kemudian dalam sebuah cerita kemudian benar Abu Bakar digigit ular berbisa, namun atas kehendak Allah, beliau selamat dalam peristiwa itu.
- Keyakinan dan Tawakal – ketika berada dalam gua tsur yang gelap dan dalam keadaan yang sedemikian rupa, kemudian terucap kata-kata yang hanya akan keluar dari lisan orang yang memiliki keyakinan dan sikap tawakal yang demikian sempurna “ La Tahzan, innallah ma ana – jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”
- Kebersamaan – Peristiwa Hijrah ini melibatkan Nabi Muhammad yang mewakili Pemimpin, Ali bin Abi Thalib yang mewakili generasi muda, Abu Bakr, yang mewakili golongan tua, bahkan konon ada seorang perempuan yang bertugas menyupalai makanan kepada Nabi dan Abu Bakar selama mereka berada dalam gua – yang menurut seorang ulama, ini menggambarkan sebuah kesatuan, antara pemimpin, pemuda, orang tua dan perempuan, sebagai salah satu syarat “keberhasilan”, seperti kemudian digambarkan bagaimana proses Hijrah ini adalah menjadi tonggak sejarah dan momentum perkembangan Islam.
- Kondisi yang Kondusif – sebagaimana diketahui, ketika sampai ditempat yang baru, Nabi mengganti nama Yatsrib – Mengecam, menjadi Madinah – Kota Peradaban. Ini mencerminkan bahwa sebuah proses keberhasilan tidak akan dicapai ketika orang-orang yang berada didalamnya saling mengecam satu sama lain, kritik yang tidak konstruktif, asal ganti dan lebih mementingkan kepentingan golongan dan pribadinya semata. Penggantian nama menjadi Madinah menyimbolkan bahwa keberhasilan hanya akan dicapai dalam tata kehidupan yang beradab, ada sopan santun dan etika ketika hendak menyampaikan pendapat, kritik dan masukan, ada tata aturan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang beradab, yang kemudian dibuktikan dalam sejarah masa kini, bahwa dimanapun, tidak akan pernah bisa mencapai keberhasilan, ketika individu-individu yang terlibat dalam proses itu saling mengecam bahkan tak jarang menyebarkan fitnah-fitnah keji. Sebaliknya, sebuah kondisi yang “beradab”, yang berdasarkan tata aturan dan norma kesusilaan-lah yang mengantar sebuah bangsa, sebuah kelompok atau apapun untuk mencapai keberhasilannya.
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam peristiwa Hijrah yang tidak terekan oleh ingatan penulis dhaif ini, mungkin bisa ditambahkan dan diluruskan untuk yang tidak benar dalam tulisan ini.
Wassalam
January, 22, 2007
Monday, February 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment