Sepuluh malam terakhir Ramadhan, biasanya ditengarai oleh sebagian kita sebagai malam yang spesial dan istimewa, karena sepuluh malam terakhir ramadhan ini diyakini oleh sebagian orang sebagai malam-malam penuh berkah, karena konon pada sepuluh malam terakhir inilah malam kemulian atau malam yang nilainya sama dengan 1000 bulan, yang dikenal secara luas sebagai Lailatul Qadar akan tiba. Entah tren atau memang penulis yang tidak tahu, bahwa dalam beberapa tahun belakangan sepuluh malam terakhir ini diisi dengan aktivitas I’tikaf bersama dimasjid yang dikoordinir oleh Dewan Pengurus Masjid setempat.
Malam 21 Ramadhan 1426H di Masjid Agung At-tin, seorang anak muda, mungkin usianya sekitar 27 tahun, berada diantara jamaah i’tikaf untuk melaksanakan Qiyamulail. (Yakni salah satu acara rutin yang dilakukan oleh orang-orang yang ber i’tikaf disana, shalat sunat ini dilakukan mulai dari pukul 1.30 sampai dengan menjelang sahur).
Rakaat pertama berlangsung dengan khidmat, tapi kemudian terdengar sayup-sayup suara orang-orang yang sepertinya menahan tangis. Konsentrasi pemuda tadi mulai sedikit buyar dan sedikit –demi sedikit ia mulai tertarik untuk melihat siapa yang menangis. Shalatnya malah menjadi tidak khusyu, karena ia makin penasaran dengan suara-suara tangis tadi. Makin lama sang imam membaca ayat-ayat al qur’an semakin banyak dan semakin keras suara tangis itu dan makin jelas terdengar. Begitupun rakaat-rakaat selanjutnya, hampir semua jamaah menangis.....hingga shalat itu selesai dan kami melakukan sahur bersama.
Sementara itu, sipemuda sama sekali tidak menangis bahkan dia kebingungan, kenapa orang-orang shalat itu pada menangis seperti anak kecil? Apa yang menyebabkan mereka menangis? Dan banyak pertanyaan – pertanyaan yang berkecamuk dibenak dipemuda tadi. Keheranan pemuda itu rupanya terbawa sampai waktu sahur tiba. Sambil menyantap makanan sahur yang telah disediakan oleh panitia i’tikaf, pemuda itu nampak ngobrol dengan seorang bapak setengah baya. Perkacapan mereka semakin panjang lebar hingga pemuda itu kemudian menanyakan kejadian yang baru saja terjadi, yaitu kenapa banyak orang yang menangis pada qiyamul lail tadi.
Mendengar pertanyaan pemuda tersebut, bapak itu balik bertanya “Memang kamu tidak menangis?”
Pemuda tadi menggelengkan kepala, karena memang ia tidak menangis saat shalat qiyamul lail tadi, karena memang ia tak punya alasan untuk menangis.
“Jika kamu ingin menangis, maka menangislah karena kamu tidak bisa menangis!” kata bapak tadi.
Pemuda tadi masih nampak belum mengerti maksud dari bapak setengah baya tadi, kemudian bapak tadi melanjutkan penjelasannya;
“Orang yang tidak menangis ketika dia shalat, lalu dibacakan ayat-ayat Allah yang agung, ditengah keheningan malam, ditengah ribuan orang jamaah yang hampir semuanya menangis, tapi dia tidak menangis, maka ia wajib menangis karena sangat boleh jadi hatinya telah ditutup oleh Allah, telinganya disumbat sehingga dia tidak bisa lagi merasakan keagungan dan kebesaran Allah.......” Bapak tadi menjelaskan sambil terus makan makanan sahurnya.
Duggg....tampak wajah pemuda tadi sedikit memucat mendengar penjelasan bapak tadi. Ia seperti disambar halilintar, demi mendengar penjelasan tadi, ia merasakan bahwa seolah-olah ialah yang menjadi seoramh terdakwa dan ia tidak bisa memberikan sanggahan terhadap dakwaan sang jaksa, ia merasa menjadi satu-satunya orang yang dimaksud bapak tadi. Pemuda itu seketika diam dan berhenti dari makan sahurnya, lalu ia teringat ayat Allah dalam surat Al Baqarah, yang pernah ia baca dan kembali dibacakan oleh si Bapak;
7. Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka[20], dan penglihatan mereka ditutup[21]. dan bagi mereka siksa yang amat berat.
[20] yakni orang itu tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasehatpun tidak akan berbekas padanya.
[21] Maksudnya: mereka tidak dapat memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al Quran yang mereka dengar dan tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri.
Dan Juga ayat 74 Surat Al Baqarah;
74. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Makan sahur malam itu berhenti sampai disitu, pemuda tadi menghentikan makan sahurnya, rasa lapar dan dahaga perutnya tampak terabaikan, ia bergegas ketempat wudlu, bersuci dan kemudian duduk tafakur untuk memenuhi dahaga bathiniahnya akan petunjuk dan cahaya ilahi yang membuat hatinya lembut, ia tampak khusyu merenungi apa yang barusan ia dapat dari si Bapak, ia berdialog dengan bathinya, demikian keraskah hatinya, sehingga ia tidak bisa lagi menangis ketika mendengar ayat-ayat al qur’an? Benarkah pendengarannya tidak lagi mampu menangkap kebenaran ilahi? Benarkah hatinya lebih keras dari batu?
Nampak kemudian menjelang waktu shubuh tiba, air matanya nampak meleleh membasahi pipinya, nampak sekali apa yang baru saja ia terima merupakan pukulan telak terhadap keangkuhannya selama ini yang masih merasa “besar” ketika ia berdiri dihadapan Yang Maha Besar, ia merasa bersalah bahwa sujudnya selama ini tak lebih dari rutinitas yang tidak berarti banyak untuk menyadarkan ia dari kekecilan dirinya dihadapan Yang Maha Besar, ia tersedu, terisak menagis, lama ia duduk ditempatnya, hingga waktu shubuh tiba.
Malam-malam selanjutnya, pemuda itu nampak lebih tenang dalam melaksanakan Qiyamulail, ia berdiri tegak dan mencoba mengikuti apa yang dibacakan oleh Imam shalat, ia belum mengerti sepenuhnya apa yang dibaca, tapi kesadarannya bahwa hatinya masih sedemikian keras untuk menerima siraman keagungan ilahi membuatnya ikut terisak menangis, sebuah tangisan tulus yang datang dari kesadaran hati seorang anak manusia yang menyadari kelalaiannya selama ini.
Wassalam;
January 17 2007
Monday, February 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment